Wartapilihan.com, Jakarta— Ekalaya, yang kemudian dikenal dengan nama Palgunadi (orang Jawa banyak menamakan anaknya dengan nama tersebut karena sebenarnya dialah pahlawan yang sebenarnya) adalah raja negeri Nisada. Sejak muda, ia gemar mempelajari ilmu memanah dan berguru pada siapa saja yang dianggap jago. Hampir seluruh ilmu memanah sudah dia dapat dari berbagai guru tapi ada satu ilmu memanah tertinggi yang belum dikuasainya, yaitu ilmu Danuwenda. Ilmu ini hanya dimiliki oleh seorang pendekar sekaligus guru memanah bernama Resi Durna. Maka, pergilah ia mencarinya untuk berguru.
Malang nasibnya, setelah melakukan perjalanan jauh dari India bagian utara ke India bagian selatan dan menemuinya, Resi Durna menolak untuk menjadikannya sebagai murid. Sang Resi sudah bersumpah hanya mengajar anak-anak putra mahkota negara Astina, yaitu Pandawa dan Kurawa. Sementara Ekalaya juga sudah bersumpah tidak akan pulang ke Nisada jika belum menguasai ilmu Danuwenda. Berhubung ditolak Resi Dorna dan juga tidak bisa pulang, maka Ekalaya pergi ke pinggir hutan dekat Istana Astina dan tinggal di situ berlatih panah sendiri. Yang unik adalah, ia membuat patung Resi Durna sedang duduk seakan-akan mengawasi Ekalaya berlatih memanah. Setiap hari Ekalaya berlatih hingga satu tahun ia pun menguasai ilmu Danuwenda secara otodidak.
Ketika para Pandawa dan Kurawa berburu di hutan tersebut mereka dikagetkan oleh anjing pelacak mereka yang mati dengan mulut terpanah beberapa panah sekaligus. Ketika ditelusuri ketemulah tempat Ekalaya berlatih bersama guru “virtualnya” yang berupa patung Resi Durna. Ekalaya pun mengaku dialah yang memanah anjing tersebut karena mengganggunya dan juga mengaku Resi Durna adalah guru yang mengajarinya ilmu Danuwenda. Para Pandawa dan Kurawa pun tidak terima gurunya mengangkat murid baru bahkan kemampuannya lebih tinggi dari mereka. Durna pun datang dan mengecek, apakah panah tersebut ditembakkan sekaligus atau satu persatu oleh Ekalaya. Ia menjawab, anak panah itu dilepaskan sekaligus sepuluh anak panah dalam jarak 20 langkah. Saat itu sadarlah Durna bahwa Ekalaya sudah menguasai ilmu Danuwenda.
Kisah selanjutnya tragis. Tidak perlu dibahas di sini. Ceritanya hanya akan membuat kita sedih. Kita ambil saja pelajaran dari kisah singkat ini bahwa dengan kesungguhan belajar dan keyakinan bahwa sang guru mengawasi maka membuat Ekalaya berhasil menguasai ilmu tersebut. Keyakinan itulah yang membuatnya berhasil. Berbeda jika ia tidak membuat patung Resi Durna dan merasa tidak ada siapa-siapa di situ. Kemungkinan besar dia tidak akan berhasil.
Kisah yang mirip dan sering dipakai untuk memotivasi karyawan mengejar target kinerja adalah kisah mitos dalam legenda Yunani Pygmalion dan Galatea. Pygmalion adalah seorang pematung handal. Suatu hari ia membuat patung seorang wanita yang sangat cantik dan sempurna yang diberi nama Galatea. Pygmalion pun jatuh cinta pada patung ciptaannya. Maka didandani dan diletakkanlah Galatea di dalam rumahnya. Setiap hari diajaknya berbicara seakan-akan Galatea adalah istrinya yang hidup. Ketika akan berangkat kerja ia pamit kepada “Galatea”, demikian juga ketika pulang. Saat makan malam pun diajaknya mengobrol tentang kejadian sepanjang hari dan sebagainya. Singkat cerita, Dewa Venus merasa iba dan akhirnya memberikan nyawa bagi Galatea. Mereka pun akhirnya hidup bahagia sebagai sepasang suami istri.
Keyakinan Pygmalion bahwa patung itu “hidup” membuat dia mendapatkan Galatea. Dalam dunia bisnis biasanya kisah ini dipakai untuk memotivasi karyawan yang diberikan target tinggi (Challenging) di awal tahun (yang kadang mustahil dicapai) agar bisa tercapai di akhir tahun. Kalau kita yakin bisa, tentu bisa. Begitu kira-kira jargon yang diberikan sang motivator menyemangati karyawan.
Dalam dunia pendidikan juga ada kisah serupa. Kalau ini cerita beneran, bukan fiksi. Saya mendengarnya dari Pak Steve Sudjatmiko ketika memberikan motivasi kepada karyawan kami dalam training Coaching and Conseling (C&C). Kisahnya begini. Beberapa tahun lalu, profesor-profesor di Amerika Serikat berkumpul. Mereka mengeluhkan, mengapa pada generasi sekarang tidak muncul ilmuwan-ilmuwan atau tokoh hebat sekaliber Einstein, Newton, Kennedy, dan sebagainya. Lalu mereka berdiskusi mengenai penyebab apa yang merupakan memunduran bangsa Amerika saat ini dibanding sebelumnya. Akhirnya dari diskusi tersebut keluar satu kesimpulan bahwa mereka harus membenahi dunia pendidikan dasar. Menurut mereka para pendidik sekarang ini kurang perhatian terhadap muridnya. Mereka mengajar hanya sekedar tuntutan profesi saja, bukan menyiapkan sebuah generasi. Untuk membuktikan hal itu maka pergilah profesor-profesor tersebut mengunjungi satu sekolah dan mereka melakukan survei di sana.
Murid-murid sekolah itu diminta menjawab soal dan hasilnya diteliti. Dari hasil tes tersebut seorang profesor paling senior mendatangi sang guru. Terjadilah dialog seperti ini:
“Saya mau bertanya kepada Ibu tentang dua anak ini. Dari 40 siswa di kelas kenapa dua anak ini bisa ranking 39 dan 40?”
“Iya Prof, mereka anak yang bandel. Suka bolos dan bodoh. Pantas saja mereka ranking paling akhir.”
“Wah, Ibu salah,” kata Sang Profesor. “Dari hasil tes kami, dua anak ini terbukti sangat cerdas. Mereka calon ilmuwan besar. Mungkin suatu ketika mereka akan dapat hadiah nobel.”
“Coba deh ibu perhatikan dua anak ini,” lanjut Sang Profesor, “Kami akan datang setahun lagi untuk melihat hasilnya.”
Selepas tim profesor itu pergi maka sang guru mulai memperhatikan dua anak yang selama ini dinilainya bandel dan jarang diperhatikan. Pandangannya terhadap kedua anak ini sekarang berbeda, pandangan terhadap calon ilmuwan. Ketika mereka tidak masuk, ia langsung menelpon atau mengunjungi rumahnya. Ketika hasil ulangan jelek, sang ibu guru dengan penuh ketekunan mengajari kembali dua anak tersebut sehingga mereka mengerti. Dan akhirnya sesuai janji, tahun berikutnya profesor-profesor tersebut datang lagi ke sekolah itu.
“Bagaimana hasilnya, Bu?” tanya professor yang paling senior itu.
“Betul Prof. Seperti Prof bilang, kedua anak ini termasuk anak yang cerdas. Dari tahun lalu mereka ranking 39 dan 40, sekarang menjadi rangking 3 dan 4. Bagaimanya kalian bisa tahu anak ini cerdas?” tanya sang ibu guru.
Profesor tersebut menjawab, “Sebetulnya kami tidak melakukan apa-apa dalam tes tersebut,” sambil menyerahkan kertas kosong sebagai bukti tidak ada tes sebenarnya. “Kami hanya ingin tahu, kalau seorang guru tekun mendidik dan percaya bahwa anak didiknya akan menjadi orang besar, maka mereka pun akan bisa. Dan inilah hasilnya.”
Rupanya ketekunan dan kepercayaan itu kata kuncinya. Anak-anak itu tetap sama. Itulah yang terjadi ketika Master Shifu akan mendidik Panda menjadi jagoan Pendekar Naga dalam film animasi box office terkenal The Kungfu Panda. Ketika sang mahaguru Master Oogway memilih Panda sebagai Pendekar Naga (the Dragon Warrior) yang bakal menandingi penjahat Tai Lung, semua meragukan termasuk calon gurunya Master Shifu. Master Oogway hanya mengatakan, “There are no accident. You must believe…” lalu beliau pergi diikuti hembusan angin. Bagi Master Shifa ia hanya perlu percaya bahwa Panda adalah seorang Dragon Warrior.
Kita tidak mungkin berhasil mendidik dan mengembangkan anak didik kita sebelum mempercayai kemampuan yang dimiliki oleh anak tersebut, dan -tentu saja kita percaya kemampuan kita mendidik anak tersebut. Cara master Shifu melatih Panda menjadi seorang Dragon Warrior sangat menarik. Bagaimana mungkin, dengan badan yang begitu besar Panda menjadi seorang jagoan kungfu. Master Shifu menemukan kegemaran Panda yang doyan makan bakpao menjadi “titik masuk” untuk melatih kungfu. Dengan kegigihan Panda berlatih sesuai dengan keinginannya, ditambah dengan kepercayaan luar biasa Master Shifu atas kemampuan Panda, jadilah Panda seorang jagoan kungfu yang akhirnya berhasil mengalahkan Tai Lung.
Setiap anak didik mempunyai keunikan tersendiri. Mereka mempunyai kelebihan masing-masing. Tuhan Maha Adil. Pasti pada diri manusia ada kelebihan masing-masing. Kalau seorang anak tidak pandai, pasti dia punya kelebihan yang lain. Jangan kemudian ia dicap bodoh lalu ditinggalkan tidak mau kita mendidiknya. Tugas seorang guru adalah membantu menemukan, mengembangkan dan memotivasi sang anak agar tercapai cita-citanya. Kita bisa berkaca pada pengalaman tokoh-tokoh besar. Pada dasarnya mereka mempunyai seorang mentor yang membantu mewujudkan impiannya. Mike Tyson, anak jalanan bisa menjadi petinju hebat karena ada seorang Cus D’Amato yang memperhatikan bakatnya. Seorang guru pun dalam mendidik muridnya harus seperti itu, penuh percaya diri, memberi motivasi dan mengajarkan ilmunya.
Jika kita mendidik anak-anak kita (juga murid-murid kita) dengan berkeyakinan suatu ketika mereka akan menjadi orang besar, pasti mendidiknya pun akan berbeda. Jika kita mengajar tahfiz kepada seorang murid, seakan-akan kita baru pulang time travel 10 atau 20 tahun di masa depan anak ini menjadi imam Masjidil Haram menggantikan Imam Sudaisy, tentu pengajaran kita terhadapnya saat ini akan berbeda. Kita tengah menyiapkan seseorang menjadi imam masjidil haram. Kalau kita mengajar anak pelajaran Fisika seakan kita baru pulang dari masa depan menghadiri ceremoni penghargaan Nobel di Old Royal Academy of Music di Stockholm, Swedia pada tanggal 10 Desember, entah tahun berapa, dan anak didik kita itu sedang menerima hadiah Nobel di bidang Fisika, tentu kita mengajarnya akan berbeda ketika belum yakin. Yang diperlukan “hanya” keyakinan sebagaimana Palgunadi, Pygmalion, atau guru sekolah dalam cerita di atas. “You must believe!” kata Master Oogway kepada Master Shifu yang akan mengajar Panda. Tapi meskipun “hanya” tentu tidak mudah menjalankannya.
Terakhir, tidak ada kata kebetulan. Yang ada hanyalah kesungguhan murid yang dibimbing sang guru sebagai mentornya. Kitalah guru itu dan anak-anak kita adalah calon Dragon Warrior sesuai takdirnya. Seperti kata master Oogway, “There are no accident….”
Dr.Ir Budi Handrianto
(Konsultan, trainer dan advisor yang mempunyai spesialisasi di bidang Human Capital dan Spirituality. Selain itu ia adalah seorang dosen dan peneliti. Ia berpengalaman memimpin departemen dan divisi pengembangan sumber daya manusia selama 20 tahun di perusahaan besar skala nasional.)
Link Asli: https://www.budihandrianto.com/you-must-believe/