“Sejak awal, pemerintah memang sangat menginginkan M. Iriawan menjadi Gubernur Jawa Barat, meskipun sempat berpura-pura menarik namanya pada akhir Februari silam. Jadi, ini dagelan politik saja,” ujar Fadli.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Partai Gerindra sangat mendukung dibentuknya Pansus Hak Angket terkait pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (19/6).
Dikatakan Fadli, Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jawa Barat sudah mengambil sikap tegas memboikot pelantikan Pj Gubernur Jawa Barat yang cacat hukum. Partai Gerindra di DPR RI akan ikut mendukung dan menjadi inisiator dibentuknya Pansus Hak Angket atas pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Gubernur.
“Masyarakat bisa menilai sendiri, kritik atas penunjukkan jenderal polisi aktif sebagai Pj Gubernur Jawa Barat ini bukan hanya datang dari kelompok oposisi, tapi juga disampaikan sejumlah partai pendukung pemerintah sendiri,” ujar dia.
Artinya, lanjut Fadli, di luar soal oposisi dan non-oposisi, semua pihak pada dasarnya memiliki penilaian serupa bahwa kebijakan tersebut memang keliru, menabrak undang-undang, dan tak sesuai tuntutan Reformasi untuk menghapus dwifungsi angkatan bersenjata, baik TNI maupun Polri.
“Pengangkatan Komjen M. Iriawan bukan hanya cacat secara formil, tapi juga secara materil. Sesudah namanya ditarik Menko Polhukam, ia kemudian dimutasi ke Lemhanas, dijadikan Sekretaris Utama. Ia diberi jabatan tinggi madya di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) hanya untuk mengulang model pengangkatan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat pada 2016, yang sebelumnya menduduki jabatan tinggi madya di Kemenko Polhukam,” tuturnya.
“Artinya, sejak awal pemerintah memang sangat menginginkan M. Iriawan menjadi Gubernur Jawa Barat, meskipun sempat berpura-pura menarik namanya pada akhir Februari silam. Jadi, ini dagelan politik saja,” sambung Fadli.
Sebelumnya ia mengatakan, meskipun memang ada presedennya, penunjukkan anggota Polri aktif sebagai gubernur cukup jelas melanggar undang-undang. Ada tiga undang-undang yang terlanggar. Pertama, UU No. 2/2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal 28 ayat 1, UU jelas memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
“Begitu juga dalam ayat 3 Pasal 28, yang menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Rambu ini sangat tegas. Rambu ini juga menjadi bagian dari spirit Reformasi yang telah ditegaskan konstitusi pasca-amandemen,” paparnya.
Kedua, UU No. 16/2016 tentang Pilkada. Menurut UU Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur maka diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya. Jabatan pemimpin tinggi madya ini ada batasannya, yaitu pejabat Aparatur Sipil Negara. Gubernur adalah jabatan sipil, jadi tak dibenarkan polisi aktif menduduki jabatan tersebut.
Ketiga, UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan pengisian jabatan ASN tertentu memang bisa berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri, namun ketentuan inipun ada batasnya, yaitu hanya bisa dilaksanakan pada Instansi Pusat saja. Sementara, Gubernur pejabat pemerintah daerah.
Terlebih, Peraturan Pemerintah (PP) No. 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, turunan UU ASN, pada Pasal 157 ayat (1) menegaskan jikapun ada prajurit TNI dan anggota Polri yang kompetensinya dibutuhkan untuk pengisian jabatan pimpinan di luar Instansi Pusat, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas aktif.
“Nah, semua Undang-Undang dan peraturan tadi telah dilanggar pemerintah saat pelantikan Komjen M. Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat pada hari Senin kemarin. Ini tak boleh dibiarkan. Negara tak bisa dikelola seenak selera penguasa,” tegasnya.
“Dulu sudah saya ingatkan, biang kerok semua ini adalah Permendagri No. 1/2018, yang telah menyesatkan seluruh peraturan yang ada di atasnya. Permendagri No. 1/2018 telah memberikan tafsir salah melalui pencantuman frasa setara jabatan tinggi madya, sehingga seolah aparat negara non-sipil memiliki hak yang sama dengan ASN,” tukasnya.
Menurutnya, Permendagri ini bermasalah, karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. Dulu ia menyarankan agar Permendagri ini segera dicabut, tapi tak dihiraukan. Akibatnya, kini Kemendagri telah menyeret polisi kembali ke pusaran politik praktis.
“Ini kan tidak benar. Saat Reformasi dulu kita sudah mengkoreksi dwifungsi TNI, jangan kini pemerintah mengulang kesalahan dengan dwifungsi Polri,” tandasnya.
Pengangkatan Mayjen TNI Setia Purwaka sebagai Penjabat (Pjs) Gubernur Jawa Timur pada 26 Agustus 2008, serta pelantikan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada 30 Desember 2016, adalah preseden yang salah. Tak sepatutnya preseden salah dijadikan yurisprudensi.
“Pansus Hak Angket harus bisa mengkoreksi hal ini. Jangan sampai kesalahan masa lalu itu malah dilembagakan seolah-olah kebijakan yang benar. Gerindra tak menginginkan negara ini dikelola secara amatiran dan sekehendak hati penguasa. Itu sebabnya kami akan gulirkan Pansus Hak Angket,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menyayangkan pengangkatan Komjen Pol M. Irawan sebagai PLT Gubernur Jawa Barat. Pasalnya Irawan adalah anggota Polri aktif atau belum purna tugas.
“Kami juga sudah ingatkan agar Mendagari tidak memicu polemik yang kontraproduktif bagi terciptanya suasana kondusif jelang pilkada dan direspon baik saat itu oleh Mendagri dengan mengurungkan niat tersebut. Tapi kenapa kebijakan tersebut kini tetap dijalankan juga?,” tanya Jazuli, heran.
Fraksi PKS, bukan tanpa alasan mengingatkan Mendagri untuk tidak menarik polisi aktif, siapapun orangnya, untuk menjadi pejabat gubernur. Selain, rentan dipersepsi politis, kebijakan tersebut berpotensi serius melanggar sejumlah undang-undang.
“Bukan hanya Fraksi PKS, sejumlah pakar juga mengingatkan potensi pelanggaran undang-undang kebijakan ini. Sehingga jika ada Fraksi yang mengusulkan hak angket atas kebijakan ini saya kira cukup beralasan dan objektif. Nanti akan kita uji bersama apakah pemerintah melanggar Undang-Undang atau tidak,” terang Jazuli.
Ahmad Zuhdi