Yang mencintaimu belum tentu akan mencintaimu selamanya.
Terlebih pula yang kau cintai, bisa jadi akan membulan-bulanimu selamanya.
Bagaimana dengan yang mencintaimu dan kau mencintainya ?
Waktu dan kondisi mungkin akan merubah segalanya.
Awalnya sih cinta banget, tapi bisa jadi di kemudian hari lantas benci setengah mati, atau sebaliknya.
Sampai aku pernah berkata pernikahan nyaris perjudian.
Untung-untungan saja.
Alhamdulillah berkelanjutan sampai mati.
Tapi tak sedikit yang putus di tengah jalan.
” Kau ke bintang yang tinggi, aku hanya ke bulan. Selamat berpisah kasih sayang ..”
Demikian sepotong syair dari sebuah lagu karya Ismail Marzuki.
Suatu hari adik angkat saya ribut besar dengan isterinya, lalu mereka sepakat ke kantor urusan agama untuk bercerai.
Di sana mereka malah dinasehati ;
” Kalau keinginan orang-orang seperti kalian kami turuti, niscaya jumlah orang yang bercerai sama jumlahnya dengan yang minta dinikahkan…” kata penghulu di kantor tersebut.
Mereka lantas pulang, dan baik-baik lagi, lalu dipisahkan kematian adik angkat saya itu berapa tahun kemudian.
Dulu aku takut menikah, di samping kehidupan sebagai seniman yang tak seindah lukisan, cerpen dan novelku, isteri-isteri teman-temanku menjadikan aku sebagai konsultan pernikahan.
Mereka seringkali mengadukan permasalahan pernikahan mereka, dan aku menjadi juru damai di antara mereka padahal aku sendiri belum menikah.
Namun, akhirnya aku menikah juga dalam usia nyaris terlambat…
Ternyata menikah itu menyenangkan dan sekaligus menyusahkan.
Istriku wafat tiga bulan lalu dalam kondisi ekonomi kami merosot, usaha konpeksi kami macet, ditambah pula imbas pandemi.
Kini aku merasa bahwa aku lebih mencintainya setelah kepergiannya….
Nyaris tak ada shalat yang kulewati terkecuali mendoakannya.
Cinta dan pernikahan memang selalu ada masalah.
Tapi dari pada menyalahkan orang lain dan menyesali diri lebih baik banyak bersyukur dengan segala anugerah, ikhlas dan pasrah atas putusan Allah.
( Iwan Wientania )