Wartapilihan.com = “Ashabi kannujum. Iqtadaitum ihtadaitum. Sahabatku adalah bagaikan bintang, dimana kamu ‘mengikutinya’ kamu mendapat petunjuk” (Rasulullah saw)
Ya Ali sang teladan. Sejak kecil ia dibimbing Rasulullah saw untuk bersama beliau. Menjalani ibadah dan berjuang menegakkan Islam risalah yang mulia di bumi ini.
Kisah yang paling monumental adalah ketika Sayidina Ali memberanikan diri menggantikan Rasulullah di tempat tidur beliau, ketika beliau ingin mengelabui kaum kafir Quraisy yang mengepung rumahnya dan akan membunuhnya. Ali bersedia menggantikan Rasulullah, meskipun nyawa taruhannya. Ali tahu bahwa begitu para pembunuh kafir itu masuk rumah dan kecewa tidak ada Rasulullah, bukan tidak mungkin ia yang menjadi korban karena kekecewaan para pembunuh itu.
Tapi Ali tidak gentar. Ia tawakkkal pada Allah. Para pembunuh itu akhirnya kecewa karena Rasulullah sudah pergi dari tempat tidurnya dan yang mereka temui di selimut itu adalah Ali yang masih kecil saat itu.
Para pembunuh itu kecewa, Muhammad Rasulullah tidak ada di tempat. Mereka membiarkan Ali di tempat tidurnya dan segera mengejar Rasulullah yang telah pergi jauh meninggalkan rumah itu (menuju Madinah).
Ya, Allah SWT menyelamatkan Ali dari konspirasi kaum kafir Quraisy saat itu.
Ali memang dididik Rasulullah sejak kecil menjadi jiwa yang cerdas dan pemberani. Kecerdasannya sulit dilawan tandingannya, hingga Rasul menyatakan ‘Aku adalah gudang ilmu dan Ali adalah pintunya’.
Suatu ketika Ali pernah diuji oleh sekelompok orang Yahudi tentang mana yang lebih baik harta atau ilmu. Ali menyatakan keutamaan ilmu daripada harta dengan beragam jawaban. Ilmu lebih utama dari harta, karena Ilmu warisan para Nabi, harta warisan Firaun dan Qarun. Ilmu diberikan bertambah, harta diberikan berkurang. Ilmu menjagamu, harta kamu harus menjaganya dan seterusnya. Yang pasti, di tangan orang beilmu harta manfaat dan di tangan orang jahil harta akan mudharat.
Keberanian Ali mempertaruhkan jiwanya terlihat dalam perang jihad melawan kafir Quraisy. Dalam perang tanding satu lawan satu, Ali seringkali maju ke depan untuk menaklukkan musuh-musuhnya. Dan Ali dengan ‘pedang Dzulfikarnya’ membuat lawan-lawannya bergelimpangan. Para pemimpin Quraisy gemetar bila nama Ali disebut karena ia ‘tidak pernah kalah’ dalam perang tanding satu lawan satu, yang biasanya dilakukan saat itu sebelum dimulainya peperangan.
Ali juga terkenal dengan kezuhudannya terhadap dunia. Ia pernah untuk mendapatkan sehelai sarung, ia harus menjual pedangnya, Namun demikian, ia memperingatkan orang agar ‘tidak mencela dunia’. Ia berkata dalam salah satu khutbahnya: “Sesungguhnya dunia adalah rumah kebenaran bagi orang yang mengakuinya. Rumah keselamatan bagi orang yang memahaminya. Rumah kekayaan dan perbekalan bagi orang yang mengumpulkan darinya. Dunia adalah tempat perwujudan wahyu Allah, tempat shalat para malaikat, masjid para NabiNya dan tempat berdagang para walinya. Mereka berdagang dan mendapat keuntungan berupa kasih sayang/rahmat serta surge. Karenanya jangan mencela dunia karena ujung dunia ini semakin dekat dan saat perpisahan dengannya tidaklah lama. Yang harus dicela adalah keburukan dunia dan cinta dunia. Tidak perlu mencela dunia, menghindari dan menjauhinya…
Seorang muslim yang baik dan terbebaskan dari perangkap dunia, akan mendapat dua kebaikan saat menyeru kepada Allah.Yaitu kebaikan di sisi Allah dan kebaikan akhirat. Karena akhirat jauh lebih baik dan lebih abadi daripada dunia. Ketauhilah ada dua macam ladang, yaitu ladang dunia berupa harta dan ketaqwaan serta ladang akhirat yang baik dan abadi. Kadang-kadang Allah menghimpunkan keduanya, dunia dan akhirat, pada sebagian hambaNya.”
Dr Musthafa Murad dalam bukunya Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib menjelaskan,” Semua keutamaan terkumpul pada diri Ali bin Abu Thalib, semua kebaikan melekat kepadanya. Ia telah mencapai puncak keutamaan, ilmu, amal, ikhlash, wara’, jihad, dakwah, kebaikan, keindahan akhlaq, ibadah dan kesempurnaan perilaku. Dengan tuturan memikat, penulis Nahjul Balaghah menggambarkan keutamaan Ali bin Abu Thalib, seorang hamba yang dikasihi Tuhan. Kitab itu menjelaskan secara detil bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang yang lembut dan penuh kasih sayang pada sesame, namun kuat dari sisi agama, iman dan keyakinan. Ia selalu haus ilmu. Sikapnya adil dan bijaksana. Kehidupannya teramat sederhana dan bahkan kekurangan. Ia khusyuk dalam beribadah, tetap bahagia dalam kesulitan, bersabar saat ditimpa masalah dan selalu mencari yang halal. Ia rajin mencari hidayah, menjauhi ketamakan dan bersegera melakukan amal shaleh. Setiap saat ia bersyukur dan bibirnya senantiasa dibasahi kalimat dzikir. Ia jalani kehidupan secara hati-hati, waspada dan tidak pernah lalai. Saat mendapat kebaikan dan rahmat, ia bahagia dan bersyukur.
‘Tak sekejap pun’ ia biarkan nafsunya menikmati apa yang disukainya. Sikap zuhud dari dunia selalu ia pelihara dan kehidupannya dihiasi ilmu yang diamalkan. Sepanjang hayatnya, tak pernah ia berpanjang angan, enggan melakukan sesuatu yang sia-sia dan tidak suka memerintah orang. Hatinya tertunduk khusyuk dan jiwanya merasa puas. Syahwatnya dikendalikan dan amarahnya dikendurkan. Dunia tidak pernah menjadi hasrat dan cita-citanya. Hanya kebaikan yang selalu ia angankan, sehingga ia terjaga dari segala keburukan. Ketika merasa kelalaian menghampiri, ia segera sadar dan ingat. Ia maafkan orang yang menzaliminya, memberi kepada orang yang menghindarinya dan menyambungkan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya.”
Dr Musthafa melanjutkan :
“Ilmu berbisik kepada amal
Dan amal mesti menjawabnya
Jika tidak, ilmu menjadi sia-sia
Penggalan syair itu diungkapkan oleh Sang Gerbang kota ilmu, Ali bin Abi Thalib. Umat bersepakat bahwa Ali menyimpan khazanah pengetahuan yang sangat luas. Kedekatan dan pergaulannya bersama Nabi saw serta kecintaannya yang sangat besar kepada ilmu telah memberinya pengetahuan yang kaya dan berharga.
Inilah keutamaannya yang paling cemerlang, nyaris tanpa tanding. Semua orang mengenalnya sebagai sahabat yang berpengetahuan luas. Ia memiliki beragam pintu ilmu. Ali juga punya semangat dan gairah yang tinggi untuk menuntut ilmu. Ia berkata,”Sepanjang hidupku bersama Rasulullah saw tidak sekalipun mataku terpejam dan kepalaku terbaring tidur, kecuali aku mengetahui pada hari itu apa yang diturunkan oleh Jibril as tentang yang halal dan yang haram atau tentang yang sunnat atau Kitab, atau perintah dan larangan. Dan tentang apakah ayat itu turun.”
Ali mencapai keistimewaan dalam bidang ilmu karena dua sebab. Pertama, karena anugerah yang diberikan Allah kepadanya berupa akal yang cerdas dan lisan yang fasih. Ia pernah berkata,”Allah menganugerahiku akal yang cerdas dan lisan yang fasih.” Kedua, Nabi selalu mendorongnya untuk mencari ilmu. Ali berkata,”Jika aku bertanya, aku pasti mendapatkan jawaban dan jika aku diam, beliau akan mengajariku.”
Kendati demikian tetap saja ada sebagian orang yang menolak keutamaan Ali bin Abu Thalib dalam bidang ilmu dan pemahaman syariat, termasuk diantara mereka adalah kalangan Qadariyah dan Khawarij.
Umat, bahkan Nabi saw mengakui keluasan ilmu dan kecerdasan Ali bin Abu Thalib. Alangkah baik jika kita dengarkan nasihatnya tentang etika orang yang berilmu. Ali ra berkata,” Pelajarilah ilmu, niscaya kau dikenal dengannya. Amalkan ilmumu, pasti kau menjadi ahli amal. Kelak akan datang suatu zaman, yang pada saat itu sembilan dari sepuluh orangnya mengingkari kebenaran. Hanya orang yang bertobat dan tunduklah yang akan selamat dari zaman itu. Merekalah para pemimpin yang mendapat petunjuk. Merekalah pelita ilmu. Setiap langkah tindak mereka tak pernah tergesa atau sia-sia. Mereka juga tak banyak bicara dan menyia-nyiakan waktu.”
Dalam kesempatan lain, Ali berkata,” Wahai orang yang berilmu, amalkanlah ilmu kalian karena seorang alim adalah yang mengetahui kemudian mengamalkan. Seorang alim adalah yang ilmunya bersesuaian dengan amalnya. Akan muncul kaum yang membawa ilmu namun tidak mengamalkannya, apa yang tersembunyi pada diri mereka bertolak belakang dengan yang terlihat. Ilmunya bertentangan dengan amalnya. Mereka duduk saling berhadapan membangga-banggakan ilmunya seraya melecehkan orang lain. Akibatnya setiap orang marah kepada teman majelisnya dan meninggalkannya. Ketahuilah, amal mereka itu tidak akan naik kepada Allah Yang Mahasuci.”
Kepada para pencari ilmu, ia menyampaikan nasihatnya,”Seorang murid mesti menghormati dan menghargai guru…Ia harus menghormatinya dan duduk sopan dihadapannya. Jika seorang alim butuh sesuatu, bergegaslah melayaninya sehingga ia tidak didahului orang lain. Berusahalah untuk selalu didekatnya. Seorang alim bagaikan setandan kurma yang hendak jatuh dan memberimu manfaat…” ||
Penulis : Dachli Hasyim