Wartapilihan.com, Jakarta – Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menuturkan, upaya pemerintah untuk membubarkan ormas yang dianggap radikal hanya pikiran mengada-ngada saja. Menurutnya, dengan cara berfikir yang radikal (invia negativa) atau kontradiktif akan menghasilkan suatu kemajuan.
“Ini kan hanya alibi pemerintah saja, jadi pikiran radikal atau negatif thinking itu boleh, dia itu akan menjadi penyeimbang positif thinking. Dalam fikiran itu boleh, dalam tindakan tidak boleh. Kalau semua Yes Men saja, nanti siapa yang kontrol Pemerintah? Check and balance-nya tidak pernah ada,” kata Natalius Pigai kepada Wartapilihan usai jumpa dengan Presidium Alumni 212 di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/7).
Program deradikalisasi yang selama ini dilakukan pemerintah, kata Pigai, disebabkab oleh pikiran radikal yang muncul karena dampak sosial, pendidikan rendah dan tingkat kesejahteraan rendah. Sehingga, yang paling efektif dilakukan, lanjut Pigai, yaitu sinergitas antar lembaga negara guna membangun bangsa dan negara yang lebih baik.
“Pendidikannya ditingkatkan, kesejahteraannya ditingkatkan dan hajat kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Pemerintah dapat mengundang ulama dari Timur Tengah untuk memberikan dogma dalam program deradikalisasi,” ungkap Pigai.
Sebab, kata aktivis 1998 ini, banyak orang yang pulang dan mengaku belajar dari Timur Tengah yang akhirnya menjadi teroris, karena menurut mereka harus didatangkan ulama-ulama dari luar untuk menyampaikan ajaran-ajaran yang sifatnya perdamaian dan keadilan.
“Ingat, di seluruh dunia ini sudah berlaku human right millenium (millenium hak asasi manusia). Maka, kebebasan berserikat, HAM dan perdamaian itu dijunjung tinggi karena menjadi perhatian dunia. Oleh karena itu, berdasarkan konvensi universal sipil dan politik 12 tahun 2005, kebebasan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat itu dijamin termasuk dalam konstitusi kita,” jelas dia.
Pigai menyatakan, Perppu pembubaran ormas menunjukan sikap pemerintah yang ingin mengembalikan sikap diktator dan otoritariannya. Diktator dan otoritarian tidak akan berkembang di dalam sistem demokrasi.
“Kita sudah menikmati kebebasan ini hampir 18 tahun pasca reformasi, kami ini dipenjara di pentung sampai tulang belakang tidak sembuh-sembuh selama 3 tahun. Saya kira itu penghianatan terhadap perjuangan kami,” ujarnya.
Komnas HAM akan menanyakan Pemerintah apa landasan diterbitkannya Perppu tersebut. Secara hukum, tergugat dapat meminta pertimbangan dari Komnas HAM untuk nanti diajukan ke MK.
“Kita akan mengeluarkan rekomendasi resmi Hak Asasi Manusia. Dari sisi perspektif HAM kita melihat ini melanggar atau tidak. Pengacara tergugat bisa mengajukan ke Komnas HAM, itu prosedural,” imbuh Pigai.
Pigai menilai, Acta Contrarius tidak bisa diajukan dalam konteks politik, tetapi harus diputuskan melalui jalur hukum (Pengadilan). Proses Pengadilan yang akan menjadikan keputusan Pemerintah menjadi kuat. Namun, apabila Pemerintah tidak melakukan, rakyat bisa gugat ke PTUN.
“Di PTUN ternyata mereka menang, maka bisa jadi bumerang buat pemerintah, malu nantinya. Di dalam undang-undang itu ada proses yang harus di lalui, ada proseduralnya,” tandasnya.
Di balik Perppu tersebut, simpul Pigai, ada ittikad yang tidak baik dari Pemerintah untuk memberangus dan membungkam ormas serta eksistensi kebebasan berpendapat di Indonesia. Pigai mencurigai dibalik Perppu tersebut banyak dipengaruhi oleh unsur subjektifitas.
“Dalang-nya itu Pemerintah, artinya pemerintah yang salah. Pemerintah harus bertanggung jawab karena tugasnya menjaga perdamaian. Tidak ada argumentasi merawat kebhinekaan kalau instrumen-instrumen organisasi yang menjadi artikulator kepentingan rakyat dibungkam dan ditiadakan. Pasti berpotensi kepada disintegrasi,” pungkasnya.
[Ahmad Zuhdi]