Dipaksa Sebagai PSK dan Menjadi Korban Perdagangan Manusia

by

Oleh: Taufik Hidayat

“Kalau enggak kayak gini, mau makan dari mana. Sungkan juga minta uang ke mama, apalagi waktu lihat dagangan belum habis,” ucap seorang siswi SMP berinisial RA yang nahas sudah tiga tahun terakhir terjerat dalam prostitusi daring. Ia diperdagangkan oleh mucikarinya via sosmed dan ditawarkan sekian ratus ribu rupiah per jamnya. Ia mengaku terpaksa mau dijual dalam bisnis prostitusi daring, sebab terdesak kebutuhan ekonomi.[1] Kisah pilu juga dialami oleh seorang siswi SMA berinisial UNA. Awalnya, ia mencari loker yang tidak membutuhkan ijazah SMA dan KTP, karena membutuhkan uang untuk membayar utang mendiang ibunya yang meninggal dua tahun silam, namun nahas pula ia terjebak bekerja di sebuah spa ‘plus’ yang menyediakan layanan seksual. UNA berkali-kali menangis dan nampak putus asa. “Saya sudah tidak mau bekerja di situ. Lebih baik saya nyusul Mama (meninggal),” kata anak yang bercita-cita menjadi guru ini.[2]

 

Hal sebentuk pun terjadi, “Aku mah jujur nih ya, gak pernah namanya minta uang atau ini itu. Cuma, aku tuh penginnya kasih sayang,” ucap TA. Sejak SMP, TA sudah tergaul dengan orang/pihak yang terlibat dalam bisnis prostitusi. Lingkaran pertemanan dengan korban serta pelaku perdagangan anak itu, jadi pelarian TA dari kurangnya kasih sayang keluarga. Padahal, orangtua TA terbilang lengkap dan berkecukupan, namun materi saja ternyata tak cukup.[3] Peristiwa senada pun dialami EH yang dijual lantaran terjerat hutang. Kala itu, ia dibawa oleh sindikat perdagangan orang, lalu dipindah-pindahkan dari suatu negara ke negara lain. Selama perpindahan itu, EH berganti majikan tapi tidak digaji, bahkan mengalami pelecehan seksual dan kekerasan fisik. “Saat dikembalikan ke agen, saya malah dipukuli dan disiksa habis-habisan. Saya sudah berkali-kali minta pulang, namun saat itu saya justru dipindahkan lagi,” kata EH.[4]

 

Fenomena sejenis terus berlangsung. “Diturunin sama sopir travel di pinggir jalan. Terus dijemput sama sebelas orang. Ceweknya satu, laki-lakinya sepuluh. Jam 11 malam langsung dibawa,” ungkap NT yang pernah mengalami dipaksa bekerja di tempat prostitusi. Sebelumnya, NT mendapat tawaran pekerjaan di toko kosmetik via sosmed. Namun, setibanya di tempat, ia malah dibawa ke sebuah café remang-remang. NT dipaksa berpakaian minim dan mejeng semalaman.[5] Pun seorang wanita berinisal IA juga punya pengalaman yang sama, beberapa tahun lalu ia mulai dipekerjakan di tempat hiburan malam. Awalnya, ia ditawari untuk bekerja di warung makan, dan ia langsung tertarik sebab ingin bermanfaat bagi keluarga. Tapi, malah ditipu dan dijual kepada mucikari café. Disana, jika ia menolak tugas dari sang ‘mami’, maka diseret-dipukulilah hingga wajahnya lebam.[6]

 

Kisah tragis pula dialami SK dan WI. Menjadi korban bujuk rayu perdagangan orang ke luar negeri, SK mengaku mendapat tawaran berupa pekerjaan dengan gaji tinggi. Namun nahas, hal itu tak pernah jadi nyata. SK justru diminta terus-menerus bekerja hingga berganti-ganti majikan, bahkan tak digaji. SK pun mendapat kekerasan fisik dari majikan dan agennya, salah satunya menyebabkan luka yang membekas hingga sekarang.[7] Sementara, WI pernah dipaksa menjadi pemandu karaoke di suatu kafe. Tak hanya ditugasi menemani tamu bernyanyi, ia juga dilacurkan oleh pemilik café. Jika gagal menggaet tamu, WI tidak akan diberi upah, bahkan tidak segan untuk disiksa. “Saya sengaja enggak dapet tamu. Terus dimarahin. Saya sakit juga bukannya diapain, malah masih suruh nyari tamu. Malah diseret, terus dipukul pakai handphone di kepala sama disundut rokok di kaki,” ungkap WI.[8]

 

Pelbagai peristiwa getir seperti diatas, tentu tidak hanya dialami oleh RA, UNA, TA, EH, NT, IA, SK serta WI, melainkan pula dialami oleh sebagian wanita yang mungkin saja ada di sekitar kita. Hal ini pun menandai, bahwa anak-anak dapat dikucilkan oleh keluarga, masyarakat, atau bahkan negara melalui kriminalisasi. Mereka dieksploitasi oleh perantara yang mengambil keuntungan, tidak memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, layanan kejuruan, dan mungkin mengalami masalah psikososial.[9] Dan inilah salah satu dari ragam fenomena eksklusi sosial.

 

Eksklusi sosial, secara umum diartikan sebagai serangkaian proses kelindan dari bobroknya kualitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, hingga kurangnya dukungan sosial. Fenomena ini dapat menyebabkan kerentanan dan tercerabutnya perolehan hak-hak pekerjaan, perawatan kesehatan, keluarga yang aman, dan standar hidup yang layak.[10] Selain tingkat individu, eksklusi sosial pun memengaruhi kelompok masyarakat tertentu, seperti migran, penyandang disabilitas, tunawisma, dan mereka yang menderita penyakit mental. Dengan kata lain, hal ini juga merupakan akibat dari pemiskinan, diskriminasi, dan minimnya layanan publik yang memadai.

 

Orang yang terlibat dalam pekerjaan seks acapkali mengalami eksklusi sosial serta berpangkal dari pengalaman yang mengarah pada eksklusi. ‘Putusnya kasih-sayang/perhatian’ dan mengendurnya sistem kepedulian maupun jejaring pengaman, dapat membuat orang rentan terhadap eksploitasi, lalu akhirnya terlibat dalam pekerjaan seks. Dalam banyak kasus, mereka yang telah terputus dari caring system tertentu, berpotensi mengalami kekurangan uang, tempat tinggal, pekerjaan, modal sosial, dan jaringan dukungan yang tepat, sehingga mendorong mereka ke dalam eksklusi sosial dan dapat memunculkan jeratan sikon yang memosisikan pekerjaan seks sebagai cara bertahan hidup dan/atau sebagai sebagai jalan keluar instan.[11]

 

Dalam sudut pandang ini, kerja seks adalah sesuatu yang bermasalah, tidak senonoh, dan merupakan pelanggaran hak-hak perempuan.[12] Ia mengakibatkan berkurangnya kontak dengan layanan kesehatan, penyedia kesehatan maupun dukungan lainnya, peningkatan stres dan perasaan terisolasi yang melahirkan masalah kesehatan mental, serta berkontribusi pada eksklusi sosial.[13] Penjelasan beberapa literatur memang mengungkapkan, bahwa pekerjaan seks disebab-akibatkan oleh pelbagai kondisi kerentanan, termasuk eksklusi sosial. Tingkat keparahan eksklusi cenderung berbeda, tergantung pada sikon pekerja seks, dan mereka yang tereksklusikan adalah mereka yang telah diperdagangkan secara seksual serta diperbudak dalam pekerjaan seks.[14]

 

Akhir kata, dengan fakta langgengnya fenomena ini, lantas pertanyaannya adalah seberapa berkualitas akses layanan, kebijakan, dan support system di sekitar kita? Tentu penanganan pelbagai persoalan konsekuensi dari eksklusi membutuhkan upaya kolaboratif-koalisi yang inklusif dari kita.

[1] “Diperdagangkan Sebagai Pekerja Seks Daring”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-pekerja-seks-daring/.

[2] “Diperdagangkan Sebagai Terapis Spa ‘Plus’”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-terapis-spa-plus/.

[3] “Diperdagangkan Sebagai Pekerja Seks Lewat Aplikasi”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-pekerja-seks-lewat-aplikasi/.

[4] “Diperdagangkan Sebagai Pekerja Migran ke Timur Tengah”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-pekerja-migran-ke-timur-tengah/.

[5] “Diperdagangkan Sebagai LC Kafe di Rawa Bebek, Jakarta Utara”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-lc-kafe-di-rawa-bebek-jakarta-utara/.

[6]  “Diperdagangkan Sebagai Pekerja Seks di Kafe di Bekasi”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-pekerja-seks-di-kafe-di-bekasi/.

[7]  “Diperdagangkan Sebagai Pekerja Migran ke Malaysia”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-pekerja-migran-ke-malaysia/.

[8]  “Diperdagangkan Sebagai Pemandu Lagu di Karaoke “Plus”. (2023, Maret 10). Diakses pada Mei 18, 2024 dari https://interaktif.kompas.id/baca/diperdagangkan-sebagai-pemandu-lagu-di-karaoke-plus/.

[9]   The Asia Fondation. (2016). “Understanding Social Exclusion in Indonesia: A Meta-Analysis Of Program Peduli’s Theory Of Change Documents”.

[10]  Popay, Jennie. (2010). Understanding and Tackling Social Exclusion.

[11]  Mcnaughton, C. C., & Sanders, T. (2007). Housing and Transitional Phases Out of ‘Disordered’ Lives: The Case of Leaving Homelessness and Street Sex Work.

[12]  Ward, H., & Day, S. (2006). What Happens to Women who Sell Sex? Report of a Unique Occupational Cohort.

[13]  Cusick, L., & Berney, L. (2005). Prioritizing Punitive Responses Over Public Health: Commentary on The Home Office Consultation Document Paying the Price.

[14]  Scambler, G. (2007). Sex Work Stigma: Opportunist Migrants in London.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *