Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Memproklamasikan kemerdekaan RI bukan perkara mudah. Mempertahankan kemerdekaan pun amat sangat berat. Fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari, 22 Oktober 1945, berhasil meraih jutaan dukungan umat Islam dalam jihad mempertahankan kemerdekaan RI. Dan selanjutnya, meraih pengakuan dan dukungan internasional bagi kemerdekaan RI pun memerlukan perjuangan dan pertaruhan jiwa dan raga.
Inilah sepenggal kisah perjuangan sejumlah tokoh Indonesia untuk meraih pengakuan dan dukungan internasional bagi kemerdekaan negara Republik Indonesia, yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Pada 10 April 1947, empat tokoh mendarat di Kairo untuk perjuangan meraih dukungan internasional itu. Catatan ini ditulis oleh Menteri Muda Penerangan A.R. Baswedan.
Keempat tokoh itu adalah Haji Agus Salim, HM Rasjidi, Dr. Mr. Nazir St. Pamuntjak, dan A.R. Baswedan. Ketika itu, mereka berempat ditugaskan Presiden Soekarno untuk meraih dukungan resmi atas kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mereka tidaklah mudah. Selama tiga bulan, mereka harus tinggal di Mesir, melakukan lobi sana-sini, sampai akhirnya pengakuan dan dukungan resmi Mesir dan Liga Arab diperoleh.
Dan inilah sepenggal kisah yang ditulis oleh A.R. Baswedan, yang disamping seorang menteri, juga seorang wartawan:
“Sampai sekarang saya tidak bisa melupakan hari itu, tanggal 10 Juni 1947. Kami semua diantar oleh Abdul Mun’im (Konsul Mesir di Bombay, India. Pen.) menuju Gedung Kementerian Luar Negeri Mesir, sekitar pukul 9 pagi untuk menghadiri upacara penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia. Memang sehari sebelumnya sudah disiarkan di koran-koran bahwa Kabinet Mesir telah memutuskan untuk menyetujui ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama antara Mesir dengan Indonesia di bidang sosial ekonomi.
Berita itu tentu saja mengajutkan Duta Besar Belanda di Mesir, tetapi sangat menggembirakan masyarakat Indonesia di Mesir, antara lain Saudara Zein Hasan (Ketua Perhimpunan Kemerdekaan Indonesia) dan kawan-kawannya, dan dua bersaudara Hasan dan Ali Baktir yang lewat karangan-karangan dan sajak-sajaknya yang dimuat di koran-koran Kairo, terus-menerus melakukan usaha memperkenalkan Indonesia serta mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan Indonesia.
Pukul 9 pagi kami sudah siap di ruang tunggu Kementerian Luar Negeri Mesir. Jabatan Menteri Luar Negeri Mesir saat itu dirangkap oleh PM Nokrashi Pasha. Sesudah setengah jam menunggu, kami melihat Dua Besar Belanda keluar dari kamar kerja PM Norakshi dengan wajah kecut dan langkah tergesa-gesa. Kami kemudian langsung dipersilakan masuk.
PM Nokrashi Pasha meminta maaf karena telah membiarkan delegasi menunggu lama di luar. Menurut dia, Duta Besar Belanda itu langsung saja “menyerbu” masuk ke ruang kerja untuk mengajukan protes sehubungan dengan akan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir. Duta Besar Belanda mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dan Belanda, serta janji dukungan Belanda terhadap Mesir dalam Masalah Palestina di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Perdana Menteri kemudian menjawab, “Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak, mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir, dan tidak bisa diabaikan.”
Begitulah jawabannya, sehingga Duta Besar Belanda meninggalkan ruangan denga kecewa.
Naskah Perjanjian itu pun kemudian ditantangani oleh PM Nokrashi selaku Menlu Mesir dan Haji Agus Salim selaku Menteri Muda Luar Negeri RI, disaksikan Dr. Nazir St. Sutan Pamuntjak, Saudara Rasjidi, Abdul Mun’im, Sekjen Kemlu Mesir Dr. Kamil dan saya sendiri (A.R. Baswedan. Pen).
Tak dapat dibayangkan perasaan saya ketika menyaksikan upacara itu. Tak terlukiskan dalam kalimat karena tidak akan pernah dapat sebanding dengan rasa yang menggelora. Lega dan syukur kepada Allah SWT karena Republik Indonesia pada akhirnya mendapat pengakuan de jure dari dunia internasional.” (Dikutip dari buku A.R. Baswedan, Saya Muslim, Saya Nasionalis, karya Lukman Hakiem dan Hadi Nur Ramadhan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2021).
Jadi, benarlah rumusan para pendiri bangsa kita, bahwa kemerdekaan kita adalah: “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”
Semoga rakyat Indonesia, dan umat Islam Indonesia khususnya, menjadi orang-orang yang mau mensyukuri nikmat kemerdekaan ini. Amin. (Depok, 24 Januari 2024).