Wartapilihan.com – Pada malam yang mulai melarut, aku sedang duduk santai di beranda rumah sambil meneguk segelas teh dingin dalam minuman kemasan. Jariku menari-nari di atas ponsel pintar yang tengah kugenggam. Asyik sendiri, bahasa jaman sekarang. Gusarku tak kunjung hilang, merambat-rambat ke dada seiring paket internet yang makin menipis makin hari.
Tiba-tiba seorang lelaki memanggilku dengan kian lembut, dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumah. Ku duduk di kursi ruang tengah, ia pun duduk dengan tenangnya. Kami hanya saling diam tanpa suara, hanya hening yang terjaga. Dia meninggalkanku yang terduduk. Kubetulkan letak kacamata yang tergeser di antara lekuk hidung; aku kian takjim terbawa huruf-huruf di dalam kitab. Sambil kutelusuri kitab Shirah Nabawiyah Ar-Rahiq Al-Makhtum, ia menghampiri lagi, membawa segenggam cinta. Iya, cinta. Dia memanggilku dengan sebutan “Nak”. Betapa itu panggilan yang kian romantis bagiku. Lalu, ada sebait suara memecah hening, lembut sekali di telingaku,
“Nak…” Aku menatapnya, membalasnya dengan senyum yang tak kalah lembut
Beliau bilang, “Wahai Anakku! Betapa sering engkau tidak tidur malam hanya untuk mengulang-ulang ilmu dan membaca kitab-kitab. Dan aku tak tahu apa yang menjadi pendorongnya.
Jika di dalam hatimu engkau berniat meraih pujian manusia, kedudukan, keuntungan duniawi dan keunggulan dibandingkan dengan teman sejawatmu, maka celakalah engkau dan celakalah engkau!
Jika maksudmu adalah menghidupkan syariat Muhammad SAW, memperbaiki akhlakmu dan menundukkan amarah nafsu ammarah bi as-su’(yang selalu menyuruh pada kejelekan), maka beruntunglah engkau dan beruntunglah engkau!”[1]
Aku diam sejenak. Mencernanya. Tentu aku tidak akan membantahnya, sebab dia lelaki kesayanganku, ayah kehidupanku. Aku menutup kitabku, dan mendekatinya. Ingin aku memeluknya, ayah kesayanganku. Aku bilang,
“Wahai Ayahku! Apakah sebenarnya intisari dari ilmu itu?” Kataku penasaran.
“Intisari ilmu adalah ketika engkau mengetahui apa itu ibadah dan apa itu taat.
Ketahuilah, bahwa taat dan ibadah harus sesuai dengan ucapan dan perbuatan yang diperintahkan atau dilarang oleh sang pembawa syariat. Artinya, segala yang engkau ucapkan dan lakukan, juga segala yang tidak engkau ucapkan dan tidak engkau lakukan, harus mengikuti syari’at.
Misalnya saja, jika engkau berpuasa pada hari raya, maka itu artinya engkau telah berbuat maksiat. Atau engkau menunaikan shalat dengan mengenakan baju curian, maka engkau berdosa.”[2]
Aku mengangguk-angguk pertanda mengerti. Belum puas, aku bertanya lagi,
“Wahai ayahku! Mengapa aku selalu gelisah atas kehidupan ini? Aku selalu takut akan masa laluku yang buram, juga aku takut akan masa depanku yang tidak cerah. Berilah aku nasihat, wahai ayah!”
“Wahai anak! Takdir adalah hak dan kehendak-Nya. Allah tidak akan ditanya tentang perbuatannya terhadap manusia. Sedangkan manusia akan ditanya dan harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah diperbuatnya.
Urat saraf tidak bisa tenang, keguncangan jiwa tidak bisa tenteram, dadamu tidak akan lapang dan kegelisahanmu tidak akan hilang selama dirimu tidak beriman terhadap qadha dan qadar-Nya. Setiap ketentuan ilahi telah digariskan dan ditentukan. Setiap langkahmu sudah diputuskan sebelum dirimu lahir.
Jika menyadari takdir adalah sebuah keputusan Allah, mengapa harus gelisah? Mengapa harus sedih? Jangan biarkan dirimu kesal. Jangan pernah engkau berprasangka bahwa dirimu mampu menahan dinding agar tidak jatuh, menahan air agar tidak mengalir, menahan angin agar tidak berhembus atau menjaga kaca agar tidak pecah. Ini tindakan dan sikap yang tidak benar, meskipun hal itu tidak kau inginkan. Apa yang telah ditentukan tetap terjadi. Apa yang telah diputuskan tetap berlaku. Apa saja yang telah ditulis oleh Allah, tetap terlaksana.”[3]
Tentang masa lalu, “Yang lalu biarlah berlalu. Jangan engkau selalu mengenangnya. … Selamatkanlah dirimu dari bayangan masa lalu. Apakah engkau menginginkan air di muara kembali ke sumbernya? Apakah mungkin engkau dapat mengembalikan bayi ke rahim ibunya? Apakah engkau menginginkan matahari berputar menuju tempat terbitnya semula?”[4]
*
Aku masih diam, dan hanya diam. Kembali lagi pada ranah kontemplasi yang panjang. Malam masih gelap, tetapi siang tetap harus mengganti. Aku merenung lagi, tetapi mataku mulai lelah, juga otakku. Sambil mematikan lampu dan terpejam, sesekali aku berkata terimakasih di dalam hati. Terimakasih, wahai Ayah!
—
Ayahku. Dia adalah Abu Hamid Al-Ghazali, ayah peradaban sepanjang masa; Ayah yang dicintai oleh Para Pecinta setiap waktu—dalam rindu dan dendang yang kian panjang terhadap penghambaan terhadap Rabb semesta alam. Semoga Allah meridhoinya. *
[1] Nasihat ini diambil dari buku Untaian Nasihat Imam Al-Ghazali yang dihimpun oleh Shalih Ahmad Asy-Syami
[2] Ibid
[3] Disarikan dari Kitab Al-Insanun Arifun Indahu Ruuhul Adhim (Menjadi Manusia Ma’rifat dan Berjiwa Besar)
[4] Ibid ||
Penulis : Eveline Ramadhini