BILAL BIN RABAH DAN ‘SKIZOFRENIA’ MASYARAKAT JAHILIYAH

by

Bilal bin Rabah merupakan salah satu sahabat dari kalangan as-sabiqun al-awwalun. Bilal selalu dikenang sebagai muadzinnya Rasulullah serta orang yang teguh pendirian ketika disiksa lantaran keimanannya. Abdullah bin Mas’ud pernah bersaksi, bahwa tokoh sahabat asal Habasyah ini adalah salah satu dari tujuh orang pertama yang menampakan Islam secara terangan-terangan. “Orang yang pertama kali menampakkan Islam secara terang-terangan ada tujuh orang yakni Rasulullah, Abu Bakar, Ammar, Sumayyah, Shuhaib, Bilal dan Miqdad,” tutur Ibnu Mas’ud (Akram Dhiya’ Al-Umari, Sirah Nabawiyah Shahihah).

Di masa dakwah jahriyah, ketika permusuhan terhadap Islam mencapai puncaknya, Bilal menjadi salah satu Muslim yang disiksa di tengah terik matahari padang pasir. Hal itu dimungkinkan karena statusnya yang seorang budak, sehingga Bani Jumah, tuannya Bilal, semena-mena menganiayanya. Umayyah bin Khalaf dan orang-orang Bani Jumah menyiksanya dengan harapan Bilal bisa kembali kufur. Mereka ingin Bilal kembali menyembah Latta dan Uzza, berhala sesembahan Quraisy. Hari demi hari pun dilalui Bilal dengan tabah dan sabar. Pada puncak penyiksaan, Umayyah bin Khalaf, sesepuh Bani Jumah memerintahkan agar Bilal ditindih dengan batu besar. Batu besar itu diletakkan di atas dada dan perutnya, di tengah sengatan matahari siang padang pasir. Ia mensyaratkan kalau Bilal ingin dibebaskan dari siksaan, Bilal harus mengucap Latta dan Uzza. Bahkan para algojo Bani Jumah turut serta merayu Bilal agar ia mau sekedar mengucap “Latta dan Uzza”. Para algojo tersebut merayu karena merasa iba dengan Bilal. Mungkin juga karena mereka sama-sama saling mengenal lama satu sama lain, sama-sama bekerja untuk Bani Jumah. Tetapi Bilal mempertunjukkan keimanan yang menjulang kokoh, ia hanya menyebut “Ahad, Ahad” (Allah yang Esa, Allah yang Esa) saja. Ucapan tersebut terus ia lontarkan tiap dipaksa Bani Jumah agar mengucap kata-kata kufur (Khalid Muhammad Khalid, 60 Biografi Sahabat Rasulullah)
Mengapa Bilal mengucap “Ahad, Ahad”? Bukan Allah, Allah, atau yang lainnya? Jika kita anggap ini sebagai sign (tanda) tentu menarik untuk dikaji. Biasanya, jawaban atas pertanyaan tersebut ialah karena Allah adalah konsep yang dikenal bangsa Arab, dan sebenarnya baik Quraisy maupun bangsa Arab sama-sama menganggap Allah adalah Tuhan tertinggi. Hanya saja dalam pandangan Arab jahiliyah, Allah punya ilah-ilah sekutu yang membantuNya, seperti Latta dan Uzza. Di sini salah satu model kemusyrikan masyarakat jahiliyah. Padahal, ucapan Bilal itu bisa bermakna lebih mendalam lagi. Kita akan membedahnya dengan semiotika komunikasi, yang lebih menekankan pada aspek produksi “tanda” (Umberto Eco, Theory of Semiotics). Produksi tanda dari Bilal ketika disiksa dan dipaksa mengucapkan kata-kata kufur, Bilal mengucapkan “Ahad, Ahad” yang melibatkan berbagai lapisan yang disebut pekerja (labor) tanda. Bilal tentunya mengucapkan kata-kata yang tepat untuk merefleksikan keyakinannya. Memang, mudahnya ia memilih kata “Ahad” karena itu menjadi pembedaan keimanan Islam dengan Arab jahiliyah, bahwa Allah itu Esa (tunggal), tiada sekutu bagiNya. Bilal mengerahkan kemampuannya dalam mengucapkan pembedaan mendasar aqidah Islam dengan keyakinan jahiliyah. Apalagi di masa itu wahyu yang diturunkan kebanyakan masih pokok-pokok keyakinan Islam, konsep-konsep utama dalam aqidah Islam. Jelas di sini Bilal ingin mengagungkan Allah dan mengucapkan sesuatu yang bernilai ibadah, apalagi ia sendiri sedang dalam keadaan tersiksa. Kata-kata Bilal itu sangat tepat! Karenanya, Umayyah bin Khalaf dan pemuka Bani Jumah semakin murka hingga putus asa dalam memaksa Bilal, sebelum akhirnya dibebaskan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Sebenarnya dalam alam pikiran jahiliyah ketika itu, telah terjadi apa yang disebut skizofrenia dalam pengandaian ilmu semiotika antara konsep Allah dan Ahad. Allah yang dikenal oleh seluruh bangsa Arab, pada masa jahiliyah terputus sematannya dengan “Ahad”. Indikasinya ada pada pembesar Bani Jumah dan Umayyah bin Khalaf yang malah semakin murka hanya karena ucapan Bilal “Ahad, Ahad.” Umayyah dan Bani Jumah menjadi interpretan ucapan Bilal, sedangkan Allah menjadi objek (karena yang dimaksud Bilal jelas adalah Allah), dan “Ahad”nya menjadi representamen. Hal ini dikenal dalam model semiotika triadik Charles Peirce (Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika) salah satu tokoh pionir semiotika. Pada awalnya, representamen atau sesuatu yang merepresentasikan konsep sifat Allah yakni “Ahad”, membawa kebingungan atau mungkin kemarahan bagi Umayyah dan Bani Jumah, karena yang mereka yakini Allah punya ilah-ilah tandingan, sekutu. Produksi tanda dari Bilal di luar pemahaman Umayyah dan Bani Jumah, karena dalam konvensi yang berlaku di masyarakat jahiliyah Allah itu punya banyak ‘pembantu’. Bahkan dalam alam pikiran jahiliyah, Latta dan Uzza itu malah lebih didahulukan ketimbang Allah sendiri, meski mereka yakin Allah adalah yang tertinggi. Di sini skizofrenia-nya bagi Umayyah dan Bani Jumah tersingkap, karena konsep Allah dan Ahad terputus, meskipun dahulu di masa Nabi Ibrahim dan Ismail, Allah sendiri telah dikenal dan memang “Ahad”, tiada sekutu bagiNya. Konsep Latta dan Uzza pun menjadi lebih penting dari Allah. Ilah-ilah tandingan ini menjadi penyebab kekacauan (kesimpang siuran) antara objek, representamen serta pemaknaannya.

Tetapi bagaimana bagi Bilal sendiri? Bilal adalah seorang Muslim dan telah mendapat konsep-konsep yang tepat tentang Allah, khususnya bahwa Allah itu Ahad. Bilal ibarat seorang yang merestruktur ekspresi maupun isi pesan bagi para pendengarnya. Dalam proses komunikasi orang memang dapat menciptakan diskursus baru, yang bagi Bani Jumah waktu itu tak terumuskan: masa Allah itu Esa (mungkin di benak mereka). Parole (penggunaan tanda bahasa secara konkrit) yang berbentuk/berbunyi “Ahad” itu memang dikenal dalam sistem bahasa Arab ( langue ) tetapi hanya kaum Muslimin yang menyematkannya dengan (sifat) Allah. Lantaran keterputusan itulah antara konsep Allah sebagai penanda dengan Ahad sebagai petanda menimbulkan kesimpang-siuran makna. Itu mengapa “Ahad, Ahad”-nya Bilal terasa aneh bagi telinga maupun pikiran Umayyah dan Bani Jumah. Sedangkan Bilal berhasil menjadikan ‘rintihannya’ sebagai pembeda keyakinannya dengan yang menyiksa dirinya.

Bilal ‘memperkenalkan’ dan mempertegas keesaan Allah sekaligus dalam ketersiksaannya. Kasus kesimpangsiuran tanda atau skizofrenia mengejewantah dalam sirah Nabawiyah seperti di peristiwa ini, pada akhirnya konsep Allah (objek) dan Ahad (representamen) khas risalah Ibrahim kembali menyatu dalam dakwah Muhammad Rasulullah. Dakwah yang membentuk masyarakat risalah itu, telah mengembalikan konvensi masyarakat bahwa “Allahu Ahad”.

*Ilham Martasyabana, pegiat sirah Nabawiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *