Wartapilihan.com – Entah apa maksud tulisan Goenawan Mohamad pada Majalah Tempo edisi 31 Juli ini. Ia menulis Catatan Pinggir dengan judul Fotokopi. Dalam tulisan itu ia sebenarnya ingin menggugat dunia perguruan tinggi yang lebih banyak menghafal daripada ‘menganalisa’. Cuma yang jadi masalah, ketika ia mengaitkan menghafal itu dengan Al Qurán. Lihatlah penggalan tulisannya:
“Tapi apa mau dikata? Mungkin ruang praktikum itu hanya melanjutkan apa yang di luarnya. Di luar itu, pengetahuan adalah replika. Sekarang pun ada perguruan tinggi yang memberi perlakuan khusus bagi mahasiswa yang hafal Quran 30 juz: menghafal, bentuk lain memfotokopi, yang memang lebih bisa diuji dan diperlihatkan ketimbang menghayati. Murid-murid juga tahu 2 x 2 = 4, tapi tak tahu mengapa 2 + 2 juga menghasilkan angka yang sama. Dulu, di sekolah menengah, guru geometri mengatakan, “Kalau kalian terbiasa menghafal, akan tumbuh tanduk di kepala kalian.” Dia mengajari kami bukan memakai rumus, melainkan menganalisis rumus. “Terlalu banyak kepala bertanduk di luar,” katanya.
Tanduk dan fotokopi. Di masa ketika masyarakat hidup akrab dengan kerbau–di masyarakat agraris yang mengandalkan alam yang hanya sedikit berubah dari abad ke abad–pengetahuan dan keterampilan adalah akumulasi informasi masa lalu. Ia diwariskan untuk ditiru, dengan sedikit modifikasi. Generasi baru adalah jejak generasi sebelumnya: “wong tuwa wajib bêbakal | wong anom darma nglakoni | yèn wong tuwané tan lumrah | turuné yêkti nêmahi….”
Itu salah satu kalimat dalam Serat Wicara Keras yang diajarkan kepada saya sewaktu berumur 12 tahun untuk latihan menembang: “orang tua wajib memberi contoh dan orang muda hanya menjalankan….”
Goenawan mungkin benar. Bahwa banyak hafalan di perguruan tinggi, kurang melakukan analisa, bisa membawa dampak buruk bagi mahasiswa. Orang bisa kurang mendalam dalam berfikir, memahami dan seterusnya.
Tapi ketika laki-laki usia 76 tahun ini sinis terhadap perguruan tinggi yang menerima mahasiswa penghafal al Quran 30 juz, nampaknya ia salah alamat. Karena keawamannya terhadap al Quran, mungkin Goenawan berpendapat seperti itu.
Goenawan tidak memahami bahwa kewajiban terhadap Al Quran mencakup membaca, memahami maknanya, mengamalkan dan mendakwahkannya. Menghafal Al Quran adalah perbuatan terpuji yang dianjurkan. Bahkan menghafal surat al Fatihah adalah wajib bagi seorang Muslim, karena ia harus membacanya tiap hari dalam shalat minimal 17 kali.
Menghafal Al Quran 30 juz, adalah budaya yang unggul dalam Islam. Apalagi bila hafalan itu dilakukan ketika masih kanak-kanak. Maka para cendekiawan Islam banyak yang hafal al Quran sekitar 10 tahun. Bacalah biografi seperti Imam Syafii, Hasan al Bana, Sayid Qutb dan Yusuf Qaradhawi.
Setelah anak-anak menghafal al Quran, (idealnya) mereka juga diajari dengan sejarah, geografi, bahasa Arab dan bahasa asing, matematika, sains Islam, ilmu tafsir dan lain-lain. Sehingga pemahaman mereka terhadap ilmu dan Al Quran menjadi luas.
Kita bisa mengambil salah satu contoh pribadi yang hebat yang hafal al Quran adalah Sayid Qutb. Meski orientalis Barat mencoba menggelapkan pribadi dan karya-karya Qutb –dengan menjuluki the founder of terrorism– tapi permata tetaplah permata. Cendekiawan-cendekiawan Islam yang shalih tidak satupun yang mengecam Sayid Qutb. Mereka bahkan kagum dengan kepribadian dan karya-karya monumentalnya.
Bayangkan puluhan tahun dipenjara dan disiksa oleh pemerintah Gamal Abdul Nasser, tidak mengubah kepribadian Sayid Qutb. Bahkan dalam penjara ia tamatkan karya tafsir Fi Zhilalil Quran. Ketika aparat Gamal meminta Qutb untuk minta maaf kepada pemerintah agar ia dibebaskan dari penjara, Qutb menolaknya. Qutb merasa bahwa apa yang ia perbuat dan tulis dalam karya-karyanya adalah benar (semua bernafaskan al Quran). Gamal pun marah dan akhirnya menghukum mati ‘pribadi Qurani’ dari Mesir ini.
Tapi apa yang dilakukan sejarawan dan orientalis Barat atau cendekiawan Timur yang pro Barat? Mereka memuji-muji Gamal dalam karya-karyanya dan ‘selalu’ menyatakan Sayid Qutb radikal, emosional, pelopor terorisme dan lain-lain. Beda dengan tulisan ulama-ulama shalih seperti Abdullah Azzam dan Sholeh Abdul Fattah al Khalidi yang menganggap Sayyid Qutb adalah ‘guru mujahid dan mujtahid’.
Jadi Goenawan mesti belajar Al Quran dan sejarah Islam lagi secara benar. Jangan hanya ternganga-nganga dengan cendekiawan Barat.
Remaja yang hafal Al Quran 30 juz memang patut diberi kehormatan. Hafalannya ini menunjukkan bahwa akhlak dan otaknya siap bergerak untuk menempuh tantangan-tantangan yang sulit.
Dan khusus tentang akhlak yang baik, ia adalah modal utama dan tujuan utama bagi pendidikan. Bukankah orang pintar yang jahat atau akhlaknya buruk justru akan mempunyai daya rusak hebat di muka bumi ini?
Remaja yang hafal al Quran 30 juz, sulit ditemui mempunyai akhlak yang buruk. Karena itu kebijakan beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang menerima mereka, adalah kebijakan yang patut didukung.
Akhirnya perlu direnungkan firman Allah ini, “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”. Mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak mengetahui .” (QS al Baqarah 11-13).
Benarlah pepatah bijak : Kebodohanmu tentang sesuatu, membuat kamu memusuhi sesuatu itu. Wallahu alimun hakim. II
Izzadina