Haris Amir Falah: Radikalisasi Yayat Berlangsung di Penjara

by

Wartapilihan.com, Jakarta – Kasus mantan narapidana terorisme yang kembali melakukan aksi lagi-lagi terulang. Kali ini menimpa Yayat Cahdiyat. Mantan narapidana dalam kasus latihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam itu meledakkan bom yang telah dirakit dalam sebuah panci di Taman Pandawa, dekat kantor kelurahan Arjuna, Cicendo, Bandung, Senin (27/2). Yayat meninggal dalam perjalanan ke RS Bhayangkara, setelah tertembak dalam penyergapan di kantor kelurahan Arjuna oleh Densus 88.

Haris Amir Falah yang sempat bersama Yayat di tahanan Mako Brimob menegaskan, Yayat mengalami pemikiran ghuluw selama di penjara.

“Yayat ini pernah sama saya di Mako, jadi dia residivis. Dia ditahan karena keterlibatan di Jalin Jantho, Aceh. Dia sekedar supply dana ke Aceh. Cuma dia tidak sendiri, tapi bersama kelompoknya. Tapi anak-anak ini di dalam (penjara) sikapnya sudah keras,” ujar Haris saat dihubungi Warta Pilihan, Selasa (28/2).

Haris menjelaskan, Yayat bukanlah anggota JAT. Sebab selama ini Yayat dibina oleh Aman Abdurrahman. Perilaku kelompok Aman ini sangatlah keras di dalam penjara. Salah satunya adalah tidak mau sholat dengan kelompok yang berbeda pandangan. Selain itu, mereka juga kerap bersikap kasar terhadap aparat negara.

“Dia bukan JAT. Tahun-tahun itu JAT masih saya pegang. Saat itu JAT belum ada di wilayah Cikampek-Purwakarta,” ujar mantan Amir JAT wilayah DKI Jakarta ini. Haris menambahkan, setelah keluar dari penjara, orang-orang seperti Yayat membentuk Jamaah Anshorud Daulah (JAD) yang mendukung ISIS.

“Rata-rata orang dalam kelompok ini adalah preman. Kerjanya fai di pom bensin,” ujar Haris merujuk pada tindakan Yayat yang melakukan perampokan di beberapa lokasi di kawasan Cikampek Jawa Barat.

“Kebanyakan kalau saya lihat misalnya teman-teman di dalam, itu masih tato dan merokok. Memang modal semangat, gak ada yang lainnya. Kalau orang kayak gini gak ada informasi yang bisa didapat,” terangnya.

Karena itu, vonis kepada Yayat dalam kasus Aceh tergolong ringan. Yayat hanya divonis tiga tahun. “Cuma kenal pasal 13 C, hanya mengetahui informasi tapi tidak memberi tahu ke polisi. Kalau menyimpan (menyembunyikan) orang, dia bisa kena di atas 3 tahun.”

Namun demikian, Haris mengkritik cara Densus 88 dalam penangkapan Yayat. Polisi terlihat berlebihan karena seperti ingin melakukan pertempuran. Padahal sejak awal tidak jelas apa yang ditarget Yayat. “Ya bahasa kasar kita lebay,” jelasnya.

Haris mengaku ketika awal ditahan, Yayat hanyalah orang seperti pada umumnya. Perubahan pemikiran Yayat terjadi saat bersentuhan dengan Kelompok Aman di dalam penjara.

“Jadi sama radikalnya dengan Ayah Bantah dari Aceh. Yang awalnya tidak tahu gerakan, tapi di dalam mulai terbina. Masuk ke NK (Nusa Kambangan) ketemu sama Lubis cs, akhirnya jadi radikal. Bahkan lebih radikal dari orang radikal,” tutur Haris yang kini menjadi Anggota Majelis Syuro JAS ini.

Haris lalu mencontohkan radikalisasi yang berjalan sangat kuat di dalam penjara. Hal ini menimpa seorang Ustadz di dalam penjara. Saat itu, ia mengucapkan salam terhadap perwakilan BNPT yang hadir. Hal ini lalu mengundang protes dari narapidana terorisme lainnya yang berhaluan ISIS. Mereka mengatakan ucapan salam dari ustadz tersebut telah merusak akidah.

“Di dalam itu gak ada fungsi kontrol untuk mencegah orang jadi tidak radikal. Kontrol hanya untuk absen. Sebaliknya, di dalam penjara para narapidana terorisme justru didoktrin banyak hal. Kalau mereka rutin bertemu, sebulan bisa jadi (ghuluw). Jadi ini bukan hanya Yayat, tapi banyak orang yang mengalami ini,” ujarnya.

Sebaliknya, para narapidana terorisme yang anti ISIS tidak berubah menjadi ekstrim. Pemikiran mereka relatif terjaga dari anasir pemikiran ekstrim. “Tapi kalau sudah bersentuhan dengan Aman cs, saya sih udah yakin, gak akan bisa diredam kali,” ujar Haris merujuk upaya deradikalisasi ala BNPT yang ternyata tidak efektif. Sebab, di satu sisi, radikalisasi oleh Aman cs terus berjalan.

Haris menyarankan, pola efektif untuk mencegah radikalisasi di dalam penjara adalah dengan memisahkan para narapidana terorisme dengan kelompok pro ISIS.

“Saya lihat sejak awal itu seharusnya ada orang yang memberi masukan agar narapidana dipindah ke LP mana. Di Mako Brimob itu 3 blok sudah dikuasai ISIS semua. Dulu saya bisa mencegah, memilih khotib yang tidak teralu ekstrim, cuma bukan berarti murjiah ya. Sekarang semua dikuasai mereka,” jelas Haris.

Kalau dia bukan ISIS, narapidana terorisme bakal dimusuhi. Haris sendiri merasakan bagaimana keributan di dalam penjara saat di Mako Brimob. “Kadang juga sampai ribut fisik, itu juga gak bagus. Nah, kalau kita bisa kasih masukan bahwa ghuluw itu berbahaya, maka itu bisa.”

Haris menegaskan, bicara pencegahan tidak mungkin dilakukan bersama BNPT. Yang paling efektif adalah merekomendasikan narapidana agar tidak disatukan dengan kelompok ISIS.

“Lalu dipindah saja ke basis yang bukan ISIS seperti di LP Cipinang dan Semarang,” pungkasnya.

Reporter: Pizaro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *