TELAAH TERHADAP RUU PESANTREN dan PENDIDIKAN KEAGAMAAN

by

Oleh: Dr. Adian Husaini

(Pendiri Pesantren at-Taqwa Depok)

Model ideal

Pada bulan November 1928, di Majalah Wasita, Jilid I No.2,  terbit artikel Ki Hajar Dewantara berjudul “Sistem Pondok dan Asrama Itulah Sistem Nasional”. Menurut Ki Hajar hakikat pesantren adalah terjadinya proses interaksi intensif antara kyai dan santri, sehingga terjadi proses pengajaran dan pendidikan.

“Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau jaman kabudan dinamakan “pawiyatan” atau “asrama”. Ada pun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumah kyai guru (Ki Hajar), yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat rumah pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri selalu berhubungan dengan pendidikan,” demikian kata Ki Hajar Dewantara (Lihat, buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (I, Pendidikan), Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 2013, cetakan kelima, hlm. 370-371).

Dalam berbagai tulisannya, Ki Hajar Dewantara memang menekankan inti sari pendidikan sebagai proses penanaman adab dan kesusilaan. Ia mengecam keras pendidikan model Barat yang hanya menekankan pada aspek intelektualitas. Kata Ki Hajar, “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.”  (Ibid, hlm. 482).

Sedangkan “Pengajaran adab”, menurut Ki Hajar Dewantara, bermaksud memberi macam-macam pengajaran, agar sewutuhnya jiwa anak terdidik, bersama-sama dengan pendidikan jasmaninya. (Ibid, hlm, 467). Karena itu, hakikat “pendidikan” adalah: “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” (Ibid, hlm. 20).

Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara, intisari pendidikan adalah penanaman adab untuk membentuk manusia yang berpribadi dan beradab, dan pondok pesantren merupakan sistem ideal yang dapat mewujudkan tujuan pendidikan tersebut. Karena itu, sangatlah wajar jika pondok pesantren mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.  Ki Hajar mengkritisi sistem pendidikan Eropa yang sangat mengabaikan kecerdasan budi pekerti, hingga menimbulkan penyakit “intelektualisme”, yakni mendewa-dewakan angan-angan.

Kata Ki Hajar Dewantara: “Semangat mendewa-dewakan angan-angan itu menimbulkan “kemurkaan diri” dan “kemurkaan benda”; kemurkaan diri dan kemurkaan benda, atau “individualisme” dan “materialisme” itulah yang menyebabkan hancurnya ketenteraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat.” (Ibid, hlm. 149).

Pentingnya penanaman adab dan akhlak dalam proses pendidikan inilah yang juga telah ditekankan para ulama dan tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia. KH Hasyim Asy’ari menjelaskan lebih mendalam dan sistematis masalah ini dalam kitabnya,  Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim.  Meskipun tidak menulis kitab khusus tentang adab,  pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, misalnya, dikenal memiliki adab yang tinggi dalam mendidik para muridnya. Selain memberikan teladan, beliau juga tak henti-hentinya memberikan motivasi dan inspirasi dalam perjuangan. Sampai-sampai Bung Karno mengakui,  ketika berusia 15 tahun, beliau sudah ”menginthil Kyai Dahlan”.

Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan pun, sangat menekankan adab guru-murid dalam pendidikannya. Ia menulis buku berjudul ”Kesopanan Tinggi”, dan juga diktat berjudul ”Hai Poetrakoe!” (tahun 1946). Raja Ali Haji menggubah pentingnya masalah adab dan akhlak ini dalam Gurindam 12. Dan sebagainya.

Dalam kitab Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan rumus: ”Siapa yang tidak mempunyai adab, sejatinya ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid.”   (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H).        

Dari judul Kitab Ādabul Ālim wal-Muta’allim, bisa dipahami, bahwa penerapan adab harus dimulai dari dunia pendidikan. Guru harus beradab; murid pun demikian! Sebab, itulah pondasi pembangunan manusia mulia dan juga asas untuk membangun bangsa dan peradaban mulia.

Karena itu, sebagaimana digariskan oleh Ki Hajar Dewantara, pesantren adalah lembaga pendidikan ideal untuk mewujudkan Tujuan Utama Pendidikan Nasional, membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia (Pasal 31, ayat c, UUD 1945). Maka, sangat logis dan sudah sepatutnya,  jika pemerintah mengutamakan pendidikan model pesantren dan menjadikan pesantren sebagai “model ideal” pendidikan nasional.

Tetapi, yang perlu dicatat, pesantren adalah lembaga pendidikan yang harus menjalankan proses pendidikan dengan benar; disamping untuk menanamkan adab juga mendalami ilmu-ilmu alama (tafaqquh fid-din), sesuai dengan tujuan dibentuknya pesantren. Karena itu, hakikat pesantren terletak pada “proses pendidikan”-nya; bukan pada “keberadaan” guru, santri, masjid/mushalla, dan sarana-prasarananya.

Dengan demikian, RUU Pesantren pasal (5) tentang syarat-syarat keberadaan pesantren perlu ditambahkan poin (1) adanya proses penanaman adab atau akhlak mulia dan (2) pendalaman ulumuddin atau ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid-din) dan ilmu-ilmu lain yang diperlukan untuk membentuk manusia yang baik.

 

Merdeka dan Mandiri

Berdasarkan data Kementerian Agama, pada tahun 2016 terdapat 28.194 (dua puluh delapan ribu seratus Sembilan puluh empat)  pesantren di Indonesia dengan santri sebanyak  4.290.626 orang (empat juta dua ratus Sembilan puluh ribu enam ratus dua puluh enam). Semuanya berstatus swasta.

Itu data yang tercatat di Kemenag. Tentunya, masih banyak pesantren yang belum tercatat atau mencatatkan diri. Data itu menunjukkan bahwa pesantren adalah lembaga swadaya masyarakat yang mandiri dan merdeka. Eksistensi dan hakikat pesantren ini harus dijaga, dan pemerintah sebaiknya tidak memaksakan satu standar baru yang akan menyulitkan dan mengurangi kemandirian pesantren, dengan syarat-syarat legal-formal tertentu seperti yang tercantum dalam RUU Pesantren pasal (12).

Misalnya, jika ada seorang kyai atau ulama yang membuka majelis ilmu di rumahnya, dengan sejumlah santri yang mukim, yang sifatnya sukarela, maka itu tidak perlu dilarang untuk menggunakan nama ‘PESANTREN’ dan tidak harus berbadan hukum serta tidak wajib mendaftarkan ke kantor Kemenag. Cukuplah pesantren itu memberitahukan ke RT/RW setempat dan bisa diterima oleh masyarakat sekitarnya.

Akan tetapi, perlu dicatat, untuk ketertiban dan pengembangan secara nasional, maka pesantren yang akan mendapatkan pelayanan dan bantuan dari pemerintah adalah pesantren yang memiliki ijin operasional dari kantor Kemenag.

Demikian juga dengan syarat-syarat menjadi Kyai Pesantren, pemerintah tidak perlu memberikan batasan formal tertentu, seperti harus lulusan pesantren atau Perguruan Tinggi Agama Islam (RUU Pesantren, pasal 6). Bisa jadi seorang memiliki penguasaan ulumuddin yang mumpuni dan akhlak mulia, karena proses mulazamah (belajar dan bergaul secara intensif) dengan sejumlah ulama secara individual, bukan karena proses belajar di suatu lembaga pendidikan tertentu. Dalam aspek ini, biarlah para wali santri, para santri, dan masyarakat yang akan menilai kelayakan otoritas keilmuan dan akhlak seorang Kyai. Sebab, gelar ‘Kyai’ juga merupakan gelar kepercayaan masyarakat.

Niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas pesantren perlu tetap menjaga aspek kemandirian dan kemerdekaan pesantren. Sebab, atasan seorang Kyai adalah “Allah”. Tugas pemerintah adalah menjalankan amanah agar pendidikan pesantren dapat berjalan sebaik-baiknya dalam membentuk manusia-manusia mulia yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsanya.

Karena itu, misalnya, tidaklah perlu pemerintah mewajibkan syarat-syarat asrama pesantren yang harus memperhatikan aspek kenyamanan, kebersihan, keamanan, kesehatan, dan kemajuan (RUU Pesantren, pasal 8). Hal itu tidak perlu diatur dalam suatu UU, karena pesantren pun sudah maklum bahwa hal itu sesuatu yang baik.

Akan tetapi, bisa jadi karena keterbatasan dana, lahan, dan sebagainya, aspek kenyamanan belum bisa terpenuhi. Pengalaman saya sebagai santri selama bertahun-tahun, tidak masalah, harus tidur beramai-ramai di masjid, tanpa alas, tanpa bantal, karena asrama memang tidak cukup. Dan itu sama sekali tidak menghalangi proses pendidikan di pesantren.

Contoh lain yang tidak perlu menjadi syarat pesantren adalah adanya masjid/mushalla (RUU Pesantren pasal 5 dan 9). Bisa jadi, pesantren itu ada di lingkungan masyarakat yang sudah memiliki masjid/mushalla, sehingga para santri bisa bergabung dengan masyarakat dalam menjalankan shalat lima waktu dan shalat Jumat. Bisa jadi juga, karena keterbatasan, aktivitas shalat jamaah dan pengajian dilakukan di suatu tempat (hall, kelas, rumah kyai, dan sebagainya). Akan tetapi, setiap pesantren insyaAllah sangat memahami pentingnya keberadaan mushalla atau masjid.

Begitu juga pengaturan dalam pasal 10 RUU Pesantren tentang cara pengajaran kitab kuning atau dirasah Islamiyah, yang harus dilakukan secara sistematis, terintegrasi, dan komprehensif serta memadukan ilmu agama Islam dan ilmu umum. Pangaturan ini bisa membelenggu pesantren. Sebab, bisa saja, suatu pesantren itu hanya mengajarkan satu Kitab tertentu. Misalnya, Pesantren Ihya’ Ulumuddin, yang hanya mengajarkan satu Kitab selama beberapa tahun, karena santri-santrinya memang sudah memiliki keilmuan Islam yang memadai. Pesantren seperti ini sah-sah saja keberadaannya. Begitu juga dengan Pesantren Wirausaha, Pesantren Multimedia, Pesantren Tahfidz, Pesantren Pertanian, dan sejenisnya.

 

Lulusan dan Ijazah

Jika telah memenuhi persyaratan sebagai lembaga pendidikan ideal, dan telah mendapatkan ijin operasional dari Kemenag, Pesantren harusnya diakui sebagai satu bentuk lembaga pendidikan sebagaimana sekolah atau perguruan tinggi umum. Pemerintah berkewajiban melindungi eksistensi Pesantren dengan seluruh ciri kekhususannya, sehingga Pesantren tidak harus mengikuti standar-standar pendidikan sebagaimana yang ditentukan pada lembaga pendidikan formal.

Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menetapkan Standar Kompetensi Lulusan secara ketat, jika lulusan pesantren hendak memperoleh Ijazah jenjang pendidikan tertentu, sebagaimana selama ini telah dilakukan dengan sistem Ujian Persamaan (Paket A, B, dan C). Ini bisa juga dibandingkan dengan sistem Ujian “O-Level dan A-Level” pada Kurikulum Cambridge.

Sejalan dengan era disrupsi atau revolusi industri 4.0 saat ini, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menekankan pada aspek pembentukan kepribadian atau penanaman adab dan akhlak mulia, sangat diperlukan.  Karena itu, mengacu pada Permendikbud No 20 tahun 2016, tentang Standar Kompetensi Lulusan, maka Pesantren seharusnya diberikan hak mengeluarkan ijazah dengan ketentuan pada aspek (1) Sikap (2) Pengetahuan (3) Ketrampilan.

Tujuan utama pendidikan adalah bagaimana target-target kompetensi pendidikan dapat tercapai. Karena itu yang harus lebih diperhatikan adalah: apa yang telah dikuasai oleh  seorang santri/pelajar, bukan apa yang telah dipelajarinya. Selama ini di berbagai pesantren, telah diberlakukan sistem belajar mandiri, dimana seorang santri dipersilakan menyelesaikan pelajaran atau hafalannya sesuai dengan kemampuannya. Santri-santri cerdas dan rajin akan dapat menyelesaikan pelajarannya lebih cepat. Ijazah diberikan oleh Kyai kepada seorang santri yang telah dianggap menguasai pelajaran tertentu dan diberikan ijin untuk mengajarkannya.

Sistem ijazah seperti ini lebih menjamin kualitas lulusan dan pendidikan. Karena itu yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menetapkan berbagai kebijakan penghargaan, bukan berdasar atas ijazah dan gelar akademik, tetapi pada kualitas keilmuan dan ketrampilan manusianya. Di masa lalu, tidak sedikit Kyai yang enggan memberikan ijazah karena khawatir disalahgunakan untuk mencari keuntungan duniawi.

Sejalan dengan proses “industrialisasi pendidikan”, banyak pesantren terpaksa mengikuti sistem dan kurikulum pendidikan formal, demi mengejar pengajuan ijazah formal, sehingga berdampak pada kualitas pendidikan pesantren yang menekankan kepada keikhlasan dan kedalaman ilmu-ilmu agama (ulumuddin).  Padahal, dalam kitab-kitab adab ilmu yang dikaji di pesantren-pesantren, aspek keikhlasan dalam mencari ilmu ini sangat ditekankan. Belajar untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Bukan belajar untuk mencari keuntungan duniawi.

Imam al-Ghazali, dalam Kitab Bidayatul Hidayah, memperingatkan, jika seorang mencari ilmu agar mampu bersaing, membanggakan diri, mengungguli teman-temannya, menarik perhatian manusia dan untuk mengumpulkan harta benda dunia, sesungguhnya ia sedang bergerak untuk meruntuhkan agamanya, membinasakan dirinya, dan menjual akhiratnya dengan dunia. (Lebih jauh:  فاعلم ايهاالحريص المقبل في اقتباس العلم المظهر من نفسه صدق الرغبة وفرط التعطش إليه ,أنك إن كنت تقصد بالعلم المنافسة والمباهات والتقدم على الأقران واستمالة وجوه الناس إليك وجمع حطام الدنيا, فأنت ساع في هدم دينك وإهلاك نفسك وبيع أخرتك بدنياك. فصفقتك خاسرة وتجارتك بائرة, ومعلمك معين لك على عصيانك وشريك لك في خسرانك وهو كبائع سيف من قاطع طريق).

 

Pemberian kepercayaan kepada guru atau Pesantren untuk menentukan kelulusan siswa atau santri secara berangsur-angsur insyaAllah akan mendidik guru atau pesantren menjadi semakin dewasa dan semakin bertanggung jawab. Sebab, jika mereka semena-mena dan tidak memperhatikan kualitas kelulusan siswa atau santrinya, maka kepercayaan masyarakat pun, semakin lama akan semakin berkurang.

Dalam hal ini, pemerintah bisa melakukan monitoring dan memberikan nasehat serta bantuan finansial atau bantuan lain yang diperlukan agar kualitas pendidikan pesantren semakin meningkat. Pesantren harus didorong untuk semakin mandiri dalam menjalankan proses pendidikannya dan tidak tergantung kepada bantuan pemerintah.

Pada jenjang pendidikan tinggi, Pesantren pun bisa diakui sebagai satu entitas Pendidikan Tinggi jika terbukti mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang unggul dalam penguasaan ulumuddin tertentu. Pesantren bisa mengeluarkan ijazah tentang kualitas adab atau akhlak santri. Sementara untuk diakui sebagai sarjana bidang ulumuddin tertentu (misalnya: Sarjana Tafsir al-Quran, sarjana ilmu Hadits, Sarjana Syariah, sarjana Ekonomi Islam, sarjana Pendidikan Sejarah, dan sebagainya), santri cukup mengikuti Ujian Kompetensi Lulusan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan mempertahankan Skripsinya di hadapan Tim Penguji.

Sementara itu, untuk urusan proses pendidikan,  dipercayakan kepada Pesantren, sebab Pesantren memiliki kesempatan luas selama 24 jam untuk mendidik para santrinya. Seorang Kyai yang mumpuni, bisa mengajar berbagai bidang ilmu, kepada puluhan bahkan ratusan santri. Tidak perlu terlalu banyak guru yang mengajar untuk mendidik seorang murid atau santri dalam menguasai bidang keilmuan atau profesi tertentu.

Yang perlu lebih diperhatikan adalah kualitas lulusannya, bukan kuantitas guru, rasio guru-murid, atau proses pendidikan formalnya. Tetapi, pesantren perlu memahami, bahwa semakin banyak santri, semakin berat pula proses pendidikan yang harus dijalankan untuk mencapai terbentuknya lulusan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Karena itu, pesantren harus memahami benar hakikat pendidikan, dan bukan memperbanyak jumlah santri tanpa mampu mendidik dengan baik.

Jadi, sudah sewajarnya jika proses pendidikan di Pesantren diberikan kebebasan dan kemandirian, tanpa harus mengacu kepada standar proses pendidikan nasional yang berlaku untuk lembaga pendidikan formal. Dengan demikian, ketentuan pasal 13 ayat (7) RUU Pesantren, perlu dirumuskan kembali, agar lebih memberikan kepercayaan, kemerdekaan, dan kemandirian kepada Pesantren untuk menjalankan sistem pendidikannya.

Begitu pula, pada jenjang pendidikan tinggi, untuk meraih gelar Sarjana Strata 1, para santri yang lulus jenjang SMA di pesantren, sepatutnya tidak perlu mengikuti proses kuliah secara lagi di suatu Pendidikan Tinggi formal. Yang penting ada jaminan dari pesantrennya bahwa santri tersebut telah menguasai berbagai bidang keilmuan dan dibuktikan dengan kelulusannya dalam Ujian Kompetensi Lulusan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Saat ini, sistem pendidikan tinggi telah diberikan kewenangan untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada banyak orang, tanpa melalui ujian kompetensi keilmuan dan ujian disertasi doktoral. Maka, sebenarnya sangat mudah, praktis, dan murah, jika para santri yang unggul juga diberikan kesempatan meraih gelar sarjana, tanpa proses pendidikan formal di Perguruan Tinggi tertentu. Yang penting, si santri telah menjalani proses pendidikan di suatu Pesantren dan dijamin oleh pesantrennya telah memiliki akhlak yang baik, menguasai bidang keilmuan tertentu, dan memiliki karya ilmiah (skripsi) yang berkualitas.

 

Penutup

Jadi, mengacu kepada dasar pemikiran dan praktik pendidikan Ki Hajar Dewantara dan para tokoh pendidikan nasional lainnya, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Imam Zarkasyi, dan sebagainya, maka telah diakui, bahwa sistem pendidikan Pesantren adalah model ideal pendidikan nasional. Model pendidikan inilah yang diyakini mampu – dengan izin Allah SWT – mengantarkan umat Islam dan bangsa Indonesia meraih kejayaannya di masa depan.

Pesantren bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Yang lebih penting adalah penanaman adab dan akhlak mulia, serta pendalaman ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang diperlukan bagi peserta didik, agar bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya.

Jika diakui sebagai model ideal, sepatutnya, sistem pendidikan pesantren-lah yang dijadikan acuan dalam penilaian kualitas pendidikan; bukan sebaliknya, pesantren justru dipaksa tunduk kepada model pendidikan yang lebih mengedepankan aspek formalitas dan intelektualitas, dibandingkan pembentukan kepribadian atau penanaman adab dan akhlak mulia.

Perspektif dan semangat inilah yang tampaknya ingin diterapkan dalam penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.  Tentu saja ini sebuah niat yang mulia, yang sangat patut diapresiasi. Tulisan ini hanya menelaah bagian tentang Pesantren dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang sampai ke tangan saya.

Jika memungkinkan – kembali kepada para ahli hukum dan pihak yang berwenang – saya mengusulkan RUU Pesantren ini dibuat terpisah dengan RUU Pendidikan Keagamaan. Sebab RUU Pesantren hanya mencakup lembaga pendidikan di kalangan umat Islam. Sedangkan RUU Pendidikan Keagamaan mencakup lembaga pendidikan berbagai agama di Indonesia.

Kita berdoa, semoga semua pihak yang berniat baik dan berjuang sungguh-sungguh untuk kebaikan Pesantren dan Pendidikan di Indonesia pada umumnya, dicatat sebagai amal shalih dan mendapatkan limpahan rahmat dan ridha dari Allah SWT.  Amin. (Depok, 21 November 2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *