Doa Politik Tuai Kritik

by
:http://assets.kompas.com

“Kami pun mendoakan semoga Bapak Presiden di tahun 2019 bisa kembali memimpin bangsa yang besar ini,” begitu ungkap Khatib Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, dalam khutbah Idul Adha yang dihadiri Presiden Joko Widodo, di Lapangan Merdeka, Sukabumi, Jawa Barat, Jumat lalu (1/9). Bagaimana dampaknya?

Wartapilihan.com, Jakarta -‘Pakar politik timur tengah, Yon Machmudi mengatakan, doa untuk politik sebaiknya tidak ditampakkan. Terlebih lagi, menurutnya, Pilpres 2019 masih lama. Pasalnya, hal ini berpotensi menimbulkan polemik dukung-mendukung dalam ibadah yang sakral ini.

“Doa untuk kebaikan boleh-boleh saja termasuk mendoakan Jokowi terpilih kembali menjadi presiden. Tapi, ya, jangan terlalu nampak doa politiknya. 2019 masih lama nggak usahlah khotib berpolitik praktis,” papar Yon kepada Warta Pilihan.

“Nanti kalau ada khotib yang mendoakan beliau tidak terpilih gimana? Bakal menimbulkan polemik dukung-mendukung dalam ibadah suci,” lanjut dia.

Menurutnya, doa yang demikian sudah mengandung unsur kepentingan politik praktis. Padahal, semestinya sebagai khatib lebih masuk kepada pesan moral dan nilai keislaman yang universal.

“Cukuplah didoakan sehat dan diberi kekuatan dalam menjalankan amanahnya sebagai presiden. Tapi kalau doa dipilih tahun 2019 sudah kepentingan politik. Khotib hendaknya tidak masuk langsung pada pesan-pesan politik praktis tapi cukup menjaga moral politik dan nilai2 keislaman agung dan universal,” imbuh Yon.

Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia ini menyarankan, masyarakat dapat menghimbau agar khutbah itu selalu mengedepankan pada pembinaan umat dan mendukung kebijakan negara jika memang positif dan memberikan nasehat jika  kurang tepat. “Masyarakat sekarang sudah paham mana pesan yang bermakna dakwah dan mana yang isinya politik praktis,” tandasnya.

Sementara itu, Lukman Tanjung selaku Ketua Ikatan Da’i Indonesia Depok (IKADI Depok) mengatakan, hal seperti itu tak boleh dilakukan oleh ulama. Hal itu, menurutnya, masuk pada kategori Ulama Su’ atau ulama yang buruk.

“Wah, itu mah jelas-jelas enggak diperkenankan. Kyai-nya cari muka dan masuk dalam kategori ulama su’ atau buruk,” ungkap Lukman, kepada Warta Pilihan.

Ia pun mengutip hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, “Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama su’ mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.”

Ia berharap, rakyat Indonesia dapat memiliki pengetahuan yang benar sehingga tidak salah memilih pemimpin. “Harapannya, semoga rakyat Indonesia memiliki pengetahuan yang haq, sehingga dapat memilih pemimpin yang haq pula,” pungkas Lukman.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *