Wartapilihan.com – Menjelang usia ke-72, Indonesia barangkali belum mendapati arah kebudayaan bangsa yang jelas lagi mantap berdasarkan pemikiran falsafi tertentu. Tuntutan pembangunan ekonomi membuat istilah kebudayaan sering menyempit pada urusan nilai jual pariwisata dan hiburan. Namun bila kita menengok sejarah, pembicaraan mendalam seputar arah kebudayaan bangsa ternyata telah banyak terlaksana. Polemik Kebudayaan mungkin adalah yang paling terkenal, di mana para begawan seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Ki Hadjar Dewantara terlibat di dalamnya. Masing-masing punya gagasan cemerlang; ada yang mengusulkan kita mengambil modernitas Barat agar gairah pembangunan manusia dapat tercapai, ada pula yang menemukan kearifan dalam akar budaya suku-suku bangsa yang sudah menetap di Nusantara ratusan tahun lamanya.
Meski polemik itu terjadi bahkan sebelum Indonesia benar-benar merdeka, usulan lepas landas meninggalkan yang usang menuju kemajuan Barat justru makin menguat, sampai sekarang. Dalam buku berjudul Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Menteri Agama RI pertama, Prof. HM Rasjidi, menunjukkan sesat pikir pandangan semacam itu. Pengagungan dan peniruan berlebihan pada Barat dapat menjadikan kita bangsa yang sekular, sehingga keluhuran ajaran agama –wabil khusus Islam- yang selama ini membentuk kebudayaan bisa luntur perlahan-lahan.
Asal-usul terbitnya buku ini adalah kritik beliau terhadap gagasan dua tokoh Center for Strategic and International Studies (CSIS), yakni AMW Pranaka dan Daoed Joesoef. Think tank bentukan Ali Moertopo ini adalah lembaga yang punya pengaruh kuat dalam pembentukan kebijakan Orde Baru di masa awal. Gagasan AMW Pranaka tersaji dalam satu wawancara panjang dalam Harian Suara Karya, koran corong Golkar, dan buku Strategi Kebudayaan, karya Ali Moertopo tetapi “…yang merangkumkan pemikiran itu adalah AMW Pranaka” (hlm. 61). Sedangkan gagasan Daoed Joesoef ada dalam tetapan-tetapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di masa ia menjabat sebagai menterinya. Pak Rasjidi dengan tekun menyajikan ringkasan-ringkasan pemikiran keduanya dalam buku ini, untuk kemudian beliau bantah dengan cara yang juga tekun, santun, dan bertanggungjawab.
Hegel yang Keliru dan Orde Baru
Salah satu kepentingan Orde Baru mewawancarai AMW Pranaka melalui Suara Karya, Jum’at 14 April 1978, adalah pembenaran falsafi bagi memuluskan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dalam wawancara tersebut, Ketua Departemen Sosial Kebudayaan CSIS ini banyak merujuk pada filsafat Hegel tentang kelahiran kesadaran nasionalisme. Mengikuti pandangan Hegel, Pranaka menganggap bahwa nasionalisme adalah ruh yang mengejawantah dalam bentuknya yang sempurna sekarang ini, yakni negara bangsa modern bernama Indonesia, setelah berabad-abad mengendap dalam diri penghuninya dan melalui dialektika yang panjang. Kesadaran nasionalisme, karenanya, akan menjadi kesadaran utama yang darinya arah kebudayaan dapat diketahui, dan melaluinya unsur-unsur penghambat dapat disingkirkan.
Pandangan ini mendapat tanggapan dari Pak Rasjidi. Sebagai doktor di bidang filsafat dari Universitas Sorbonne, Prancis, beliau menyadari adanya permasalahan dalam pandangan Hegel tersebut, apalagi ketika ia diterapkan dalam lingkup Indonesia. Beliau terlebih dahulu menguraikan pokok-pokok filsafat Hegel (hlm. 8-22) tentang dialektika perkembangan ide. Bagian ini dapat kita nikmati secara terpisah, mirip dengan pembahasan tentang Hegel dalam buku-buku filsafat. Di ujung uraian, beliau menunjukkan kekeliruan pemikiran Hegel tentang nasionalisme yang menjadi rujukan Pranaka. Beliau menjelaskan, pandangan Hegel tentang nasionalisme terunggul membuat masyarakat semata-mata dipandang sebagai pelayan negara. Kesewenang-wenangan negara, karenanya, dapat terlaksana apabila masyarakat tak melakukan sesuatu yang sesuai dengan cita pembangunan negara. Hal tersebut berkebalikan dengan pandangan nasionalisme yang diterima secara umum, yakni perasaan kesamaan cita di antara masyarakat dan kesediaan untuk hidup bersama. Negara bangsa harus menjadi pelayan masyarakatnya, bukan sebaliknya. Keangkuhan Orde Baru ini dapat (dan kini, terbukti sudah) menjadikannya pelaku totalitarianisme. Pak Rasjidi menuliskan,
“Adalah kewajiban warganegara Indonesia yang merasa bertanggungjawab untuk menjernihkan suasana yang keruh dan tegang. Penjernihan harus dilakukan juga oleh pemerintah yang tidak dapat terlalu mengambil sikapselfrightness, atau hanya akulah yang benar.” (hlm. 43)
Pandangan Hegelian Pranaka segera disadari Pak Rasjidi sebagai upaya penguatan Orde Baru dan pendasaran falsafi untuk memberangus musuh-musuhnya. Saat itu, Orba tengah mencanangkan GBHN dan P4, namun mendapat penentangan dari umat Islam melalui PPP dan ormas-ormasnya. Dalam GBHN, Orba menyebut kalangan kebatinan sebagai Aliran Kepercayaan (hlm. 39). Beliau memandang pergeseran ini memberi dua dampak yang besar. Dampak pertama adalah kalangan kebatinan tak lagi diidentifikasi sebagai muslim, dan umat Islam melalui Departemen Agama, Ormas Islam, dan segala pranatanya tak lagi berhak melakukan dakwah dan pembinaan terhadap mereka. Hal ini disebabkan oleh perlindungan UUD 1945 atas “kepercayaan” mereka. Dalam pasal 29 ayat 2 jelas tertulis bahwa negara melindungi masyarakatnya untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dampak kedua, ajaran Islam akan mudah diasingkan dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa. Pengamalan ajaran Islam oleh kalangan kebatinan memang lebih banyak menampilkan ketaklaziman semacam tarikat tanpa syari’at dan sebagainya, namun pemisahan tegas antara Islam dan kebudayaan Jawa akan membuat Islam terasa asing dan masyarakat menjadi bangga pada kehidupan pra-Islamnya. Penentangan umat Islam inilah yang oleh Pranaka dinilai sebagai musuh bagi nasionalisme (versi Orba).
Untuk semakin membenarkan pendapatnya, Pranaka juga melakukan penafsiran atas sila pertama dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam buku Strategi Kebudayaan yang telah disebut di atas, Pranaka menyebutkan bahwa kepercayaan tentang adanya kekuasaan ruhaniah tertinggi telah ada sejak Nusantara purba (hlm. 80), sehingga kedatangan agama-agama besar, khususnya Islam, hanyalah suatu pelengkap kebudayaan. Terkait pandangan ini, Pak Rasjidi mengusung pandangan Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life bahwa di masa itu, yang ada hanyalah kepercayaan tentang sesuatu yang tak berpribadi, suatu mana, dan bukan Tuhan sebagaimana diyakini oleh agama-agama besar. Itulah sebabnya Mohammad Yamin menafsirkan bahwa sila pertama merujuk pada pengertian ketuhanan sebagaimana dianut oleh agama besar, khususnya Islam. Selain itu, lanjut Pak Rasjidi, Islam bukan semata pelengkap kebudayaan, melainkan pengubah cara pandang masyarakat secara terhadap kebudayaan secara keseluruhan (hlm. 81).
Penyingkiran peran Islam dalam nasionalisme Indonesia adalah sesuatu yang menyalahi sejarah. Pak Rasjidi menunjukkan Islam menjadi pemersatu orang-orang asal Aceh, Ambon, Ternate, Sumbawa, Jawa, dan Kalimantan. Hal itulah yang mempermudah Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, dalam menggalang kekuatan di seluruh kepulauan Nusantara. Beliau juga menampilkan pengakuan Konsili Vatikan II atas capaian gemilang umat Islam, yang menghendaki hak manusia dan hak Tuhan dalam Al-Qur’an dapat dihormati di seluruh dunia (hlm. 38). Selain di negeri sendiri, nasionalisme Indonesia juga disemai dalam ibadah haji di Makkah. Umat Islam yang berhaji asal Indonesia, menurut beliau, kala itu berjumlah sekitar tiga ribu, dan bermukim di tanah suci bertahun-tahun lamanya. Dari sana timbul rasa kesatuan, yaitu kesatuan agama dan keinginan berlepas diri dari penjajahan Belanda. Belanda sampai membuat kantor perwakilan di Makkah, agar gerak-gerik umat Islam Indonesia dapat diawasi (hlm. 84-85).
Islam pula yang berperan dalam terwujudnya ketahanan nasional. Menurut Pak Rasjidi, ketahanan nasional adalah sikap mental psikologis yang menjadikan tiap-tiap warganegara merasa bahwa ia harus mempertahankan tanah airnya terhadap segala serangan dari luar. Jihad melawan penjajahan Belanda adalah bukti yang paling nyata. Meski demikian, Pak Rasjidi juga setuju dengan Pranaka yang memandang ketahanan nasional tak melulu dalam wajah militeristiknya. Justru karena itulah, menurut Pak Rasjidi, upaya menyikapi secara kritis pemikiran yang bertentangan dengan umat Islam, sebagai mayoritas di Indonesia, adalah juga suatu bentuk ketahanan nasional (hlm. 110). |
Penulis : Ismail al Alam