Sejak Oktober 2017 lalu, Kementerian Perdagangan melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga, tetapi kini harga beras tetap melonjak. Menteri pertanian Amran Sulaiman dahulu pernah berjanji siap mundur apabila Indonesia gagal swasembada pangan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Pemerintah dinilai telah gagal wujudkan kedaulatan pangan. Pasalnya, pada tahun ini, pemerintah berencana untuk mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton, dengan kata lain mengambil beras dari negeri orang, bukan hasil jerih payah keringat sendiri.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kementerian dan lembaga yang tak berhasil wujudkan kedaulatan pangan.
“Kementan seharusnya dipimpin oleh menteri yang sanggup menjalankan semangat kedaulatan pangan yang tercantum dalam Nawacita, menteri yang sekarang terbukti sudah gagal,” tutur Henry, kepada para wartawan, Sabtu, (13/1/2018), di Jakarta.
Henry menyayangkan, kenaikan harga beras tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan petani, tetapi justru malah merugikan, baik bagi petani maupun konsumen. Terlebih, dengan adanya impor ini membuat petani tak berdaya dalam berproduksi maupun bersaing dalam harga. “Petani padi sendiri juga adalah konsumen yang membeli beras dengan harga yang tinggi,” ungkap dia.
“Harusnya pemerintah Indonesia punya kebijakan yang ajeg, yang permanen. Impor beras ini langgar UU Pangan No.18/2012. Ini juga menunjukkan data Kementan – yang katanya surplus beras – tidak benar karena data produksi beras bukan dari BPS melainkan Kementan sendiri,” terang Henri.
Salah seorang petani SPI asal Pringsewu Lampung, Muhlasin mengemukakan, saat ini harga beras terus naik, per hari ini harga beras asalan mencapai Rp 10.500 per kg dan Rp 12.000 untuk jenis beras medium di tingkat pabrik. Menurutnya, kondisi ini dipicu oleh banyaknya pedagang beras dan spekulan dari Jawa yg membeli beras dalam skala besar di pabrik-pabrik di Lampung, terutama Lampung Tengah, Pringsewu, dan Tanggamus.
Muhlasin menyesalkan, kenaikan harga beras kali ini malah tidak dinikmati oleh petani. “Yang menikmatinya ya pedagang dan spekulan,” keluhnya.
Muhlasin menerangkan, sebagian besar petani padi hanya memiliki lahan yg sempit, rata-rata di Lampung hanya memiliki lahan 3.000 m2, bahkan kurang.
“Jadi pada saat panen memang terpaksa harus langsung dijual untuk menutupi kebutuhan hidup, membayar pupuk, dan sebagainya, jadi hanya sedikit yang bisa disimpan untuk makan,” tutur Ketua SPI Lampung ini.
Seperti diketahui, saat ini harga beras di konsumen berkisar Rp. 9.600 – Rp. 12.000, harga ini di atas HET Beras untuk pulau Jawa. Ia menjelaskan, di sebagian besar wilayah Jawa Barat (Jabar), sudah panen padi sejak Oktober-November kemarin. Sehingga Januari ini belum ada panen padi di sebagian besar daerah di Jabar.
“Harga panen kemarin sangat rendah, GKG sekitar Rp. 4.500 (dibawah HPP). Sehingga kenaikan harga beras saat ini tidak dirasakan oleh petani Jabar. Penurunan harga disebabkan kualitas gabah yang buruk, karena banyak sawah yang terkena hama wereng. Banyak petani juga mengalami gagal panen dan puso,” tuturnya.
Hal senada disampaikan petani SPI dari Pati, Jawa Tengah (Jateng). Edi Sutrisno, Ketua SPI Jateng menjelaskan, pada November-Desember 2017 beberapa wilayah di Jateng panen. “Sayangnya banyak sawah petani terkena hama tikus. Sehingga produksinya menurun bahkan sampai gagal panen,” keluhnya.
Edi menjelaskan, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani cukup tinggi, karena keterbatasan gabah. Untuk GKP kualitas premium sebesar Rp. 7.500 per kg dan kualitas medium Rp. 5.000 per kg. Sementara harga beras di tingkat konsumen berkisar Rp. 10.200 – Rp. 11.000 per kg. “Saat ini petani di Jateng sedang memasuki musim tanam, dan diperkirakan panen pada Maret – April 2018,” tambahnya.
Sementara itu Henry Saragih menambahkan, perihal impor beras ini disinyalir menjadi bisnis besar. “Impor beras 500 ribu ton itu bukan sedikit. Jika keuntungan per kilogramnya saja dikalikan saja Rp 100, sudah berapa itu duitnya, banyak yang mengambil untung dari rente,” sambungnya.
Henry menutup, impor beras juga merupakan bukti bahwa kinerja satgas pangan tidak efektif. “Tak bisa ditunggu lagi, pemerintah harus segera membentuk Badan Pangan Nasional yang jadi mandat di UU Pangan,” tutupnya.
Sementara itu, Dwi Andreas Santosa selaku Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) menduga, kenaikan harga beras mengikuti peningkatan harga gabah di sejumlah daerah. Ia memperkirakan, terjadinya kekurangan pasokan beras ke pasar ialah akibat menurunnya produksi di tahun lalu. Penurunan produksi ini terjadi karena berbagai gangguan hama yang merusak padi.
Ia memprediksi, gejolak harga beras ini akan terus ada hingga awal Maret. Maka, Dwi juga meminta kepada pemerintah untuk segera lakukan tindakan antisipasi.
“Ini jadi warning bersama perlu tindakan yang intensif itu untuk meredam, kalau tidak dilakukan dikhawatirkan akan terjadi panic buying sehingga menyebabkan harga lebih tinggu, dan kondisi ini diperkirakan akan terjadi sampai Februari atau Maret,” kata Dwi.
Dia menyebutkan musim panen dimulai pada akhir Januari atau Februari dan membutuhkan proses sebelum beras mencapai pasar kemudian ke konsumen.
“Jadi yang perlu dilakukan adalah menambah stok atau menambah paling tidak untuk sekitar Februari, ya sumbernya hanya dua dari dalam negeri atau impor,” jelas Dwi.
Eveline Ramadhini