Terulang kembali. Program imunisasi Measless Rubella (MR) tahap pertama pada Agustus-September 2017, sempat memperoleh penolakan dari warga karena diragukan kehalalannya. Mengapa tak ada upaya untuk menyediakan vaksin halal?
Wartapilihan.com, Jakarta –Program imunisasi yang digelar pemerintah,– kali ini terkait dengan imunisasi Measless Rubella (MR),– diwarnai penolakan oleh masyarakat di sejumlah daerah. Selain takut terkena dampak negatif, penolakan juga diakibatkan oleh belum ada jaminan halal dari MUI atas vaksin MR yang diberikan. Dari Semarang, Jawa Tengah, seperti dilaporkan oleh Liputan6.com, target Kementerian Kesehatan untuk memvaksin 100 persen anak di Jawa Tengah, tidak berhasil. Sebab, ratusan orangtua menolak vaksinasi MR. Warga yang menolak berasal dari desa di tiga kabupaten, yakni Sukoharjo, Karanganyar, dan Temanggung.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, dr Yulianto Prabowo, memastikan, lebih dari 300 anak tidak akan menerima vaksin MR. Orangtua mereka menolak vaksinasi karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama. “Ada pemahaman dari tokoh agama yang menyatakan bahwa vaksin MR tidak boleh,” ujarnya. Dari Jogjakarta dan beberapa daerah lain juga diberitakan, terdapat penolakan dari sekolah di daerah tersebut.
Seperti diberitakan, pemerintah menggelar program imunisasi MR secara bertahap mulai Agustus hingga September 2017. Imunisasi dibagi ke dalam dua tahap. Imunisasi tahap pertama diberikan untuk anak usia 9 bulan hingga 15 tahun yang dimulai Agustus dan September 2017.
Periode pertama menyasar seluruh wilayah di Pulau Jawa sebanyak 3.579 Puskesmas di 119 kabupaten dan kota yang tersebar di enam provinsi Pulau Jawa. Setidaknya ada sekitar 34 juta anak yang mengikuti pendidikan formal di PAUD, TK, SD, hingga SMP. Sedangkan periode kedua akan dilakukan di seluruh provinsi di luar Pulau Jawa pada Agustus-September 2018, serta menuntaskan imunisasi MR di Jawa untuk anak di yayasan dan panti asuhan.
“Jika melihat besarnya penolakan dari masyarakat terhadap imunisasi tahap pertama, besar kemungkinan tahun depan program tersebut juga bakal tak berjalan mulus jika tak ada evaluasi dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal kehalalan vaksin yang digunakan,” kata Divisi Informasi Halal LPPOM MUI Farid kepada Wartapilihan.com, Kamis (19/10).
Penolakan terhadap program vaksinasi sebelumnya juga pernah terjadi terkait dengan vaksin meningitis bagi para calon jamaah haji dan umroh. Pemerintah mewajibkan bagi para calon jamaah haji maupun umroh untuk melakukan vaksinasi meningitis, namun di sisi lain, ketika itu belum ada vaksin meningitis yang dinyatakan halal.
Untuk mengatasi kebingungan masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2009, yang membolehkan digunakannya vaksin haram untuk sementara waktu, dengan sejumlah syarat. Pertama, digunakan hanya pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat, yaitu kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia.
“Sedangkan al-hajat ialah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang. Kedua, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci. Ketiga, adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal,” sambungnya.
Setahun kemudian, setelah melakukan pemeriksaan dan kajian panjang, melalui Fatwa MUI Nomor 06 Tahun 2010 dinyatakan bahwa vaksin meningitis yang diproduksi oleh Novartis dan vaksin sejenis yang diproduksi oleh Tianyuan Bio Pharmaceutical Co. Ltd., hukumnya halal. Dengan demikian, ketentuan dalam Fatwa MUI No.5 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa orang yang melaksanakan haji wajib atau umrah wajib boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena al-hajah, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Islam Sangat Peduli Kesehatan
Rektor Institut Imu al-Quran (IIQ), Prof. Dr. Hj. Khuzaemah T. Yango mengatakan, dalam masalah kesehatan MUI senantiasa mengikuti perkembangan zaman, mengingat kesehatan menjadi salah satu prinsip dalam agama Islam. Oleh karena itu, terkait dengan imunisasi pun, MUI pada tahun 2016 MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 04Tahun 2016, tentang Imunisasi, yang menegaskan bahwa: (1) Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu; (2) Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci; dan (3) Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram. “Jadi, hukumnya jelas,” tegas Khuzaemah.
Memang dalam fatwa tentang imunisasi itu ada klausul yang menyebutkan kebolehan menggunakan vaksin yang belum disertifikasi halal dalam kondisi lidh-dharurat atau lil-hajat. Sesuai dengan Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan, “Al-Hajatu tanzilu manzilatadh dhoruroh”.
Kondisi darurat, menurut Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (KF MUI): Prof.Dr.H. Hasanuddin AF, MA., dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa. Dan hal itu harus berdasarkan pertimbangan ahli atau tenaga medis yang kompeten dan dipercaya. Hasanuddin AF menambahkan, imunisasi semestinya menggunakan vaksin yang halal dan suci.
Perlu Evaluasi
Mengingat adanya efek samping dan penolakan dari masyarakat, sejumlah pihak telah mendesak untuk melakukan evaluasi. Salah satunya adalah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang mendesak pemerintah menyetop program vaksinasi tersebut. Pengurus ICMI meminta program pemberian vaksin measles rubella dihentikan sementara waktu. Pasalnya, saat ini vaksin MR tengah menjadi kontroversi lantaran belum memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat, Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo menyayangkan vaksin MR yang digunakan dalam program imunisasi nasional oleh pemerintah, sampai saat ini masih dijalankan Kementrian Kesehatan (Kemenkes). “Saya sangat menyayangkan kalau belum disertifikasi halal kok langsung diprogramkan. Ini kan undang-undang tentang produk halal sudah ada. Kan kita mayoritas 90 persen Muslim, hargai dong itu semua,” ujarnya seperti Republika, beberapa waktu lalu.
Menyikapi protes dari masyarakat terkait belum halalnya vaksin Rubella, Kepala Biro Humas Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Oscar Primadi mengatakan, pihaknya akan mendengar usulan-usulan dari masyarakat ataupun dari MUI untuk menjalankan program tersebut, termasuk soal sertifikasi halal vaksin MR.
Untuk pengajuan sertifikasi halal, Kementerian kesehatan akan memproses pengajuan sertifikasi halal vaksin MR kepada MUI. Namun, menurut dia, sertifikasi halal terhadap vaksin itu tentu membutuhkan waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, Oscar menegaskan, bahwa Kemenkes tidak akan menghentikan program imunisasi yang menggunakan vaksin Rubella. “Soal bagaimana sertifikasi tentunya tidak mudah. Kita harus berproses, harus melakukan kajian-kajian. Tentunya apapun bentuknya kita hargai lah pendapat termasuk usulan,” ujarnya, seperti dikutip Republika.co.id.
Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim, M.Si menyatakan, proses dan prosedur sertifikasi halal untuk vaksin dan obat-obatan pada prinsipnya sama saja dengan produk makanan atau minuman. Ada empat proses utama dalam pemeriksaan kehalalan produk, yaitu pemeriksaan dokumen, pemeriksaan pabrik, uji laboratorium, serta rapat oleh auditor dan Komisi Fatwa MUI. Jika seluruh dokumen lengkap dan proses pemeriksaan berjalan lancar, maka dalam waktu sekitar 65 hari sertifikat halal sudah bisa diterbitkan.
Terkait kehalalan vaksin, Lukmanul Hakim menerangkan, terdapat beberapa hal yang dapat menggagalkan produk vaksin untuk memperoleh sertifikat halal. Pertama, terkait bahan baku vaksin. Bila vaksin terbuat dari benda haram atau najis, maka sudah jelas produk vaksin tersebut tidak akan mendapat sertifikat halal.
Kedua, terkait alat yang digunakan untuk membuat vaksin. Bila alat tersebut bersentuhan dengan benda haram atau najis, maka produk vaksin tersebut juga tidak akan mendapatkan sertifikat halal. Ketiga, terkait tempat penyimpanan bahan baku dan tempat produksi vaksin. Apabila di kedua tempat tersebut terdapat barang najis atau haram, maka batallah proses sertifikasi halal.
Keempat, bila pihak produsen tidak memiliki sistem penjamin konsistensi kehalalan produk, maka batal jugalah proses sertifikasi halal tersebut. “Prinsipnya kita harus terbuka, obat, makanan atau vaksin. Dibuatnya dari apa, bagaimana prosesnya, pokoknya harus dijelaskan sedetail-detailnya karena halal dan haram itu harus jelas. Nggak ada, kira-kira halal atau kira-kira haram. Adanya, jelas halal dan jelas haram,” pungkasnya.
Terkait dengan imunisasi MR, Lukmanul Hakim menjelaskan, antara LPPOM MUI, Kementerian Kesehatan dan PT Biofarma selaku penyedian vaksin, telah sepakat bahwa ketersediaan vaksin halal butuh percepatan. Komisi Fatwa MUI tetap akan membahas ini setelah ada hasil audit dari LPPOM MUI. ”Sudah ada bimbingan dari LPPOM kepada Biofarma untuk mempersiapkan dokumen yang harus disampaikan sebagai bagian proses dan syarat sertifikasi,” kata Lukman saat ditemui usai Rapat Pimpinan MUI di Kantor Pusat MUI, Selasa (5/9), seperti dikutip Republika.
Dengan memperhatikan sejumlah faktor tersebut, mestinya pemerintah memang mengusahakan secara maksimal agar vaksin halal dapat segera tersedia. Hal ini penting untuk menghindari penolakan dari masyarakat yang karena keyakinannya tidak mau menerima program imunisasi. Ini yang harus segera dievaluasi.
Di sisi lain, selama belum ada vaksin yang halal, imunisasi dengan vaksin haram dibolehkan, dengan memperhatikan kondisi darurat. Namun, sifat darurat ini pun, tentu saja, harus ada batasan waktunya, tidak bisa berlaku selamanya.
Pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa imunisasi
Aaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit, dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi. Bahwa imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan, dan kematian. Penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalannya.
Rekomendasi MUI terkait imunisasi
Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin.
Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal.
Produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi.
Orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.
Manfaat Imunisasi
1. Mencegah lebih baik daripada mengobati
2. Imunisasi dapat mencegah penularan dan penjangkitan penyakit
3. Di negara berkembang dimana gaya hidup sehat belum membudaya, potensi beredarnya wabah penyakit masih sangat tinggi
4. Imunisasi tidak membahayakan kesehatan, namun justru untuk meningkatkan kesehatan masyarakat
5. Vaksin haram bisa dipakai karena ada fatwa darurat dari MUI.
Alasan penolakan
1. Vaksin haram, dan belum memperoleh sertifikat halal dari MUI
2. Pencegahan penularan penyakit bisa dilakukan dengan cara lain, seperti gaya hidup bersih dan sehat
3. Kekebalan tubuh manusia sudah ada secara alamiah
4. Dianggap dapat menimbulkan efek samping yang membahayakan bagi kesehatan
5. Imunisasi bukan merupakan kewajiban dari pemerintah, sehingga boleh untuk tidak dilakukan imunisasi. (Dirangkum dari berbagai sumber).
Ahmad Zuhdi