Buruh Imigran Berprestasi

by
Para pemenang lomba cerpen yang diselenggarakan Voice of Indonesia. Ketiga pemenang mendapatkan hadiah pulang ke Indonesia. Etik Nurhalimah (sebelah kiri), Raidah (tengah) dan Nila (sebelah kanan).

Dengan senyum harapan ku datang
Mengadu nasib ke negeri orang
Demi masa depan yang terang
Meraih asa nan gemilang

Memendam rindu di hati
Memeluk lelah diantara mimpi
Jauh dari sanak famili
Terasa hampa menyapa hari

Di negeri orang ku berserah
Pada Tuhan ku pasrah
Semoga kekuatan selalu diberi
Tuk jalani derita hidup ini

Puisi “Jeritan Hati Seorang TKW” oleh Jingga Pitaloka, 2012.

Wartapilihan.com, Jakarta –Perempuan itu berdiri, bernama Etik Nurhalimah. Dengan kerudung biru langitnya, ia membaca lembaran kertas berisi cerita pendek berjudul “Impianku”. Dengan penghayatannya, terasa betul bahwa ia bukan sedang bercerita, melainkan menarasikan kehidupannya yang sakit dan sempit, menjadi seorang Buruh Migran Indonesia, atau orang sering sebut sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW/TKI).

Perempuan itu terus bercerita di panggung kayu itu, kadang air mata meleleh sampai ke pipinya. Para penonton hanya bisa berkhidmat sambil diam-diam turut merasai perih meski tak pernah mengalaminya. Perempuan itu menceritakan kehidupannya sebagai pembantu rumah tangga di Negeri yang sungguh jauh, tepatnya di Taiwan, Cina.

Sering dipandang sebelah mata. Itulah yang ia rasakan. Baik oleh tuannya di Cina, juga orang-orang Indonesia ataupun juga pemerintah. Dalam cerpen itu, ia menceritakan kisah seorang PRT yang dituduh mengambil uang Nenek, sang majikan. Padahal ia tidak pernah mencurinya.

“Mohon maafkan Nenek ya… Nenek memang sudah pikun,” begitu salah satu bagian cerita ketika anak sang majikan meminta maaf kepadanya, di bilangan Pondok Indah, kediaman sastrawan Abrory A Djabbar, Jakarta Selatan.

Dengan menahan hatinya yang pedih tinggal di negeri orang tapi kadang tak dihargai, tak membuat ia putus asa. Ia terus memacu semangatnya untuk terus menulis dan berkuliah. Keringat tak pernah membohongi hasil.

Ia kini menjadi pemenang ketiga penulis Cerpen yang diselenggarakan oleh Voice of Indonesia (VOI) dan dibacakan cerpen itu di Radio Republik Indonesia (RRI). Tak hanya itu, ia juga bisa melanjutkan studinya pada semester 4 di Universitas Terbuka Taiwan dengan mengambil jurusan Sastra Inggris. Bahasa Cina dan Inggris pun kini dengan mudah ia kuasai.

“Waktu terasa sempit sekali. Menulis saja harus ngumpet-ngumpet, ditolak majikan (untuk kuliah). Kadang suka nggak sempat belajar,” ujar Etik, kepada Warta Pilihan.

Perempuan itu menjemput impian-impiannya melalui menulis. Gadis asal Lampung ini memenangkan hadiah pulang ke Indonesia secara cuma-cuma bersama dua pemenang lainnya. Kini semua orang tahu, ia bukan sekedar seorang buruh migran biasa. Ia miliki impian yang satu per satu mulai diwujudkan alam semesta.

Jangan Pandang TKW Sebelah Mata

Tak hanya dialami Etik, Nila pun merasakan hal yang kurang lebih sama. Kurang dihargai majikan, merasa dieksploitasi karena bekerja 24 jam, dan hampir tak memiliki hari libur sudah jadi santapan sehari-hari bagi dirinya. Tapi hal itu tak membuat ia kapok menjadi TKW di Hongkong, Cina.

Karena kegusarannya, Nila mengungkapkan segala unek-uneknya dengan menulis cerita-cerita pendek yang tak jarang memenangkan lomba. Peristiwa yang ia alami bukan membuatnya putus asa, justru jadi inspirasi bagi khalayak, mewarnai gairah sastra Indonesia; berprestasi di bidang penulisan. Ia merupakan pemenang pertama di kompetisi cerpen yang diselenggarakan VOI. Ia juga bertandang ke Indonesia, bersama Etik dan Raidah.

“Pandai-pandai saja membaca situasi di rumah majikan,” kata Nila ketika ditanya tips menulis di tengah pekerjaan.

Selain lomba tersebut yang ia menangkan, ia juga masuk nominasi Taiwan Literature Award for migrants, yakni pemenang pertama lomba menulis kisah hikmah islami Daarut Tauhid; juga menjadi penulis terpilih lomba kisah hikmah TKI yang diadakan ICLaw yang diselenggarakan Gubuk Hijau Rayakultura.

Hal-hal yang masih menjadi permasalahan bagi TKI saat ini, Nila mengungkapkan, ialah tuntutan pemberlakuan 8 jam kerja

“Jadi, sekarang jam kerja PRT asing di hongkong itu masih semrawut. Kalau dapat majikan baik yang memanusiakan pembantunya ya ok saja. Kalau dapat yang  menganggap bahwa pembantu itu mesin ini yang susah, maka dari itu harus ada undang-undang yang jelas mengenai jam kerja,” kata Nila yang memiliki nama pena Kaka Clearny ini.

Untuk diketahui, Buruh Migran Indonesia di Hongkong saat ini bekerja 24 jam tanpa istirahat. Ketika waktunya istirahat, jika majikan minta diantarkan ke kamar mandi maka ia harus bersedia mengantarnya.
“Sedangkan siang harinya kita harus kerja,” Nila melanjutkan.

Melihat kebijakan Taiwan dan Hongkong yang kurang lebih sama terhadap PRT asing, Nila dan Etik berharap, pemerintah Indonesia dapat lebih melakukan perlindungan kepada para TKW. Juga, Etik berharap, TKI memiliki hak untuk mengikuti organisasi dan pelatihan untuk tingkatkan mutu dirinya.

“Semoga pemerintah memberlakukan zero cost bagi kami yang ingin mencari rizki di negara orang, bernegolah dengan pemerintah negara penempatan (Cina) agar lebih melindungi buruh,” pungkas Nila.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *