Sifat al-Waliy bermakna penuh rasa cinta, senang menolong, pandai menyelesaikan urusan makhluk-Nya, dan selalu menebar kebaikan buat semua hamba-Nya. Sebagai al-Waliy, Allah telah memberikan semua itu kepada orang-orang yang bertakwa. “…dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Jatsiyah/45: 19).
Wartapilihan.com, Depok – Ada formula untuk meredam konflik vertikal dan horisontal yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Selama ini masing-masing pihak suka menjauh, tidak suka mendekat. Rakyat menghujat penguasa dan penguasa meninggal-lari rakyat yang sedang terjungkal. Hal ini disampaikan oleh Ustadz Dr Syamsul Yakin, MA, dalam seri Asmaul Husna, hari ini, Depok (14 Juli 2017).
“Formula itu adalah saling-mendekat, saling-merapat. Buahnya adalah: rakyat dan penguasa jadi saling mendukung, saling membela, dan saling mencinta. Inilah personifikasi makna al-Waliy yang dilempar Allah ke bumi, supaya diinsyafi dan menjadi solusi. Tapi, seperti biasa manusia lebih banyak yang tidak peduli,” ujar Ustadz Syamsul.
Hal ini, menurutnya, dapat disebut dimensi politik makna al-Waliy yang selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh kalangan yang berpegang teguh pada ajaran agama maupun oleh kalangan sekuler. “Kalangan sekuler memandang dunia politik sebagai wilayah bebas yang bisa dijelajahi oleh siapa saja tanpa harus memenuhi kualitas keagamaan. Politik terbuka bagi partisipasi publik dan berbagai proses yang terjadi di dalamnya tidak berkait dengan ajaran agama tertentu,” ia menjelaskan.
Pandangan seperti ini, dosen UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, menyulut perdebatan yang hingga kini belum berakhir, terutama bagi kalangan yang mengatakan bahwa politik tak lain sebagai ruang publik yang terkait erat dengan ajaran agama. Bahkan ulama adalah kelompok yang paling representatif untuk mengisi kedudukan politik sebagai realisasi ajaran agama yang bersifat mutlak.
“Bagi umat Islam, makna sosial-politik al-Wali sebenarnya bisa dikaitkan dengan pertanyaan: apakah kerasulan Nabi Muhammad memiliki kaitan dengan persoalan politik; atau apakah Islam merupakan agama yang terkait erat dengan urusan politik dan pemerintahan; dan apakah Islam membuat sistem, bentuk, dan prinsip-prinsip pemerintahan secara jelas?” tuturnya.
“Sejatinya, siapapun yang memproklamirkan diri sebagai wali orang-orang mukmin, maka dia harus memperagakan sifat-sifat al-Waliy. Pertanyaannya, sebagai wali penduduk negeri ini, sudah kita berlaku kasih, berbuat cinta, penuh perhatian? Sebab inilah butir-butir penting membangun negeri tercinta ini?” Ia menekankan.
Pengurus pesantren Sukmajaya ini mempertanyakan, mengapa kenyataannya negeri ini selalu saja tertimpa malapetaka? “Menurut Imam al-Ghazali, wali orang-orang mukmin atau pemimpin itu haruslah mereka yang bisa menjaga dan menguasai nafsu secara mutlak. Bila tidak, syahwat akan menyebabkan penguasa tertuju ke arah kegiatan-kegiatan yang tidak sehat dan tidak bermoral,”
Nafsu amarah, menurutnya, akan menghasut penguasa untuk mematikan dan membunuh kebaikan-kebaikan yang akan dipersembahkan bagi perbaikan dan kebaikan masyarakat. Nafsu serakah akan mengarahkan penguasa terbiasa tanpa merasa berdosa melakukan korupsi. Kata al-Ghazali, nafsu-nafsu itu berturut-turut diibaratkan seperti seekor babi, seekor anjing dan setan.
“Bagi kita yang saat ini memanggul gelar “wali” bagi sesama, ada baiknya kita pelajari semua makna al-Waliy yang berulang hingga 44 kali dalam al-Qur’an. Kita bercermin kepada makna-makna tersebut, sehingga kita bisa mengetahui baik-buruk diri kita sebagai “wali” yang artinya cukup banyak, yakni: pendukung, pelindung, pembela, yang mencintai, yang lebih utama, dan yang memerdekakan,” harapnya. ||
Eveline Ramadhini