Banyak sekali kasus-kasus penindakan terorisme yang dilakukan aparat keamanan menyalahi aturan yang dibuatnya sendiri. Seperti prosedur pendampingan kuasa hukum, hak untuk menghubungi keluarga, lamanya masa penahanan, penangkapan, dan semacamnya.
Wartapilihan.com, Jakarta – Desakan agar RUU Terorisme segera dirampungkan mulai nyaring terdengar pasca terjadinya penyanderaan petugas di Mako Brimob dan letusan bom Surabaya. DPR dan pemerintah saling tuding. Sejumlah tokoh publik juga berpolemik terkait urgensi RUU Terorisme.
Kendati demikian, pengamat gerakan Islam, Ustadz Abu Rusydan punya pandangan berbeda. Mantan tertuduh kasus terorisme ini telah bersafari ke sejumlah aktivis Islam yang pernah menjadi mantan narapidana terkait dengan kasus terorisme. Dari sejumlah orang, baik yang memang pelaku maupun hanya tertuduh tindak terorisme ada pandangan yang beragam soal perlunya revisi RUU Terorisme.
“Tanggapan para teman-teman (eks napi terorisme) tidaklah seragam. Pandangannya bertingkat-tingkat,” kata dai asal Kota Kudus ini dalam diskusi bertajuk “Terorisme Politik dan Sekuritisasi Kebijakan” yang digelar Pushami di Jakarta.
Ia melanjutkan, meski begitu setidaknya ada 2 hal yang disepakati sejumlah eks napi terorisme. Pertama, peraturan apapun yang dibuat untuk menghukumi pikiran, perasaan, perilaku aktivis Islam tidak akan mampu mengatasi takdir Allah SWT.
Kedua, peraturan apapun, baik itu bentuknya Perppu, Undang-Undang ataupun KUHAP, dalam realita di lapangan tidak berlaku dalam kasus terorisme.
Dalam kasus ini, banyak sekali kasus-kasus penindakan terorisme yang dilakukan aparat keamanan menyalahi aturan yang dibuatnya sendiri. Seperti prosedur pendampingan kuasa hukum, hak untuk menghubungi keluarga, lamanya masa penahanan, penangkapan, dan semacamnya.
“Aturan itu semua tidak akan berlaku jika kasusnya terorisme,” ujar mantan terpidana kasus terorisme ini.
Ia juga menekankan, jika memang dikehendaki adanya revisi dalam Undang-Undang Terorisme, seharusnya harus ke arah yang lebih positif. Utamanya dalam persoalan adanya sistem pengawasan terhadap aparat penegak hukum, serta adanya sanksi terhadap aparat yang terbukti menyalahi aturan perundang-undangan dan melampau kewenangannya.
Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amreil mengungkapkan kasus peledakan bom yang melibatkan anak-anak perlu diberikan perhatian khusus oleh negara.
“Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) akan meminta pertanggungjawaban negara supaya dapat memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak yang terlibat dalam jaringan terorisme,” kata Reza.
Dalam kasus peledakan bom di Surabaya, LPAI mengkritik perspektif aparat keamanan yang selalu menyebut anak-anak yang terlibat dalam jaringan terorisme sebagai pelaku.
“LPAI menganggap mereka sebenarnya adalah korban,” tambah pakar psikologi forensik ini.
Reza menyebutkan sejumlah ketentuan yang menjadi dasar argumentasi bahwa anak-anak berposisi sebagai korban, bukannya pelaku.
Pertama, dalam Pasal 15 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa salah satu hak anak adalah bebas dari situasi kekerasan. Sehingga anak-anak yang dilibatkan dalam kejadian peledakan bom sejatinya adalah anak yang haknya sedang dirampas.
Selanjutnya, dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, juga dinyatakan dengan tegas bahwa sipapun dilarang menempatkan anak dalam situasi kekerasan bisa dikenai sanksi pidana. Juga ditambah dengan ayat yang melarang siapapun untuk melibatkan anak dalam kegiatan militerisme dan semacamnya.
“Oleh karena itu sungguh tepat jika seorang anak diposisikan sebagai korban dalam kasus bom ini,” pungkas Reza.
Ahmad Zuhdi