BUALAN USANG ZIONIS-YAHUDI MAKIN TIDAK LAKU

by

Oleh: Fatih Madini

Klaim Zionis-Yahudi bahwa mereka berhak menguasai Tanah Palestina biasanya disandarkan pada ayat-ayat Bible. Seolah-olah Bible memberikan hak kepemilikan Palestina untuk bangsa Yahudi melalui dua klaim: 1) Teologis, bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan (the promised land) kepada bangsa Yahudi pilihan Tuhan (the choosen people); 2) Historis, bahwa bangsa Yahudi adalah penghuni pertama Palestina.

Ilan Pappe, pakar sejarah Israel-Palestina sekaligus dosen di University of Haifa (Jerusalem), menegaskan bahwa memang, “For many Zionist leaders, the reference in the Bible to the land of Palestine was just a means to their ends, and not the essence of Zionism… the Bible became both the justification and the route map for the Zionist colonization of Palestine.” 

Pappe menjelaskan, setidaknya ada tiga dalil Bible yang awal mereka eksploitasi: Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham, bangsa Yahudi adalah penghuni pertama, dan desa-desa penduduk Palestina adalah tempat-tempat Yahudi kuno yang disebutkan di dalam Bible.

Dalil-dalil itu tentu cukup menjadi senjata ampuh untuk dapat pembenaran ketika merampas Palestina. Ketimbang “penjajahan”, para pemimpin Zionis yakin kalau aksi itu lebih tepat disebut “pembebasan”. Di mata mereka, orang Arab Palestina tak lebih daripada penghalang, orang asing, dan musuh.

“… religion remained an important aspect of the process even after the land had been taken from the Palestinians. In its name you could invoke and asset an ancient moral right to Palestine that challenged every other external claim the land in those dying days of imperialism. This right also superseded the moral claims of the native population. One of the most socialist and secular colonialist projects of the twentieth century demanded exclusivity in the name of a pure divine promise. The reliance on the sacred text proved highly profitable for the Zionist settlers and extremely costly to the local population.” (Ilan Pappe, Ten Myths About Israel, 2017)

Bahkan kata Pappe, demi meraih keabsahan yang lebih kuat lagi, dalil-dalil kitab suci itu diperkuat dengan kajian ulang dan serius terkait sejarah Palestina oleh para sejarawan Yahudi yang pro-Zionis:

“History was recruited to make the ideological and political project look good. Historians who declared themselves Zionists went in search of the roots of Jewish nationalism in the distant past and were satisfied only when they could establish that a national ‘Jewish’ or ‘Hebrew’ group existed in Palestine long before the foundation of the Zionist movement in the late nineteenth century. Some were content to seek these early roots in the seventeenth century; others went as far back as biblical times.”

Sejarawan veteran Israel, Shmuel Almog, pun menegaskan: “Zionism needed history in order to prove to Jews wherever they were that they all constitute one entity and that there is historical continuity from Israel and Judea in ancient times until modern Judaism” (Ilan Pappe, The Idea of Israel, 2015).

Cendekiawan Muslim berdarah Yahudi, Roger Garaudy, menjelaskan kalau Bible sudah dijadikan dalil pembenaran untuk menjajah Palestina sejak Theodor Herzl (Bapak Zionisme Modern) memilih Palestina sebagai objek jajahan. “Sebab ia ingin memanfaatkan kecenderungan para Pecinta Zion, dan memperkuat gerakan yang dibentuknya,” katanya.

Hak teologis itu pun terus dipakai oleh para pengikutnya dan dikuatkan dengan propaganda hak-hak historis. Garaudy menegaskan, kajian-kajian zionis atas sejarah Palestina, “menjadi penghubung yang tak habis-habisnya dengan ‘tanah yang dijanjikan’, yang oleh mereka dianggap suatu ‘kebenaran ilahi’ yang sesungguhnya telah dianugerahkan kepada bangsa Israel untuk memiliki dan mendominasi Palestina.”

Saat Israel sudah berdiri, katanya lagi, “Bagian-bagian Bibel digunakan sebagai pembenaran bagi tindakan perluasan terus-menerus garis perbatasan dan juga cara-cara pembantaian dan terorisme negara.” Lebih jauh Garaudy mengatakan,

“Pembenaran Biblikal terhadap pemusnahan suatu bangsa secara teratur, legitimasi agresi dan pembantaian yang dilakukan negara Israel dewasa ini, disuguhkan sebagai legitimasi warisan dan lanjutan Israel menurut Bibel, membuatnya mudah diterima di kalangan Yahudi Diaspora, orang-orang Kristen yang tak kritis… yang tak menyadari akan mitologi zionis, dan tak pernah ditafsirkan semenjak dulu” (Roger Garaudy, Israel dan Praktek-Praktek Zionisme, 1988)

Artinya, memang sebetulnya gerakan Zionisme yang diprakarsai oleh Herzl, murni gerakan politik berwatak sekular namun menggunakan dalil-dalil agama Yahudi untuk membenarkan tindakannya dan menarik simpati mayoritas orang Yahudi yang tersebar di berbagai negara, khususnya di Rusia.

Dengan menggunakan Palestina sebagai objek, kata Pappe, Zionis-Yahudi juga berhasil memperoleh dukungan dari dua pihak penting: 1) pemerintah Inggris yang memperoleh hak kekuasaan atas Palestina usai memenangkan Perang Dunia 1 (dengan alasan strategis); 2) kaum Kristen Evangelis yang meyakini bahwa kembalinya orang-orang Yahudi ke Tanah Suci (Palestina) akan menjadi tanda kedatangan kedua Yesus yang menandai awal dari akhir dunia.

Maka, lanjut Pappe, dengan ambisi mendirikan Negara khusus orang Yahudi di Palestina yang didasarkan pada semangat menyudahi anti-semitisme dan mewujudkan nasionalisme, kaum intelektual Yahudi merasa perlu untuk “reviving the ancient Hebrew language and re-reading the religious texts of Judaism as political ones, the most important of these being the Old Testament.”

Ia melanjutkan, “Unlike Orthodox Jews, the secular Zionists, like evangelical Christians, began to interpret the Old Testament as a historical document that showed that Palestine belonged to the Jewish people” (Ilan Pappe, A Very Short History of the Israel-Palestine Conflict, 2024).

Jadi, bagi Zionis yang sekular itu, ketimbang sebagai satu agama, “Yahudi” dipandang sebagai satu bangsa yang butuh tempat khusus dan “Palestina” dipandang sebagai “The Promised Land” yang layak dimiliki, bagaimana pun caranya.

Pappe menjelaskan bahwa Herzl berjasa besar dalam menjadikan Zionisme sebagai kekuatan politik yang sangat dikenal dan mendapat simpati. Di antara caranya, dengan “mendasarkan tuntutan Yahudi atas Palestina pada kitab suci” sebagaimana yang ia tulis dalam sebuah artikel di “The Jewish Chronicle (10 Juli 1896); dan dengan “menulis kisah-kisah utopis” sebagaimana yang tertuang dalam novelnya, “Altnueland” (Old New Land).

Novel itu, bagi Pappe, begitu utopis futuristik. Altnueland secara tersirat menghina Yahudi Ortodoks yang tidak mau mendukung gagasan Zionisme politik karena begitu taat pada doktrin kuno Yahudi (yang berseberangan dengan pemahaman Zionis Politik), padahal mereka hanya bisa selamat dan makmur kalau negara Israel berdiri. Novel itu, kata Pappe,

“… tells the story of a German tourist expedition arriving in the Jewish state long after it had been established. Before arriving in Palestine, one of the tourists had run into a young Orthodox Jewish Beggar—he comes across him again in Palestine, now secular, educated, and extremely rich and content.” (Pappe, 2017).

Dalam buku “Der Judenstaat” (The Jewish State) yang terbit pertama kali pada Februari 1896, Herzl menuturkan: “Palestine is our ever-memorable historic home. The very name of Palestine would attract our people with a force of marvelous potency… We should form a guard of honor about these sanctuaries, answering for the fulfilment of this duty with our existence. This guard of honor would be the great symbol of the solution of the Jewish Question after eighteen centuries of Jewish suffering” (Theodor Herzl, The Jewish State, 1988)

Dalam kongres pertama Zionis di Basel, Swis, tahun 1897, Herzl pun menegaskan bahwa program utama Zionisme adalah mendirikan “a home in Palestine for the Jewish people”. Program itu, kata Pappe, “made no mention of what would happen to the Palestinians if such a home was built.”

Sebetulnya, narasi “Palestina milik bangsa Yahudi karena dijanjikan Tuhan hanya kepada bangsa Yahudi”, dicetuskan lebih dahulu oleh Kristen Evangelis atau yang Pappe sebut sebagai Zionis Kristen. Besar kemungkinan kalau intelektual-intelektual Yahudi semacam Herzl memanfaatkan narasi itu untuk kepentingan pragmatis mereka (mendirikan Negara Yahudi) lalu mempopulerkannya. Sebab kata Pappe, “Jewish intellectuals and activists took some inspiration from this movement, regardless of the cynicism of its motives” (Pappe, 2024).

Nahasnya, narasi yang Herzl populerkan itu dilanjutkan bahkan dipaksakan oleh para pengikutnya. Herzl memang memanfaatkan Palestina supaya bisa mengeksploitasi dalil-dalil Bible, tapi karena ia sekular bahkan menurut Garaudy cenderung agnostik, seandainya pendirian Israel dirasa mustahil di Palestina, Herzl tidak terlalu peduli kalau objek wilayahnya diganti.

Hanya saja, sepeninggal Herzl (1904), para pengikutnya tetap ngotot memilih Palestina. Mereka bahkan jauh lebih sekular dan pragmatis dalam mewujudkan cita-citanya itu ketimbang Herzl yang masih menimbang-nimbang soal legitimasi dunia internasional. Kata Pappe:

“Unlike Herzl, who felt no particular affection for Palestine as a place, they also settled in Palestine themselves. The international legitimacy so vigorously pursued by Herzl did not matter so much to them. For them, the priority was establishing facts on the ground. Everything else would follow from that.” (Pappe, 2024).

Begitu kuatnya narasi Bible soal kepemilikan Palestina mendasari misi besar mereka, setelah Israel menjajah Tepi Barat dan Jalur Gaza pada 1967, Zionis terus dan semakin selektif memilih ayat dan frasa Bible yang membenarkan perampasan tanah Palestina. Mulai dari yang membenarkan pembangunan kota-kota Yahudi di tanah jajahan sampai genosida (seperti kisah Joshua yang menumpas habis kaum Amalek yang non-Yahudi).

Kini, kata Pappe, buku-buku pelajaran pendidikan Israel membawa pesan yang sama tentang hak bangsa Yahudi atas Palestina berdasarkan janji Bible. Kementerian Pendidikan Israel, pada 2014, sampai mengirim surat kepada semua sekolah yang memuat kalimat bahwa, “the Bible provides the cultural infrastructure of the state of Israel, in it our right to the land is anchored” (Pappe, 2017).

Narasi Herzl soal “Palestina adalah Tanah yang Dijanjikan Tuhan”, kata Garaudy, mamang bualan semata.  Herzl pun tahu kalau keyakinan itu mitos, termasuk keyakinan soal “kesatuan etnis Yahudi”. Tapi mitos itu terpaksa harus ia eksploitasi supaya dapat dukungan massa, suntikan dana, dan legitimasi moral melalui tafsiran para rabbi Yahudi pendukung Zionisme. Saat bercakap dengan seorang Zionis, Israel Zangwill, Herzl mengatakan:

“Visi yang murni nasional ini, yang tidak memiliki dasar ras, dengan demikian mengeksploitasi semaksimal mungkin apa yang dianggap sesuai dalam mitos alkitabiah. Mitos ini mewakili kekuatan pendorong, dan hanya mitos ini yang mampu menarik orang dan uang. Satu-satunya negara yang mampu menggoda sebagian besar orang Yahudi Rusia adalah Palestina… Hanya Tanah Perjanjian, yaitu tanah nenek moyang, yang mampu menarik semua orang yang beriman” (Roger Garaudy, Palestina Tanah Risalah: Membongkar Mitos-Mitos Zionis, 2024).

Dua Pakar Bible yang tidak terpengaruh Zionisme, Keith Whitelam dan Thomas Thompson, kata Pappe, berani “reject the Bible as a factual account of any significance.” Keduanya meragukan adanya wujud kebangsaan di masa yang disebut di dalam Bible. Bagi mereka, pendirian negara Israel modern hanya akal-akalan para teolog Kristen pro-Zionis (Pappe, 2017).

Garaudy telah mengupas panjang lebar terkait mitos-mitos Zionis soal kepemilikan Palestina yang disandarkan pada ayat-ayat Bible. Soal hak historis, Zionis sampai menebalkan mitos itu dengan dua mitos lain: 1) Palestina tanah kosong; 2) keharusan untuk mewujudkan kesinambungan rasial dari ‘orang Yahudi’. Dalam kajiannya atas hak itu, Garaudy sampai pada kesimpulan:

“Jauh sebelum dianggap sebagai pemukim pertama Palestina, orang-orang Ibrani hanya merupakan salah satu unsur di antara sekian banyak pemukim di ‘bulan sabit subur’. Sehingga sebenarnya mereka ini tidak memiliki landasan sejarah yang sah untuk menuntut suatu daerah khusus. Zionisme politik memang mencoba memanipulasi secara sistematis, seraya mengajukan fakta-fakta yang tidak representatif, yaitu seperti yang diungkapkan di dalam buku pelajaran anak-anak Israel yang sebenarnya merupakan bagian dari propaganda yang ditujukan kepada dunia luar, yang mengungkapkan sejarah Palestina hanya pada beberapa peranan yang penting saja ketika orang-orang Yahudi memainkan peran tertentu.”

Soal hak teologis (terkait tanah perjanjian dan bangsa pilihan sebagai pembenaran untuk penjajahan dan genosida), kata Garaudy, meskipun memang ada dalilnya, problemnya ada pada bagaimana cara mereka memahaminya.

“Bacaan Bibel ini… adalah bacaan selektif yang memilih bagian-bagian tertentu untuk dipakai sebagai pembenaran terhadap kebiasaan-kebiasaan tertentu yang berlaku sekarang, dan menyingkirkan bagian-bagian yang cenderung menyalahkan kebiasaan-kebiasaan itu,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan, “Cara pandang terhadap Bibel dengan kaca mata kesukuan, nasionalis, dan rasis oleh Zionisme politis tidak menghiraukan kutukan Micah (iii, 9-12): Dengar, aku doakan engkau para pemimpin keluarga Jacob dan para pangeran keluarga Israel yang benci kebenaran dan memutarbalikkan keadilan… mereka membangun Zion dengan darah dan kelaliman… karena itu Zion akan dibajak ibarat ladang dan Yerusalem akan diruntuhkan.”

Selain itu, lanjut Garaudy, “tidaklah mungkin membaca Bibel seperti layaknya membaca buku sejarah… nilai ‘obyektif’ dari kisah sejarah semacam itu amat kurang. Tidak ada cerita-cerita dalam Bibel yang benar tidaknya dapat diteliti secara ‘obyektif’.”

Makna Bibel soal janji, kalau dipahami tanpa bias politik dan ras, menurut Garaudy, akan membawa kepada kesimpulan tentang “abadinya karunia Tuhan untuk kesejahteraan ummat manusia.” Bibel pun menegaskan kalau “Tanah” adalah milik Tuhan semata (Leviticus, xxv: 23) sehingga pada akhirnya, tanah yang dikaruniakan kepada manusia akan kembali kepada pemiliknya (Leviticus, xxv: 28). Begitulah kata Garaudy, cara Tuhan “memutuskan ikatan antara manusia dengan tanah itu.”

Bahkan sebetulnya, melalui Peristiwa Exodus dan kisah Musa (Leviticus, xviii: 3), bangsa Yahudi sudah punya contoh tentang “pembebasan sejati”, pembebasan tanpa “peralihan kepemilikan dan kekuasaan—yaitu dengan menjadi penindas setelah terbebas dari penindasan” (Garaudy, 1988).

Sejak tahun 1938 (10 tahun sebelum Negara Israel berdiri), Ilmuwan Yahudi Albert Einstein sudah mengutuk keras orientasi pembangunan negara Yahudi: “akan lebih masuk akal untuk mencapai kesepakatan dengan orang-orang Arab atas dasar kehidupan bersama yang damai daripada menciptakan negara Yahudi… Sifat yang penting mengenal Judaisme akan bertabrakan dengan ide negara Yahudi… Saya takut akan kerusakan internal yang akan diderita Judaisme karena berkembangnya dalam barisan kita sebuah nasionalisme sempit.”

Lalu, 10 tahun kemudian (1948), Tokoh besar Yahudi, Martin Buber, turut mengungkapkan amarahnya kepada kaum Zionisme Herzl:

“Ketika kita kembali ke Palestina, persoalan yang menentukan adalah: inginkah Anda datang ke sini sebagai kawan, saudara dan anggota masyarakat bangsa Timur Tengah atau sebagai wakil kolonialisme dan imperialisme? … Mayoritas orang Yahudi lebih suka mempelajarinya dari Hitler ketimbang dari kita. Hitler menunjukkan bahwa sejarah tidak mengikuti jalan spiritual dan ketika sebuah bangsa menjadi cukup kua, mereka dapat membunuh dengan bebas, tanpa mendapatkan hukuman. Itulah situasi yang ingin kita perangi… Agama Yahudi telah tercabut dari akarnya dan ini merupakan inti dari penyakit yang simtomnya adalah kelahiran nasionalisme Yahudi pada abad XIX. Bentuk baru nafsu duniawi ini adalah latar belakang yang menandai bahwa Judaisme nasional modern telah meminjam nasionalisme modern dari Barat… Kita berharap dapat menyelamatkan nasionalisme Yahudi dari kesalahannya menjadikan bangsa sebagai suatu berhala. Kita telah gagal” (Roger Garaudy, Mitos dan Politik Israel, 2000).