VIRUS CUKAI DAN CORONA

by

Apa beda dan persamaan Corona dan Cukai? Bedanya Corona menghabiskan uang negara, cukai meningkatkan pendapatan negara. Persamaannya, sama-sama menghambat pengembangan industri terutama industri minuman ringan dan air minum (dalam kemasan).

Wartapilihan.com, Jakarta– Tadi pagi sampai siang (Selasa, 10 Maret 2020), saya berkesempatan mengikuti Focus Group Discusion (FGD) yang membahas isu-isu strategis industri agro, khususnya industri minuman ringan dan air minum dalam kemasan (AMDK). Ada banyak “curhatan” isu yang disampaikan oleh pelaku usaha, yang menghambat perkembangan industri mereka. Ada banyak isu, namun yang hangat adalah isu cukai sampah plastik dan minuman berpemanis, dan dampak virus Corona bagi pertumbuhan industri, disamping isu-isu kecil, seperti sertifikasi halal dan pelarangan truk ODOL (over dimension over loading) melewati jalan-jalan tertentu.

Keseluruhan isu di atas menarik. Namun kita akan lebih fokus pada isu yang sedang menjadi pemberitaan saat ini. Khusus untuk isu halal,  industri “happy” dengan diperpanjangnya peran MUI bersama LPPOM MUI dalam sertifikasi halal (sampai 2021?). Namun mereka masih khawatir dengan kelanjutan sertifikasi produk-produk mereka yang jatuh tempo pada tahun ini dan tahun depan serta tidak diakuinya  sertifikat halal dari negara yang tidak punya lembaga sertifikasi halal, namun disertifikasi oleh lembaga halal negara yang berdekatan (Cross Country Halal Certification).

Isu Halal dan ODOL menarik untuk dibahas, tapi bukan itu isu utama yang menjadi fokus diskusi (FGD). Isu utamanya adalah keinginan negara untuk menerapkan cukai untuk minuman berpemanis (sukrosa) dan cukai untuk sampah plastik. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada tanggal 19 Februari 2020 dalam rapat dengan Komisi XI. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan proposal untuk menambah obyek cukai, salah satunya Cukai Minuman Berpemanis. Cukai tersebut akan mengcover Minuman Siap Saji, Konsentrat dan juga Minuman Bubuk. Kementerian Keuangan memperkirakan akan berpotensi mendapat tambahan pendapatan cukai sebesar Rp. 6,25 Trilyun per tahun dari Cukai Minuman Berpemanis. Sebelumnya sudah cukup lama beredar pula isu pelarangan sampah plastik dengan mengenakan cukai pada produk yang dikemas menggunakan plastik. Pemerintah berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sekitar Rp. 1,9 trilyun. Salah satu dari dua cukai tersebut menurut info hampir pasti akan diberlakukan.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh pemerintah, semuanya berdasarkan sumber hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai yang dijadikan dasar oleh Pemerintah dalam wacana perluasan cukai. Pasal 2 (1) menyebutkan: Undang-Undang Cukai menyatakan barang yang dikenai cukai adalah barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik : konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif  bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Dan juga yang mengemuka, di antara negara-negara ASEAN, Indonesia paling sedikit mengenakan cukai ( 3 item) dari 11 cukai yang dikenakan oleh negara-negara ASEAN (yang tertinggi Kamboja dengan 11 item).

Namun alasan diatas ditepis oleh kalangan industri. Menurut Asosiasi Minuman Ringan (ASRIM, 2020) jika alasan pemerintah adalah untuk menjaga kesehatan (diabetes dan obesitas), namun faktanya minuman siap saji berpemanis hanya berkontribusi 6,5% dari total konsumsi kalori masyarakat indonesia. Sehingga tidak tepat kalau produk minuman dianggap sebagai penyebab diabetes dan obesitas. Apalagi penerapan cukai sebagaimana usulan Kemenkeu berpotensi menaikkan harga produk sebesar 30%-40% dari harga saat ini. Padahal mayoritas konsumen produk minuman ringan adalah konsumen kelas menengah bawah yang sangat sensitif atas perubahan harga. Dengan potensi kenaikan harga sebesar 30%-40% maka penjualan industri minuman akan turun secara signifikan. Dampak dari penurunan penjualan adalah potensi kontraksi industri, sehingga dapat mengancam penyerapan tenaga kerja dan juga iklim investasi. Ini menjadikan peningkatan jumlah pengangguran dan berkurangnya minat investasi di Indonesia. Distribusi produk minuman siap saji, mayoritas (60% – 70%) dilakukan oleh pedagang tradisional (warungdan toko-toko kecil). Preferensi konsumen untuk minuman ringan berpemanis ini, masyarakat Indonesia masih menginginkan minuman hangat (Roy Morgan 2010). Kemudian mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi Air Minum (97%) sedang yang mengonsumsi minuman cair kemasan hanya sekitar 10% (Studi Diet Total, Survey Konsumsi Makanan Individu 2014 – Kemenkes).

Hampir sama dengan minuman ringan berpemanis, industri air minum dalam kemasan juga menolak cukai, namun mendukung upaya pemerintah untuk mengurangi sampah plastik. Industri mamin sebagai pemakai terbesar konsumsi plastik untuk kemasan di Indonesia memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap PDB sektor non migas yaitu sekitar 7.91%. Kontribusi industri non migas terhadap PDB pada tahun 2018 adalah sekitar 19.86% (Kemenperin dan BPS). Dengan demikian dari sektor mamin saja memiliki kontribusi terhadap PDB sekitar Rp 1.875.772 Milyar. Pelarangan produk botol plastik dan pelarangan kemasan plastik akan berdampak terhadap produksi yang akhirnya mengganggu kelangsungan perusahaan. Padahal permasalahan utama sampah adalah manajemen “persampahan” oleh pemerintah beserta mindset sebagian masyarakat Indonesia yang masih suka membuang sampah sembarangan. Pengenaan cukai sampah plastik hampir dipastikan tidak akan terlesaikan selagi manajemen persampahan belum dibenahi dan perubahan mindset tidak buang sampah sembarang belum membudaya. Adapun dari sisi pendapatan, hitung-hitungan dengan penerapan cukai untuk produk berkemasan plastik dimana negara akan dapat pemasukan sekitar Rp. 1,9 trilyun, namun akan mengalami total lost dari multiplier effect  kenaikan biaya produksi industri berupa penurunan pendapatan pajak sebesar minus Rp. 2,4 trilyun, atau total lost sebesar Rp. 500 milyar setiap tahunnya.

Mungkin, alasan Pemerintah mengenakan cukai adalah untuk menambal defisit anggaran dengan cara cepat. Ibarat berburu di kandang ternak, tingkat kepastian penerimaan negara bisa terukur. Namun menggunakan alasan kesehatan dan lingkungan, yang secara akal sehat tidak akan menyelesaikan masalah. Ibarat mengobati dari hasil diagnosa yang salah. Kesimpulannya bisa salah obat. Hal ini membuat industri AMDK dan minuman ringan berteriak dengan kencang. Cukai atas suatu produk filosofi utamanya bukanlah dimaksudkan sebagai pendapatan negara (fungsi budgetair), melainkan sebagai upaya mengurangi konsumsi, seperti gula dan plastik dalam rangka meningkatkan taraf mutu kesehatan dan lingkungan masyarakat Indonesia. Terlebih jika kita membicarakan cukai yang sejatinya  dipungut untuk memengaruhi perilaku konsumsi atau penggunaan produk tertentu (Cnossen, 2005). Fungsi pendapatan negara merupakan sebuah konsekuensi logis atas adanya pungutan produk minuman berpemanis. Bukan analogi sebaliknya.

Isu lain yang menarik walaupun tidak menjadi topik yang dibicarakan dalam FGD di atas adalah dampak isu virus Corona bagi industri. Isu ini berdampak negatif untuk hampir seluruh industri. Proses Ekspor-Impor menjadi terkendala. Industri farmasi misalnya, terutama yang mengimpor bahan baku dari Cina, memperkirakan tidak akan kuat bertahan 1-6 bulan ke depan, karena sumber bahan bakunya impor dari Cina, yang sebagian besar berasal dari daerah Wuhan! Untuk industri makanan dan minuman yang paling terpukul adalah dari suplai  bahan baku dan bahan kemasan (plastik, polyester, nylon dan lain-lain). Bahkan ada beberapa bahan bakunya kita mengimpor hampir berasal 100 % dari Cina, karena harganya yang murah. Isu virus corona berdampak besar bagi industri kita, terutama yang bahan bakunya diimpor dari Cina. Prediksi Asosiasi dan pelaku industri, jika isu ini belum selesai dalam 2 bulan ke depan,  maka akan ada industri yang ambruk. Sangat penting bagi pemerintah untuk mengelola isu dengan baik. Di balik isu ini ada peluang dan kesempatan besar bagi industri pendukung untuk tampil. Industri yang bisa didukung pengembangannya oleh pemerintah adalah industri substitusi impor, baik bahan baku dan bahan penolong,  seperti yang disebutkan di atas. Sekian.(zfd)


Dr. Ir. Zulfiandri, MSi

Pemerhati Industri, Dosen Teknik Industri Universitas Esa Unggul, lulusan Program Doktor Teknologi Industri Pertanian- IPB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *