Mewaspadai Modus Pemurtadan

by
Adian Husaini sedang mempresentasikan makalahnya. Foto: Zuhdi

Pemurtadan merupakan sikap beragama seseorang yang dalam Islam memiliki konsekuensi yang sangat besar, di samping bisa merusak maksud mengapa agama itu harus ada, juga bagaimana agama itu harus dijaga (hifzhu din) sesuai dengan maksud dan tujuan Syariah itu sendiri. Para ulama menyebut dengan Maqashid Syariah.

Wartapilihan.com, Jakarta — Kegiatan pemurtadan yang dilakukan sejumlah orang terhadap penyintas bencana gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) membuka tabir bahwa misionaris kerap melancarkan aksinya, meski hal tersebut dilarang di dalam surat keputusan bersama (SKB) 2 Menteri.

Wakil Ketua Komisi Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia (KDK-MUI) Ustaz Abu Deedat Syihabuddin, menjelaskan dua prinsip yang dijadikan misionaris dalam melancarkan aksinya yaitu Injil Matius Pasal 28 ayat 19-20 dan Injil Markus Pasal 16 ayat 15.

“Islam dan Kristen sama-sama agama misi. Jika di Islam disebut dengan dakwah. Namun, semuanya ada role (aturan) agar tidak konflik di lapangan. Karena itu, pemerintah menerbitkan SKB dua menteri,” ujar Abu Deedat di Gedung MUI, Jakarta, Senin (19/11).

Peneliti Forum Anti Kemurtadan (Fakta) ini menerangkan berbagai modus operandi dalam memurtadkan umat Islam. Diantaranya jalinan pertemanan yang lebih khusus, perbuatan maksiat yang menimpa generasi muda, sosialisasi kawin campur agama, pengaburan kebenaran Islam, layanan kemanusiaan, edukasi, dan skill secara cuma-cuma.

“Kini, modusnya seolah olah mereka mensosialisasikan program-program pemerintah, nyatanya bukan. Seperti pernikahan massal di Bekasi tempo lalu, kemudian pencananangan gerakan Bekasi anti narkoba dimana seolah-olah itu program BNK (Badan Narkotika Kota),” katanya.

“Yang terbaru mereka mengadakan kegiatan akbar di Monas bertema Bangkitlah Indonesia, seolah-olah bekerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta, padahal tidak,” imbuhnya.

Dalam kesempatan sama, Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas mengatakan, upaya MUI mengingatkan misionaris dan penginjil untuk tidak terus melalukan aksinya adalah demi keutuhan NKRI. Menurut dia, jika kristenisasi terus dilakukan, tak menutup kemungkinan perpecahan dan disintegrasi bangsa akan terjadi.

“Seperti kota Solo angka mereka sudah lebih dari tiga persen. Di Kalimantan Tengah sudah 27 persen. Kristen adalah agama misi dan mereka diperintahkan untuk menyebarkan misi. Karena itu, kalau tidak ada regulasi yang mengatur, maka di lapangan akan bertabrakan,” ujar dia.

Sementara, peneliti INSIST Ustaz Adian Husaini mengatakan upaya misionaris melakukan pemurtadan salah satunya dengan asimilasi (percampuran) budaya. Adian menjelaskan, selama ratusan tahun bangsa Indonesia dijajah dan dikuasai aspek ekonomi, politik serta militernya, namun tak ada gerakan pemurtadan.

“Kristenisasi baru terjadi tahun 1904 oleh Van Lith di Jawa dan saat itu 171 orang secara massal masuk Kristen (Katolik),” ujarnya.

Menurut Adian, strategi melawan kristenisasi sangat mudah diatasi. Baik secara praktis di lapangan maupun diskusi ilmiah tentang teologi. Karena itu, kata dia, gerakan dakwah yang dilakukan MUI harus praktis dan berbasis riset data.

“Dulu Pak Natsir (Mohammad Natsir) mengirimkan da’i lulusan Tsanawiyah-Aliyah ke daerah transmigrasi dan terpencil setelah melalui pengkaderan 40 hari di Darul Falah. Tidak terbayang bagaimana Pak Natsir dapat melakukan demikian dan alhamdulilah daerah-daerah yang terdapat da’i, tumbuh sangat baik,” katanya.

“Maka, KDK MUI dapat menjadi lembaga koordinasi yang menghubungkan gerakan Ormas Islam yang konsern dalam menangkal dan menanggulangi pemurtadan,” tandasnya.

Adi Prawira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *