Cita-Cita Indah Konstitusi dan Ekonomi Kita

by
Ilustrasi

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
(WR Supratman, 1924)

Wartapilihan.com, Jakarta – Para pendiri bangsa telah menanamkan idealisme yang sangat kokoh demi kebaikan bangsa, salah satunya tertuang pada Konstitusi Undang Undang Dasar 1945. Pada aspek kesejahteraan, seorang Ekonom Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono membagi pandangannya terkait cita-cita para pendiri bangsa dan realitanya hari ini. Sudahkah kita benar-benar merdeka?

“Pertama, kalau kita lihat yang paling awal justru di pasal 27. Kita kan biasanya melihat dari pasal 33 ayat 3. Bahwa setiap Warga Negara berhak mendapat hidup yang layak. Kesejahteraan bermula dari lapangan pekerjaan yang layak. Misal, jadi petani yang sejahtera harus punya lahan berapa gitu. Petani sekarang ladangnya tidak memadai, bagi mereka dan keluarganya. Belum lagi nelayan, alat produksi berupa kapal minimal berapa per orang. Buruh harus berapa. Tiap tahun buruh diliburkan hanya untuk demo terus, ini kan menyedihkan,” ungkap Yusuf kepada Warta Pilihan, (16/8/2017).

Ia menjelaskan, pada dasarnya di dalam konstitusi, bangsa ini didirikan untuk mendorong tercapainya setiap Warga Negara yang sejahtera lahir dan batin. Hal ini menggambarkan, bangsa Indonesia ialah bangsa yang religius. “Untuk mengevaluasi, kita harus melihat dua hal. Pencapaian sisi lahir dan sisi batin. Di Indonesia raya aja bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya. Sisi batin lebih di awal,” lanjutnya.

Kedua, dalam konstitusi tercantum pasal pendidikan, yaitu pasal 31 UUD 1945. Yusuf menekankan, selain lapangan pekerjaan yang layak, perekonomian mesti dibangun berbasis pengetahuan, bukan sekedar berbasis komoditas jasa maupun industri. Ia menyayangkan, orang yang berdiaspora ke luar negeri untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), hanya untuk mendapat gaji yang lebih baik atau menemukan pekerjaan yang lebih layak.

“Kita jadi negara industri aja belum, ini kan menyedihkan sekali. Warga kita masih kerja jadi TKI. Kalau jadi tenaga ahli sih enggak apa-apa. Tapi kalau orang kerja karena terpaksa di sini gak ada lapangan pekerjaan, nah itu. Sebagian besar bekerja karena tidak ada lapangan pekerjaan yang layak di sini. Gaji rendah,” imbuhnya prihatin.

Ketiga, aspek kesejahteraan ini juga tercantum dalam pasal 33 ayat 3 yang mengamanatkan bahwa bumi, kekayaan, air dan sebagainya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, menurutnya, peran sentral negara justru tereduksi karena kebijakan yang lebih pro pasar daripada pro rakyat.

“Subsidi BBM itu enggak efektif misalnya. Tidak efisien. Saya setuju, sepakat. Tapi bukan berarti subsidi dicabut, gak bener itu. Harusnya dicari bentuk subsidi yang lebih efektif dan efisien. Cuma harusnya dialihkan. Tapi ini kan enggak. Subsidi (malah) dihapus, dihajar,”

“Nah ini kan bermasalah, negara yang seharusnya berbuat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat malah dinegasikan begitu saja oleh pemerintah. Menurut saya ini suatu kemunduran besar ya dari semangat pasal 33. Karena pasal 33 kita benar-benar sangat mengandalkan peran pemerintah untuk mendorong kesejahteraan rakyat,” tandas Yusuf.

Pasal yang terakhir, menurut Yusuf yang merupakan pasal pamungkas, yakni pasal 34 UUD 1945. “Seluruh rakyat yang tidak beruntung, yang fakir miskin dan terlantar dipelihara oleh negara. Pelakunya siapa? Negara, tak tanggung-tanggung. Pasal sapu jagad itu. Tidak ada satupun yang boleh tertinggal dalam kesejahteraan, semuanya harus sejahtera,” jelasnya.

“Jadi, menurut saya dari berbagai sisi perekonomian kita memang harus banyak ditata ulang. Karena semangat konstitusi menurut saya masih jauh, masih banyak yang belum dilaksanakan,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *