Tingkat inflasi per Juli 2017 hanya sebesar 3,88%. Tetapi, subsidi listrik dan BBM yang dicabut berdampak langsung ke masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan seperti apa yang tengah terjadi?
Wartapilihan.com, Jakarta – Dosen dan Staff Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono menganalisa, kebijakan ekonomi yang dijalankan pada rezim Presiden Joko Widodo cenderung lebih pro pasar dibandingkan pro terhadap rakyat. Sehingga masyarakat menengah ke atas cenderung sejahtera, sedangkan masyarakat menengah ke bawah menderita.
“Betul secara ekonomi kita sudah membaik, ya. Cuma itu menjadi tidak berarti ketika kinerja makro ekonomi ini tidak bisa mengangkat sebagian besar kesejahteraan rakyat. Yang kita rasakan sekarang, ya begini, kesenjangan. Yang menikmati kelas menengah atas, sedangkan kelas ke bawah, ya, terus tertinggal,” ucap Yusuf kepada Warta Pilihan, Rabu sore, (16/8/2017).
“Kalau dengan kebijakan yang sekarang, ekonomi akan stabil, cuma gak akan merata selamanya. Kelompok yang tertinggal akan selalu tertinggal. Kebijakannya masih terlalu pro pasar,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) ini mengatakan, pro pasar memang tidak sepenuhnya salah. Namun, cita-cita konstitusi untuk mensejahterakan seluruh rakyat tanpa terkecuali akan sulit; yang semakin bertambah justru kesenjangan semakin besar antara kelas menengah ke atas dan bawah.
“Dalam batas tertentu menurut saya baik ya (kebijakan pro pasar), tapi tidak bisa dijadikan satu-satunya tujuan bagi pembangunan. Kenapa? Karena kebijakan pro pasar seperti itu akan selalu lebih menguntungkan pihak menengah ke atas daripada menengah ke bawah,” ia memaparkan.
“Kebijakan inflasi misalnya, sangat baik agar rakyat dapat membeli kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Tapi, aset finansial menengah ke atas jadinya besar. Mereka bisa melakukan investasi ke luar negeri dengan tenang tanpa rules,” terangnya.
Ia merekomendasikan kebijakan alternatif yang dapat dilakukan. Yusuf mengatakan, kebijakan ini pernah dilakukan, tetapi karena dianggap tidak efisien, kebijakan ini tidak dilanjutkan oleh pemerintah. “Kredit murah UKM misalnya, tanpa bunga. Kemudian, land reform, reform aset. Kebijakan itu memang tidak pro pasar ya, tapi pro rakyat. Nah kebijakan alternatif ini presiden Jokowi tidak berani lakukan. Masih sebatas retorika,”
“Maka, harus ada kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif ini yg masih banyak yang malu-malu, bahkan banyak yang gak mau menerapkannya lagi karena masalah efisiensi. Kalau menurut saya hal itu tidak perlu ditabukan sepanjang masih bisa dipertanggungjawabkan, caranya dipikirkan dengan baik supaya tidak banyak distorsi,” ia menyarankan.
Pemerintah selama ini menganggap kebijakan makro dapat berdampak menyejahterakan rakyat kecil, menurutnya hal itu wacana usang. Pasalnya, sudah puluhan tahun ia memperhatikan kebijakan pro pasar ini. Namun hasilnya, kesenjangan malah semakin tinggi.
“Itu kan ritel down effect ya, bahwa pertumbuhan ekonomi akan menetes ke bawah. Lupakanlah itu, ya, kita udah puluhan tahun melakukan itu. Tapi sebagian besar rakyat masih menderita. Jadi harus langsung menyasar ke mereka, afirmatif dan yang lengkap jangan yang parsial terus. Jadinya charity (amal) bukan kebijakan,” imbuhnya.
Meski kondisi ekonomi yang terlihat carut-marut, Yusuf optimis masih bisa untuk mengejar cita-cita konstitusi agar masyarakatnya sejahtera. Pasalnya, banyak negara miskin yang dulu tidak kalah miskin dengan Indonesia, tetapi bisa sejahtera saat ini.
“Nah, ini tinggal bagaimana kita mengelola perekonomian kita. Dulu Singapura jauh lebih miskin daripada kita. Tapi sekarang sudah jauh lebih maju daripada kita. Banyak negara lain seperti itu,” pungkasnya.
Eveline Ramadhin