Berkembang pesatnya teknologi pangan dan rekayasa genetik, pendistribusian produk industri makanan pun semakin luas. Rekayasa genetik dan penciptaan Bahan Tambahan Bangan(BTP) dapat berbentuk ataupun bertujuan sebagai pengawet, pewarna, pengembang, pengemulsi perasa, (E-Codes), yang sering kita temui dalam komposisi makanan. Benarkah makanan yang sudah diolah tersebut halal?
Wartapilihan.com, Jakarta –Menurut Meili Amalia penggagas My Halal Kitchen, produk yang sudah bersentuhan dengan teknologi termasuk syubhat (diragukan). Pasalnya, bentuk asli dari bahan yang alami sudah tak nampak.
“Jika sudah tidak nampak lagi bentuk asli dari bahan tersebut, maka produk tersebut dapat dikategorikan sebagai produk yang syubhat, bisa halal dan juga bisa haram statusnya,” kata Meili.
Ia mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari yang dikatakan, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka, barang siapa yang takut terhadap syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan.”
Lebih lanjut ia mengatakan, pada setiap penelitian atau pengkajian suatu produk terdapat istilah titik kritis, yaitu suatu tahapan produksi dimana ada
kemungkinan suatu produk menjadi haram.
“Status kehalalan suatu produk dapat diputuskan setelah ditelaah kehalalan bahan-bahan utama, bahan tambaan, bahan penolong, proses yang terlibat dalam pengolahannya serta proses pendistribusian,” tegas dia.
Ia menerangkan, makanan yang haram di dalam Al-Qur’an merupakan, (1) bangkai, (2) darah, (3) babi, (4) hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah dan (5) organ manusia.
Namun, tanpa disadari karena kecanggihan teknologi pangan, hewan seperti babi ataupun darah dapat diolah menjadi bentuk-bentuk lain yang dapat kita konsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
“Salah satunya babi. Setiap bagian babi oleh para barat diolah kembali dan tidak dibuang, semuanya terpakai. Seperti bulu, ia bisa digunakan untuk menjadi kuas pada masakan untuk kue pukis, ayam bakar, ikan bakar, pengoles loyang kue dan lain sebagainya,”
Jika mengkonsumsi makanan haram tanpa kita sadari, akan memunculkan perangai dan akhlak yang tercela dan berpengaruh buruk bagi kesehatan jiwa dan raga.
“Tak hanya itu, mengkonsumsi makanan haram juga melemahkan fisik, dan
mendatangkan penyakit berpengaruh buruk bagi kesehatan jiwa dan raga, serta tertolaknya amal ibadah dan menghalangi
terkabulnya doa,” tukasnya.
Karena banyaknya hal yang berkaitan dengan makanan yang masih syubhat (meragukan), maka jika ingin mengetahui kehalalan resto atau toko kue tertentu, Meili menyarankan agar mengaksesnya di www.halalmui.org.
“Bagi pengguna BlackBerry dengan OS BB10 dapat mengunduh aplikasinya di BB World. Bagi Pengguna android, bisa unduh aplikasi Pro Halal dan Halal MUI di Play Store. Bagi pengguna TELKOMSEL/INDOSAT bisa cek via sms ke 98555 dengan Format : ketik HALAL spasi MERK. Tarif Rp 550/sms,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini