Oleh: Ahmad Zuhdi
Jurnalis Wartapilihan.com
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33, Ayat 2 dan 3. Undang-Undang Dasar 1945).
Wartapilihan.com, Jakarta — Sebagai negara dengan penduduk 250 juta jiwa, adalah sangat penting untuk memiliki kedaulatan di bidang energi. Kedaulatan di bidang tersebut merupakan prasyarat penting menjadi negara besar dan dihormati dunia. Salah satu tantangan utama dan besar yang dihadapi Indonesia, dapat melumpuhkan harapan dan aspirasi untuk masa depan adalah menipisnya sumber daya energi.
Padahal, ketersediaan energi sangat memengaruhi kemampuan dan cara
manusia dalam melakukan berbagai hal; mengolah bahan dan hasil
pertanian, memasak, menyediakan fasilitas pendidikan, fasilitas
kesehatan, fasilitas usaha, fasilitas telekomunikasi, fasilitas hiburan,
dan sebagainya. Energi diamanfaatkan sebagai “layanan”; bukan
energi itu sendiri. Layanan energi (energy services) adalah berupa
manfaat yang dihasilkan oleh pembawa energi untuk kepentingan
hidup manusia.
Diketahui, konsumsi bahan bakar minyak nasional sekitar 500 juta barel minyak setiap tahun, dengan peningkatan rata-rata sebesar 10 juta barel per tahun. Pada tahun 2009, cadangan minyak Indonesia adalah 4,3 miliyar barel. Jika tidak ada penemuan baru, cadangan minyak negara akan habis dalam 12 tahun.
Artinya, pada tahun 2021 Indonesia perlu mengimpor semua kebutuhan minyak dari luar negeri, atau menggantinya dengan pasokan energi alternatif. Harga bahan bakar minyak dalam negeri akan berlipat ganda dari harga saat ini. Kondisi ini sangat berbahaya dan kritis bagi bangsa Indonesia.
Sumber bahan bakar: Minyak Bumi; Cadangan Terbukti: Gas Alam; Produksi Tanaman: 347 juta barel; Tahun Cadangan Habis: 12 tahun.
Sumber bahan bakar: Gas Alam; Cadangan Terbukti: 107 triliun feet cubic; Produksi Tanaman: 3.06 triliun feet cubic; Tahun Cadangan Habis: 34 tahun.
Sumber bahan bakar: Batu Bara; Cadangan Terbukti: 21.13 milyar ton; Produksi Tanaman: 256 juta ton; Tahun Cadangan Habis: 79 tahun.
Kendati demikian, Indonesia dianugerahi dengan sumber energi lainnya sangat besar, yaitu cadangan gas alam dan batubara. Potensinya sangat tinggi dan luar biasa. Bayangkan, Indonesia memiliki cadangan gas alam 107 triliun kaki kubik, setara dengan 34 tahun jika tingkat produksi per tahun tidak meningkat.
Begitu juga dengan cadangan batubara yang mencapai 21 miliar ton. Jumlah yang cukup untuk 79 tahun kedepan dengan tingkat produksi seperti disebutkan di atas. Cadangan yang relatif masih besar dan bisa bertahan lama ini malah bisa menyesatkan (misleading) dan melengahkan para elit dan pemimpin birokrasi pemerintah.
Saat ini, 39 persen dari pasokan energi Indonesia bergantung pada minyak. Jika cadangan minyak di Indonesia habis, maka kita harus mengganti pasokan dengan batubara, gas alam atau sumber energi alternatif. Artinya berarti cadangan gas alam dan batubara yang ada akan habis jauh lebih cepat yang diperkirakan.
Disamping itu, konversi dan pengalihan konsumsi bahan bakar memerlukan waktu yang tidak cepat dan teknologi tepat guna untuk dapat sepenuhnya menggantikan misalnya bahan bakar untuk transportasi dan industri. Ketika ini terjadi, setidaknya dalam satu generasi mendatang, Indonesia akan sepenuhnya bergantung pada impor untuk semua kebutuhan energi. Kecuali bangsa mempersiapkan bentuk energi alternatif.
Potensi energi alternatif Indonesia sangat besar dan masih belum dikembangkan secara optimal. Misalkan, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi potensial sebesar 28.000 megawatt. Dari 28.000, Indonesia dapat merencanakan untuk memanfaatkan setengah dari potensi ini (14.000 megawatt).
Kebutuhan tahunan listrik kita adalah 55.000 megawatt, meningkat 5.000 megawatt setiap tahun. Ini menandakan akan ada kebutuhan energi yang luar biasa. Bangsa dapat optimis, energi surya dan angin akan dapat dimanfaatkan dengan efektif dalam 20 tahun ke depan. Indonesia harus mempertimbangkan bahwa dalam 30 sampai 50 tahun ke depan, harus mengembangkan tenaga nuklir.
Tahun 2013, porsi gas alam mencapai sekitar 15% dalam bauran konsumsi energi final Indonesia (EIA, 2015). Pada tahun tersebut, konsumsi tersebut mencapai sekitar 125,5 juta SBM untuk gas alam dan 47,8 juta SBM untuk LPG (ESDM, 2014).
Konsumsi gas alam Indonesia sebagian besar untuk sektor industri. Sementara itu, pada tahun 2013 impor LPG mencapai 3,3 juta ton, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2008 yang baru mencapai 0,4 juta ton. Ini untuk mengimbangi kenaikan tajam kebutuhan LPG dalam negeri, sementara kapasitas produksi dalam negeri yang tidak mengalami kenaikan yang berarti (dari 1,7 juta ton pada tahun 2008 menjadi 2,0 juta ton pada tahun 2013). Konsumsi LPG terus meningkat dari 15,7 juta SBM pada tahun 2008 menjadi 47,8 juta SBM pada tahun 2013 (ESDM, 2014).
Pasokan LPG, baik dari dalam negeri maupun impor, hampir seluruhnya ditujukan untuk sektor rumah tangga. Konsumsi LPG sektor ini sangat dominan. Pada tahun 2013 LPG yang dikonsumsi mencapai 5.377 ribu ton (45,8 juta SBM), mencapai sekitar 45,98% dari seluruh konsumsi bahan bakar di sektor rumah tangga. Konsumsi ini merupakan kenaikan tajam. Pada tahun 2008 konsumsi baru mencapai 1.592 ribu ton (16,05% dari seluruh kebutuhan sektor rumah tangga), (ESDM, 2014).
Nampak jelas bahwa konversi minyak tanah ke LPG pada sektor ini menimbulkan dampak kebutuhan impor, karena kurangnya kemampuan pasok industri dalam negeri. Dalam konteks kedaulatan energi, kenaikan impor ini mendesak untuk diatasi. Salah satu cara yang bisa dijalankan adalah konversi LPG ke gas alam.
Mewujudkan Energi Berkeadilan
Salah satu sumber energi alternatif terbarukan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah Panas Bumi (Geothermal). Apalagi keberadaan Indonesia di atas sabuk vulkanik yang membentang dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga ke Sulawesi Utara dengan total potensi sumber daya energi panas bumi sebesar 27.000 MW.
Dengan adanya ratifikasi Kyoto Protocol dan komitmen pemerintah RI untuk mengurangi dampak global warming, potensi carbon credit terhadap pengembangan panas bumi di Indonesia menjadikan pengembangan energi panas bumi sangat penting untuk diwujudkan.
Implementasi program pengembangan panas bumi ini memiliki beberapa keunggulan. Di antaranya, kemandirian daerah dalam penyediaan energi yang bersumber dari energi panas bumi di daerah masing-masing; potensi CER (carbon credit) terkait pemberdayaan energi panas bumi yang ramah lingkungan (green energy) dapat memberikan pemasukan signifikan bagi negara tiap tahun; terbangunnya infrastruktur daerah untuk lebih meningkatkan perekonomian; terbukanya kesempatan lapangan kerja baru; dan pengembangan teknologi terapan plus inovasi teknologi baru.
Diharapkan pengembangan panas bumi bisa memberikan kontribusi cukup signifikan di masa mendatang, Sehingga mampu mewujudkan energi berkeadilan.
Penyulingan Minyak Mentah
Indonesia saat ini mengimpor BBM dalam jumlah yang sangat besar yang menguras anggaran dan devisa negara. Mengingat kebutuhan BBM juga akan makin meningkat, maka jumlah impor BBM diperkirakan makin meningkat di tahun-tahun mendatang.
Data rasio kapasitas kilang/orang/tahun dari beberapa negara menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu yang paling rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Jepang.
Untuk itu, program pembangunan kilang minyak (refinary plant) adalah suatu program yang prioritas dan mendesak untuk segera dilaksanakan. Apalagi potensi pembiayaan proyek ini sebenarnya sudah tersedia di dalam negeri, yaitu dana-dana sangat besar yang dipakai untuk program-program subsidi langsung (seperti Bantuan Langsung Tunai) maupun subsidi BBM.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, Indonesia masih harus mengimpor BBM sebanyak kurang lebih 350.000 barrel/had. Impor BBM ini jelas merupakan pemborosan yang sangat besar karena untuk mengimpor BBM, dibebankan fee untuk biaya kilang sebesar 23% dari harga crude oil.
Jika diasumsikan harga crude oil US$50/barrel, maka total fee biaya kilang dalam setahun adalah 23% x US$50/barrel x 350.000 barrel/had x 365 hari = US$1.469.125.000/tahun. Untuk mengurangi pemborosan, alangkah baiknya apabila anggaran dan dana subsidi baik langsung maupun bantuan tidak langsung disisihkan sebagian untuk dipakai membangun kilang minyak. Sebagian kecil dana subsidi tersebut, hanya sekitar Rp18 triliun diperkirakan sudah cukup unruk membangun satu kilang minyak.
Selanjutnya, sesudah kilang beroperasi, ada dua keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu Indonesia dapat mencukupi kebutuhan BBM nasional sehingga ketahanan dan kedaulatan energi nasionai dapat meningkat, selain dana dari penghematan impor BBM sebesar US$1.469.125.000/tahun dapat dipakai untuk program lain yang lebih bermanfaat untuk bangsa dan negara secara berkesinambungan.
Di samping itu, program pembangunan kilang juga akan dapat menambah jumlah lapangan kerja baru, menambah pendapatan negara dari pajak, dan menghasilkan produk samping naphtha yang merupakan bahan baku industri petrokimia. Dengan ketersediaan bahan baku ini, dapat juga dikembangkan lagi industri, sekunder dan tersier petrokimia untuk mendukung pengembangan industri primer, sekunder, seperti tekstil dan bahan plastik.
Akselerasi Produksi Bioethanol dari Ubi Kayu
Negara Indonesia memiliki tanah pertanian yang luas dan cocok untuk budidaya tanaman singkong secara besar-besaran. Luas lahan yang ditanami ubi kayu di Indonesia saat ini masih relatif rendah. Menurut BPS, luas panen ubi kayu baru hanya 1,22 juta hektar dengan produksi sekitar 20,8 juta ton. Selain itu petani pada umumnya sudah cukup mengenal cara benani ubi kayu.
Satu hektar kebun singkong diasumsikan dapat menghasilkan ubi kayu sebanyak 40 ton/tahun. Karena setiap satu ton ubi kayu dapat menghasilkan 0.16 kiloliter bioethanol, maka setiap satu hektar akan menghasilkan 40 x 0,16 kiloliter bioethanol = 6.4 kiloliter/tahun, Satu pabrik bioethanol dengan kapasitas 60.000 kiloliter/tahun harus didukung oleh kebun ubi kayu seluas 60.000/6,4 kiloliter = 9.375 hektar. Total luas lahan yang dibutuhkan untuk 15 unit pabrik bioethanol pada tahap awal adalah 15 X 9.375 hektar = 140.625 hektar kebun ubi kayu.
Apabila diasumsikan setiap satu hektar kebun dikelola oleh satu orang petani, maka jumlah petani yang bekerja sebanyak 140.625 orang. Untuk mengoperasikan satu pabrik bioethanol, diperkirakan membutuhkan 120 orang tenaga kerja sehingga secara total dibutuhkan 15 x 120 orang = 1.800 orang. Untuk membangun satu pabrik bioethanol membutuhkan sekitar 500 orang tenaga kerja, maka total diperlukan 15 x 500 = 7.500 orang.
Jumlah total tenaga kerja yang dapat diserap secara keseluruhan adalah 140.625 + 1.800 + 7.500 = 149.925 orang. Bila tiap satu tenaga kerja mempunyai tanggungan satu istri dan dua anak, jumlah orang yang bisa dihidupi oleh 15 pabrik bioethanol adalah sebanyak 4 x 149.925 orang = 599.700 orang. Ini baru perkiraan untuk tahap awal saja (mungkin hanya dalam tahun pertama), dan akan ditingkatkan terus dari tahun ke tahun sehingga angka dan pencapaian ini akan dilipatgandakan.
Sasaran dan target baik lahan, tenaga kerja, dan pembiayaan program ini moderat dan peluang keberhasilan dalam pelaksanaannya relatif tinggi. Lahan masih banyak yang belum termanfaatkan dan atau terlantar, karena ubi kayu tidak terlalu membutuhkan lahan yang subur. Dari sisi tenaga kerja juga sangat terbuka, apalagi masih banyak terdapat pengangguran baik terbuka maupun setengah menganggur. Pembiayaan dan investasi juga potensial digarap. Dengan sistem pengelolaan dan manajemen industri terpadu, program ini dapat diharapkan efektif dan efisien dalam hitungan 1-3 tahun.
Pengelolaan sektor energi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan manusia, sudah sepatutnya menjadi bagian dari tanggung jawab sebuah negara-bangsa kepada masyarakatnya. Aktualisasi konsep negara kesejahteraan dimaksudkan agar negara mampu mengelola kekayaan bersama untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, mencegah penguasaan kekayaan bersama oleh modal perseorangan (asing dan lokal) yang melemahkan sendi ketahanan ekonomi kolektif, mengembangkan semangat tolong- menolong dalam setiap bentuk badan usaha serta memperkuat badan usaha koperasi bagi emansipasi golongan ekonomi kecil dan menengah.
Perwujudan energi berkeadilan tersebut sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara negara dengan disertai dukungan rasa tanggung jawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga. Wajib hukumnya bagi pemerintah untuk memfasilitasi ketersediaan energi yang dibutuhkan oleh rakyatnya dengan harga yang terjangkau, dan energi yang ramah lingkungan demi keberlangsungan kehidupan semesta.
Fasilitas ini dilakukan melalui kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang memastikan keterpenuhan hak-hak publik untuk mengakses dan memanfaatkan energi yang berkualitas, dan dengan harga terjangkau.
Sumber:
1. Modi, V., McDade, S., Lallement, D., dan Saghir, J., Energy and the Millennium Development Goals, (New York: Energy Sector Management Assistance Programme, UNDP, UN Millennium Project, and World Bank, 2005).
2. Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).
3. Subianto, Prabowo, et al, Membangun Kembali Indonesia Raya; Strategi Besar Trasnformasi Bangsa (Jakarta: Institut Garuda Nusantara, 2013)
4. KEMALA – Konsorsium Energi Mandiri Lestari, Fikih Energi Terbarukan: Pandangan dan Respons Islam atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (Jakarta: LAKPESDAM-PBNU, 2017).