Wartapilihan.com – Setelah masa cutinya habis, sejak 12 Februari 2017, Basuki Tjahaya Purnama Alias Ahok kembali menduduki kursinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, diaktifkannya kembali Ahok mengacu pada pasal 83 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan, kepala daerah atau wakilnya dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.
Dalam kasus Ahok yang menodai agama itu, jaksa penuntut mendakwah dengan 2 pasal, yakni Pasal 156 dan 156a KUHP, dengan ancaman waktu penjara yang berbeda-beda. Pada pasal 156 ancaman penjara paling lama 4 tahun. Sedangkan 156a ancaman penjara selama-lamanya 5 tahun.
Menurut Tjahjo, pihaknya menunggu tuntutan resmi jaksa penuntut umum di persidangan. “Kalau tuntutannya 5 tahun, ya kami berhentikan sementara, kalau di bawah 5 tahun tetap menjabat sampai putusan hukum tetap,” katanya.
Padahal, menurut pakar hukum tatanegara, Mahfud MD, “Tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok menjadi gubernur kembali tanpa mencabut (pasal) itu. Karena undang-undang jelas menyebutkan bukan tuntutan seperti dikatakan Mendagri. Mendagri katakan menunggu tuntutan, di situ(pasal 83 ayat 1 UU 23 tahun 2014) disebut terdakwa berarti dakwaan,” jelas Mahfud MD.
Walhasil, Ahok pun tetap melanggang ke singgasananya, kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta sambil menjalani proses persidangan sebagai terdakwa penistaan agama. Jika Ahok melenggang, lain halnya dengan para ustadz yang ikut mengawal kasus Ahok, yang lebih dikenal dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa(GNPF)-MUI.
Habib Rieziq Shihab (Imam Besar FPI yang juga Ketua Dewan Pembina GNPF-MUI) dijadikan tersangka atas pelecehan terhadap Pancasila, Munarman (Jubir FPI) dijadikan tersangka karena dituduh telah memfitnah para Pecalang di Bali, Ustadz Bactiar Nasir(Ketua GNPF-MUI) dan Ustadz Adnin Armas(Ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua/YKUS) disangka telah melakukan pencucian uang oleh Mabes Polri.
Kasus pencucian uang ternyata tak terbukti. Tapi kedua ustadz tersebut telah dicenmarkan nama baiknya dengan secemar-cemarnya. Tapi polisi juga tak kehabisan akal, dengan entengnya Ustadz Adnin Armas yang gagal dijerat dengan pencucian uang akhirnya digeser ke penyalahgunaan yayasan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan). Kapolri Jenderal Tito Karnavian,dalam rapat kerja Polri dengan Komisi III DPR-RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2), menyebutkan bahwa Ustadz Adnin Armas sebagai tersangka kasus pelanggaran undang-undang yayasan.
Yang dimaksud Tito adalah pelanggaran terhadap pasal 5 UU 28/2004 yang berbunyi, “Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus, dan pengawas.”
Jika kita melihat kasusnya, mulanya, rekening YKUS dipinjam oleh Ketua GNPF-MUI, Bachtiar Nasir, untuk menampung dana dari umat, terkait dengan Aksi Bela Islam pada 4/11 dan 2/12/2016. terkumpul dana sekitar Rp 6 milyar, sebesar Rp 3,2 milyar sudah diserahkan ke Ustadz Bachtiar Nasir, sedangkan yang Rp 2,8 masih tersimpan di rekening yang buku tabungannya kini disita oleh polisi. “Tidak serupiah pun kami, baik ketua maupun anggota yayasan, mengambil uang tersebut,” kata Adnin Armas.
Lalu, bagaimana dengan ustadz Bachtiar Nasir? Masih menurut Tito, “Ada aliran dana dari Bachtiar Nasir. Asalnya dari Yayasan Keadilan untuk Semua.” Padahal, menurut kuasa hukum Ustadz Bachtiar Nasir, Kapitra Ampera, pengiriman dana bantuan ke Turki terjadi pada Juni 2016, jauh sebelum digelarnya Aksi Bela Islam. “Dilakukan oleh pengurus Yayasan Solidaritas untuk Syam, Abu Harits, lewat lembaga kemanusian Turki (IHH), yang dititipkan kepada pegawai Bank BNI Syariah, Islahudin Akbar,” katanya.
Jika melihat alur kasusnya, nampaknya, ada upaya untuk mengkriminalkan para ustadz yang aktif di GNPF-MUI. Habib Rieziq, Munarman, dan Ustadz Bachtiar Nasir aktif di GNPF-MUI, sedangkan Ustadz Adnin Armas yang meminjamkan rekening YKUS untuk menampung dana umat. Tidak ada upaya untuk memperkaya diri, tidak ada uang yang diselewengkan, tapi tetap saja jadi tersangka. Sedangkan untuk Ustadz Bachtiar Nasir akan terus dikejar untuk bisa ditersangkakan.
Rupanya, polisi terus mencari-cari kesalahan mereka, para ustadz itu, dengan menebar prasangka. Jika prasangka yang satu tak terbukti, muncul prasangka yang lain, sampai yang bersangkutan bisa ditersangkakan. Kepada jajaran Polri, kiranya perlu membaca Al-Quran surah al-Hujurat ayat 12, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, ….”
Kepada para polisi yang masih punya iman, semoga ayat tersebut bisa menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhoi oleh-Nya. Jadilah polisi yang taat pada kaidah-kaidah hukum, bukan mengembangkan prasangka terhadap orang-orang yang berdakwah untuk umat dan Dien-Nya.
Penulis: Herry M. Joesoef