“Pemaksaan pelantikan Komjen Pol. M. Iriawan menjadi Pjs. Gubernur Jabar menggantikan Ahmad Heriawan, adalah pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden secara terbuka melalui Kemendagri,” ujar Khozin.*
Wartapilihan.com, Jakarta –Secara hukum jabatan kepala daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota adalah jabatan politik. Bahkan, sejak era otonomi daerah dan Pilkada langsung, kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) adalah jabatan politik yang kekuasaanya diperoleh dari rakyat secara langsung melalui Pilkada langsung.
Adapun jabatan Pjs. (Penjabat sementara) Kepala Daerah, baik Gubernur, Bupati dan Walikota adalah jabatan administratif. Pengisian posisi Pjs. Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan melalui proses administratif yang ditentukan oleh pejabat terkait. Demikian disampakan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Ahmad Khozinudin di Jakarta, Rabu (20/6).
“Posisi Pjs. Gubernur ditunjuk dan ditetapkan melalui keputusan Presiden melalui rekomendasi Kemendagri. Presiden, tidak sekedar melantik Pjs. Gubernur, namun juga selaku pihak yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan pengisian jabatan Pjs. Gubernur,” ujar pria sapaan Khozin.
Adapun Gubernur yang dipilih melalui pemilihan langsung (proses politik), Presiden hanya memiliki kewenangan seremonial. Menurut dia dalam hal ini, Presiden hanya berwenang untuk melantik Gubernur terpilih, tanpa bisa memilih, menentukan, menolak atau menetapkan pengisian jabatannya.
Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan dilantiknya Komisaris Jenderal Pol M. Iriawan (Iwan Bule) sebagai penjabat sementara (Pjs) Gubernur Jawa Barat menyusul rampungnya masa tugas Ahmad Heriawan periode 2013-2018. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo secara resmi melantik atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/P Tahun 2018, tanggal 8 Juni 2018.
“Pelantikan pejabat sementara Gubernur Jabar ini menuai kontroversi, sebab penunjukan Komisaris Jenderal Pol M Iriawan sebagai Pjs. Gubernur Jabar dianggap melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi, kontroversi wacana pengisian jabatan Pjs. Gubernur Jabar ini sebenarnya telah ramai menjadi perbincangan publik sejak Januari 2018,” tuturnya.
Abai terhadap masukan dan kritik publik, Presiden seolah menggunakan falsafah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Mendagri atas nama Presiden, pada tanggal 18 Juni 2018 tetap melantik Pjs Gubernur Jabar, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/P Tahun 2018, tanggal 8 Juni 2018.
Pelantikan Iriawan Melanggar Hukum
Pasal 201 ayat (10), Undang-undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU. No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No. 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubermur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang – Undang, tegas menyebutkan :
“Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan PIMPINAN TINGGI MADYA sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menurut ketentuan pasal 13 Jo. Pasal 19 huruf b, UU. 5 tahun 2014 tentang ASN, Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri dari atas :
a. Jabatan Pimpinan Tinggi Utama; b. Jabatan Pimpinan Tinggi Madya; c. Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama. Dalam Penjelasan UU ASN, Jabatan Pimpinan Tinggi Madya telah ditentukan secara limitatif, yakni meliputi: Sekretaris Jenderal Kementerian, Sekretaris Kementerian, Sekretaris Utama, Sekretaris Jenderal Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekretaris Jenderal Lembaga Nonstruktural, Direktur Jenderal, Deputi, Inspektur Jenderal, Inspektur Utama, Kepala Badan, Staf Ahli Menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
“Penjelasan lengkap ini tentu memantik pertanyaan publik, apakah tidak ada Sekretaris Jenderal Kementerian yang bisa dilantik menjadi Pjs. Gubernur Jabar? Dan posisi strageis lainnya yang dapat mengisi kekosongan tersebut,” tukasnya.
Dalam penjelasan pasal 19 huruf b UU. 5 tahun 2014 tentang ASN memuat penjelasan dengan frasa “dan jabatan lain yang setara”. Hanya saja yang dimaksud jabatan lain tersebut tetap harus merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Diketahui, Komjen Pol M. Iriawan saat berpangkat Irjen pernah menjabat Asisten Bidang Operasi (Asops) kemudian dipindahtugaskan ke Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas). Jabatan ini bukan jabatan politik, bukan jabatan administratif namun jabatan karier kelembagaan di institusi Kepolisian Republik Indonesia.
Terhadap status Komjen Pol. M. Iriawan sebagai jenderal polisi, maka status dan jabatannya terikat dengan UU Kepolisian. Pasal 28 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Ketentuan pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian ini menjadi penghalang bagi Presiden untuk melantik Komjen Pol. M. Iriawan menjadi Pjs. Gubernur Jabar. Frasa “dan jabatan lain yang setara” pada pasal 19 huruf b UU. 5 tahun 2014 tentang ASN tidak bisa diisi oleh pejabat dilingkungan kepolisian.
“Karenanya, pemaksaan pelantikan Komjen Pol. M. Iriawan menjadi Pjs. Gubernur Jabar menggantikan Ahmad Heriawan, adalah pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden secara terbuka melalui Kemendagri,” tegasnya.
Sanksi Pelanggaran
Secara ketatanegaraan, pengisian jabatan Pjs Gubernur Jabar adalah tindakan badan atau pejabat TUN yang bisa digugat melalui peradilan tata usaha negara. Proses ini hanya bisa menganulir keputusan TUN (beshicking) berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/P Tahun 2018, tanggal 8 Juni 2018.
“Namun selain konsekuensi secara administrasi, Presiden selaku pihak yang memilih dan menetapkan Iwan Bule sebagai Pjs. Gubernur Jabar terbukti melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Apalagi, wacana ini sejak Januari 2018 telah menjadi kontroversi, sudah banyak masukan dan kritik publik terhadap hal ini,” ujar dia.
Dengan demikian, lanjutnya, ngototnya Presiden melantik Iwan Bule menjadi Pjs. Gubernur Jabar meski telah banyak diingatkan publik, bisa diklasifikasi sebagai tindakan tercela. Tindakan tercela ini, menambah deretan banyaknya tindakan tercela lainnya yang dilakukan Presiden, diantaranya tetap bagi-bagi sembako, meski telah dilarang Bawaslu. Kabur saat diwawancarai wartawan. Mengelak telah menyetujui substansi keputusan yang ditandatangani dengan dalih tidak membaca keputusan yang telah ditandatangani, dan mengkhianati janji kampanye saat Pilpres.
“Secara politik, DPR seharusnya segera berinisiatif untuk mengaktifkan pasal 7A UUD 1945, berkonsultasi dengan pimpinan MPR untuk memperoleh 2/3 suara paripurna, selanjutnya meneruskan tindakan tercela dan pelanggaran hukum Presiden untuk diproses secara hukum di Mahkamah Konatitusi,” saran dia.
Pasal 7A UUD 1945 tegas menyebutkan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Diakatakan Khozin, Presiden adalah jabatan politik tertinggi, pelanggaran yang dilakukan Presiden tidak dapat diproses secara hukum, melainkan secara politik. Presiden yang korupsi misalnya tidak dapat langsung disidik KPK, tetapi harus diajukan pada Mahkamah politik di Mahkamah konstitusi.
“Sebelum diajukan di MK, proses ini harus lulus uji politik di sidang umum MPR yang membahas soal rekomendasi pemakzulan Presiden ke MK,” katanya.
Menurut Khozin, hal itu adalah cara paling bermartabat, untuk mengevaluasi kinerja Presiden yang cenderung “tutup mata dan telinga” terhadap kritik publik dan pengabaian rambu-rambu tata kelola bernegara. Tindakan ini, sekaligus untuk mengkonfirmasi apakah pasal 7A UUD 45 memilki kekuatan eksekutorial atau sekedar pasal pemanis dan pelengkap saja.
“Tindakan ini juga untuk menjaga netralitas dan legitimasi hasil Pilkada Jabar. Jika ini dibiarkan, kuat dugaan publik tidak percaya pada hasil akhir Pilkada karena banyaknya dakwaan publik atas Ketidaknetralan Pemerintah,” tandasnya.
Jika DPR dan MPR mengabaikan ini, simpulnya, apa boleh buat. Publik terpaksa harus menunggu tahun 2019 untuk menghukum secara politik Presiden Jokowi dengan tidak memilihnya -jika dalam gelaran Pilpres 2019 ikut nyapres- karena ini adalah cara konstitusional untuk menjaga marwah dan wibawa lembaga kepresidenan.
“Rakyat tidak ingin lembaga Presiden menjadi tercela, karena pengelolaan pemerintahan banyak mengabaikan peraturan perundangan. Publik juga perlu penegasan, bahwa negara dikelola dengan managemen yang benar, bukan asal kelola seperti mengelola warung kelontongan,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi