Din: Hakim MK Patut Diduga Membenarkan Kecurangan

by

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini merasa ada rona ketakjujuran dan ketakadilan dalam proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi. Banyak fakta dan dalil hukum yang terkesan tidak didalami.

Wartapilihan.com, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) telah selesai menggelar Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres serentak 2019. Meski berlangsung cepat (speedy trial), masyarakat tidak puas dengan putusan MK yang tidak sama sekali mempertimbangkan fakta-fakta terjadinya kecurangan selama proses dan pascapemilu.

Hal itu terlihat dari seluruh petitum yang diajukan principal Prabowo-Sandi melalui kuasa hukumnya ditolak oleh sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi. Meski demikian, Prabowo menghimbau kepada seluruh pendukungnya dan rakyat Indonesia untuk taat pada putusan MK.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Din Syamsuddin menuturkan, pilihan tersedia bagi rakyat warga negara yang taat konstitusi adalah menerima keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai produk hukum. Hal itu merupakan sikap kepatuhan hukum.

“Karena para hakim Mahkamah Konstitusi juga terikat amanat konstitusi dan nilai moral untuk menegakkan kejujuran dan keadilan, maka rakyat berhak untuk menilai mereka apakah telah mengemban amanat dengan benar, yakni menegakkan kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Ini adalah sikap moral,” kata Din, Ahad (30/6).

Din menjelaskan, jika rakyat meyakini ada pengabaian nilai moral, bahwa para hakim Mahkamah Konstitusi itu patut diduga membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, seperti membenarkan kecurangan, maka rakyat mempunyai hak dan kewajiban melakukan koreksi moral. Seperti banyak rakyat, ia pun merasakan demikian.

“Rasa keadilan saya terusik. Saya tidak mampu dan tidak mau menyembunyikannya,” katanya.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini merasa ada rona ketakjujuran dan ketakadilan dalam proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi. Banyak fakta dan dalil hukum yang terkesan tidak didalami.

“Maka bagi rakyat, jadikan itu semua sebagai catatan bahwa ada cacat moral yang terwarisi dalam kehidupan bangsa dan ada masalah dalam kepemimpinan negara. Selebihnya kita menyerahkan sepenuh urusan kepada Allah SWT, Ahkam al-Hakimin, Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Adil,” ujarnya.

Namun, jelas Din, selain menghormati Keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai produk hukum, demi literasi bangsa kaum intelektual melakukan eksaminasi terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi, rakyat dapat terus melakukan koreksi moral agar bangsa tidak terjatuh ke titik nadir dari moral banckrupty atau kebangkutan moral. Ini semua tetap dilakukan secara makruf dengan senantiasa memelihara persaudaraan kebangsaan.

“Perjuangan menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran tidak boleh ada titik berhenti,” ujarnya.

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, presidensial threshold (PT) adalah pangkal persoalan masyarakat terbelah menjadi dua grup besar selama lima tahun terakhir. Terlebih, oligarki politik memborong semua parpol sehingga hanya menyisakan satu calon agar Pilpres tetap berlangsung.

“Ke depan, karena Jokowi tak lagi nyalon, hapuskan PT. Beri kesempatan bibit-bibit pemimpin tumbuh dan berkembang serta berkompetisi dalam pilpres, jangan biarkan oligarki politik mempertahankan PT dan memborong semua parpol sehingga terjadi dua calon lagi,” kata Refly.

Adi Prawiranegara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *