Beberapa waktu terakhir, jagat pendidikan Indonesia kembali ramai. Di tengah carut-marut sistem yang masih mencari bentuk, publik disuguhi pemandangan baru. Dua model pendidikan yang sama-sama mengusung semangat unggul.
Wartapilihan.com, Depok— Di satu sisi, pemerintah meresmikan Sekolah Garuda, proyek strategis yang disebut-sebut akan melahirkan generasi emas 2045. Di sisi lain, muncul Sekolah Singa, istilah yang digunakan Ustadz Adian Husaini untuk menggambarkan model pendidikan berbasis adab yang telah beliau jalankan selama sepuluh tahun di Pesantren At-Taqwa Depok.
Tanggal 8 Oktober 2025, Sekolah Garuda resmi diluncurkan di 16 titik di seluruh Indonesia. Program ini merupakan buah gagasan Presiden Prabowo Subianto dengan visi besar. Mencetak generasi unggul sains dan teknologi yang mampu bersaing di level global.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Stella Christie, menyebutnya sebagai “the orchestrated perfection of educational transformation.”
Menurutnya, Sekolah Garuda adalah cara pemerintah memperluas akses pendidikan berkualitas dan inklusif. Mencari dan mengasah talenta sains dari setiap pelosok negeri agar mampu menembus kampus-kampus terbaik dunia.
Visi ini tentu indah. Ia menggugah kebanggaan nasional, seakan membuka gerbang masa depan yang penuh cahaya. Namun, seperti biasa, setiap idealisme besar menuntut ujian pada tataran praksis. Dan di sinilah kritik reflektif itu muncul.
Lima hari setelah peluncuran, Ustadz Adian Husaini merilis video di kanal YouTube beliau yang berjudul “Sekolah Garuda Bagus, Tapi Jangan Tanggung!”
Bukan untuk menentang, namun melengkapi. Dalam gaya khas beliau yang tenang tapi tajam, beliau menyampaikan tiga pesan penting.
Pertama, pendidikan tingkat SMA hendaknya diposisikan bukan sekadar pre-university, tapi pre-life alias menyiapkan kemandirian, bukan sekadar kelulusan.
Kedua, orientasi pendidikan unggul sebaiknya tidak selalu mengarah ke luar negeri. Why not strengthen our own universities first? Dengan potensi anak-anak terbaik bangsa, seharusnya kampus dalam negeri justru menjadi pusat gravitasi ilmu. Kenapa ga pede dengan kampus dalam negeri? Atau, kan kita bisa datangkan guru-guru terbaik untuk mendidik di dalam?
Ketiga, dan ini yang paling prinsipil, pendidikan harus berakar pada nilai agama. Karena dalam pandangan Islam, menuntut ilmu bukan sekadar skill-building, melainkan ibadah-building, pengabdian spiritual yang bernilai di sisi Tuhan.
Di sini tampak dua paradigma pendidikan yang sama-sama besar, tapi berbeda akar. Sekolah Garuda berangkat dari semangat kebangsaan dan sains global, sementara Sekolah Singa berpijak pada fondasi tauhid dan adab.
Ustadz Adian Husaini, yang bukan sekadar akademisi namun juga praktisi pendidikan, telah mengelola lembaga pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi selama lebih dari dua dekade. Beliau bukan hanya menulis tentang pendidikan, namun juga membumikannya. Di Pesantren At-Taqwa, konsep adab before knowledge diterjemahkan dalam kurikulum, perilaku guru, hingga ritme hidup para santri.
Santri-santrinya menulis makalah, skripsi, bahkan buku di usia SMA. Mereka berdialog dengan dosen kampus IIUM Malaysia, bukan untuk gagah-gagahan akademik, tapi sebagai wujud nyata dari jiwa ilmuwan yang hidup. Haus kebenaran, bukan hanya haus gelar.
Dalam salah satu videonya, Ustadz Adian bahkan menyinggung, pendidikan Islam sejati harus melahirkan “singa” —bukan “babi.”
Maksudnya, pendidikan harus melahirkan manusia yang berani, beradab, dan berjiwa kepemimpinan. Bukan sekadar pandai, akan tetapi juga punya moral compass yang kokoh.
Sementara Sekolah Garuda punya dukungan negara, dana besar, dan infrastruktur kuat; Sekolah Singa bertahan dengan keyakinan dan falsafah yang jernih. Dua-duanya punya potensi besar, asal tidak kehilangan arah. Sebab di balik semua kebijakan dan program, ujungnya tetap kembali ke satu hal: What kind of human being do we want to produce?
Apakah generasi 2045 hanya akan diisi oleh manusia cerdas tanpa nurani, atau manusia beradab yang menuntun kecerdasannya dengan hikmah?
Itulah titik perbedaan antara smart nation dan wise nation.
Dan Indonesia, kalau ingin benar-benar terbang tinggi, harus memastikan punya dua-duanya. Sayap Garuda dan Hati Singa.
Semoga di pentas 2045, kita tak hanya melihat anak-anak yang piawai di laboratorium, tapi juga tunduk di hadapan Tuhan. Karena bangsa yang besar tidak diukur dari jumlah ilmuwannya, tapi dari berapa banyak yang masih tahu caranya beradab kepada ilmu. (Penulis: Dr Rahmatul Husni, pemerhati pendidikan)
Link Youtube AdianHusaini: https://www.youtube.com/c/adianhusainitv/

