Hasil penelitian LIPI menunjukkan, munculnya permasalahan sosial dalam masyarakat nelayan yakni terganggunya relasi jejaring sosial yang telah terbentuk selama bertahun-tahun dalam masyarakat nelayan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hal itu bermula dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat nelayan dan berkembang menjadi modal sosial dalam sistem usaha perikanan skala kecil. Dengan adanya program reklamasi perairan Teluk Jakarta, maka aktor-aktor dalam relasi jaringan sosial yang telah terpola mengalami perubahan untuk mempertahankan kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Demikian disampaikan peneliti LIPI Henny Warsilah dalam pemaparan hasil kajian terkait reklamasi di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (26/10).
“Akibat pembangunan proyek reklamasi, tempat tinggal yang sudah dihuni bertahun-tahun terpaksa harus ditinggal karena akan digunakan sebagai lahan proyek. Mereka meski sebagian bukan penduduk asli, tetapi telah mendiami wilayah ini lebih dari 20 tahun lebih, sehingga dapat disebut sebagai penduduk lokal,” papar Henny.
Para nelayan itu, lanjut dia, mengembangkan modalitas, seperti modal sosial kelembagaan, jejaring relasi sosial, modal ekonomi, interaksi sosial dan modal budaya dengan cara mengembangkan kearifan lokal yang terkait dengan budaya bahari.
“Jadi bukan saja masyarakat menumbuhkan aset-aset ekonomi tetapi juga aset sosial, seperti kohesi sosial, pendidikan dan kelembagaan sosial sudah berkembang pesat di sini dan menjadi motor kemajuan wilayah yang baru,” ujarnya.
Masyarakat pesisir semakin terpuruk dengan dimulainya proyek reklamasi tanpa dilakukan sosialisasi terlebih dahulu, karena ladang pencahariannya semakin sulit diakses akibat proses kontruksi. Sosialisasi program, ungkap Henny, semestinya dilakukan secara inklusif, sejak awal masyarakat sudah diajak berembug, diajak serta ikut terlibat menentukan arah pembangunan wilayah, dan masyarakat ikut berperan.
“Namun pada kenyataannya, keberpihakan proyek terhadap masyarakat dapat dikatakan rendah. Padahal sejak dahulu, pelabuhan sunda Kelapa merupakan pintu masuk dan keluar bagi nelayan, jika pelabuhan ini ditutup akan mematikan mata pencaharian nelayan dan ini akan dianggap melanggar hak ekosob (hak ekonomi, sosial dan budaya) sebagaimana dijamin dalam UUD 45,” sesalnya.
Terlebih, kata Henny, perempuan nelayan yang sebagian mencari ikan di laut atau mengumpulkan kerang di pesisir, hidupnya sangat tergantung pada kekayaan laut dan pesisir. Termasuk ketika bertanggungjawab untuk menyiapkan keperluan melaut dan menjadi penanggungjawab tunggal rumah tangga ketika ditinggal melaut, adalah bagian tak terpisahkan dari laut.
“Bahkan, para perempuan pesisir banyak berperan dalam tugas-tugas subsisten pra dan paska panen. Usaha pemindangan, pengeringan ikan, perdagangan ikan dan pembuatan petis serta kerupuk ikan adalah sebagian dari aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pesisir. Selain itu, ada juga yang bekerja di sektor jasa, seperti menjadi buruh angkut dan membuka warung atau toko yang memual barang-barang kebutuhan konsumsi penduduk setempat,” tandas Henny.
Reklamasi, simpul Henny, telah mengakibatkan hilangnya wilayah tangkap nelayan tradisional karena pencemaran yang terjadi. Perempuan yang dilekatkan dengan peran gendernya sebagai pengelola keuangan keluarga harus berusaha lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga banyak diantara mereka yang bekerja serabutan, sebagai pemulung ataupun buruk cuci.
“Bagi perempuan, perampasan wilayah kelola nelayan secara serta merta akan memperparah tentang kehancuran kehidupannya, perempuan dijauhkan secara paksa dari sumber daya laut yang dijuluki sebagai sumber hidup manusia. Apabila itu terjadi, maka penolakan terhadap reklamasi menjadi sebuah keniscayaan,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi