Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tantangan ilmu, iman, dan akhlak para santri di era dominasi peradaban modern ini sungguh berat. Ini meruapakan ujian iman yang berat. Ilmu-ilmu yang sudah dilajari bertahun-tahun di pesantren, bisa hilang dan tak berbekas kepada santri yang lulus pesantren. Godaan duniawi begitu besar. Orientasi akhirat semakin terlupakan.
Dalam beberapa kali acara kajian dan dialog dengan para santri, saya mengingatkan kembali tujuan mereka mencari ilmu di pesantren adalah agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat (ilman nafi’an) adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan.
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang semakin menambah rasa takut kepada Allah, menguatkan kecintaan kepada akhirat, dan mengurangi kecintaan kepada dunia, serta mempertajam mata hati seseorang untuk mengenali cacat-cacat diri dan amalnya. Itulah ilmu yang bermanfaat.
Betapa indahnya doa yang diajarkan Rasulullah saw: “Ya Allah berikanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat…!” Bahkan, Rasulullah pun mengajarkan panduan yang indah dalam pendidikan. Bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesama.
Jadi, tujuan pendidikan tertinggi adalah melahirkan orang-orang yang bermanfaat. Yang terbaik bukan hanya yang pinter dan kaya, tetapi yang lebih penting, ia menjadi orang yang berguna bagi sesama. Menjadi menteri atau gubernur itu baik-baik saja, selama jabatan itu berguna untuk meningkatkan derajat masyarakatnya. Tetapi, jika jabatan itu menjadikannya sombong dan serakah dunia, maka jabatan itu justru membawanya ke jurang kehancuran dunia dan akhirat.
Panduan Rasulullah saw itu melampuai pemikiran para tokoh pendidikan yang masih menggunakan ukuran keberhasilan pendidikan sebatas kepada prestasi individu dalam dunia akademis. Sukses pendidikan ditandai dengan kemampuannya melahirkan temuan atau teori baru. Temuan-temuan itu bisa saja mengantarkan seseorang untuk meraih berbagai keuntungan, seperti hak cipta atau hak paten. Tapi, semua temuan hebat itu tak akan memiliki nilai yang mulia jika hanya untuk memperkaya diri sendiri dan tidak bermanfaat bagi sesama.
Para santri tergolong manusia yang sangat beruntung karena mendapat kesempatan untuk menjadi manusia terbaik dengan derajat tertinggi. Yakni, orang-orang yang bertaqwa dan aktif dalam akivitas perjuangan menegakkan kebenaran. Tidak mudah menjadi santri. Kadang anaknya mau nyantri, tetapi orang tuanya tidak merestui. Mungkin orang tuanya mau anaknya nantri, tetapi anaknya sendiri yang justru menolak. Ada juga yang gagal nyantri karena ketiadaan biaya.
Jadi, ketika seorang anak sudah menjadi santri, maka sejatinya ia bukan anak-anak biasa. Ia anak istimewa yang diharapkan akan menjadi orang-orang yang berguna bagi sesama. Para santri itu harus diajak dan disadarkan terus-menerus untuk bercita-cita menjadi orang yang tidak biasa-biasa saja. Dalam agama Katolik, anak-anak muda yang mau memperjuangkan agamanya rela menjadi pastor yang berkomitmen tidak menikah selamanya dan tidak memiliki harta pribadi lagi.
Jadi, patutlah para orang tua bersyukur dan berbahagia ketika anak-anaknya bersedia menjadi santri. Jangan sampai aktivitas menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat dicemari dengan cita-cita duniawi dan melupakan peluang besar untuk meraih pahala jariyah dari doa dan amal ibadah serta aktivitas dakwah anak-anaknya itu. Orang tua yang sudah meninggal tentu sangat berharap akan terus mendapatkan kiriman pahala dari anak-anaknya yang aktif dalam aktivitas keilmuan dan perjuangan menegakkan kebenaran.
Jika para santri itu rajin mengajarkan ilmunya kepada masyarakat, maka ia akan mendapatkan pahala besar dari pengamalan ilmunya tersebut. Begitu juga orang tuanya, guru-gurunya, dan semua orang yang turut berjasa dalam proses pendidikannya di pesantren. Itulah yang sangat diharapkan oleh para orang tua yang sudah meninggal terhadap anak-anaknya.
Dalam beberapa kali dialog dengan para santri dari berbagai pesantren, saya mendapat penjelasan bahwa cita-cita utama para santri setelah lulus dari pesantren adalah melanjutkan kuliah agar nanti bisa meraih pekerjaan yang layak. Jurusan-jurusan kuliah yang dianggap “basah” diserbu oleh banyak pelajar, termasuk santri. Sementara jurusan kuliah yang dianggap “kering”, biasanya tidak menjadi tujuan utama kuliah.
Jadi, para santri di pesantren sudah saatnya menyadari bahwa mereka sedang berjuang di jalan Allah dan ditunggu kiprah dakwahnya di tengah masyarakat. Itulah sebaik-baik manusia, karena menjadi lelanjut perjuangan para Nabi dalam menegakkan kebenaran.
Jadi, silakan para santri bercita-cita untuk melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi. Tetapi, utamakan memilih kampus yang mendidik mahasiswanya dengan serius untuk menjadi orang baik. Semoga Allah meridhai kita semua! Amin. (Depok, 8 Mei 2024).