Trump, Netanyahu, dan Masa Depan Palestina

by
Donald Trump dan PM Israel Benjamin Netanyahu. Foto: Reuters/Kevin Lamarque

Wartapilihan.com, AS – Gedung Putih kedatangan tamu pada Rabu (15/2). Donald Trump dan istrinya, Melania Trump, menjamu kedua orang itu. Pertemuan ini merupakan yang pertama sejak Trump resmi menjabat sebagai presiden Amerika Serikat. Kedua tamu itu adalah PM Israel Benyamin Netanyahu bersama istrinya. Tentu kedatangan mereka bukan untuk plesir, melainkan untuk membahas beberapa agenda politik.

Trump dan Netanyahu, seperti diwartakan The Guardian, tampak akrab satu sama lain. Ketika bertemu, mereka saling menepuk punggung. Melania Trump bahkan rela terbang dari New York untuk beramah-tamah dengan Sara Netanyahu.

Pertemuan tersebut merupakan jeda untuk kedua pemimpin tersebut. Terlebih untuk Trump yang sehari sebelunya baru saja memecat penasehat keamanan nasionalnya, Michael Flynn.

Donald Trump dan Konflik Palestina-Israel

Saat kampanye pemilihan tahun lalu, Trump mengatakan bahwa ia tidak akan terlalu fokus pada masalah di Timur Tengah. Walaupun ia berjanji akan memerangi ISIS.

Sebelumnya, pada Januari 2017. berembus kabar bahwa Trump akan memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem. Namun, rencana tersebut mendapat kecaman, salah satunya datang dari Yordania.

Mayoritas negara dunia tidak mengakui aneksasi yang dilakukan oleh Israel terhadap Yerusalem Timur. Terlebih, Palestina pun berencana menjadikan Yerusalem menjadi ibukota jika telah menjadi negara sendiri.

Pada pertemuan di Gedung Putih, Rabu (15/2), Trump dan Netanyahu membicarakan solusi perdamaian untuk Palestina-Israel. Namun, banyak pihak yang menyebut Trump tidak begitu tegas, bahkan cenderung membingungkan.

Trump menyatakan, ia tidak berkomiten dengan solusi dua negara Palestina-Israel. Bahkan, ia menyatakan, tidak menutup kemungkinan cara lain untuk mendapatkan perdamaian pada kedua belah pihak.

Ditanya apa yang dia pikir tentang solusi dua-negara, Rabu (15/2), Trump mengatakan, “Saya melihat dua negara dan satu negara dan saya suka salah satu yang kedua belah pihak suka. Saya sangat senang dengan salah satu yang kedua belah pihak suka, “katanya seperti dikuti The Guardian.

Trump, pada pertemuan itu, juga sempat meminta Netanyahu untuk menarik pemukiman Yahudi yang mengambil tanah Palestina di Tepi Barat.

“Saya ingin melihat Anda menarik kembali pemukiman itu,” jelas Trump.

Namun, Netanyahu mengabaikan komentar Trump tersebut. Netanyahu bersikeras meyakini bahwa masalah permukiman tersebut “bukan inti dari konflik”.

Pemerintah Israel telah menyatakan rencananya untuk membangun sekitar 6.000 unit rumah pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Rencana tersebut jelas meningkat sejak pelantikan Trump pada Januari lalu. Sebelumnya, PBB telah mengecam rencana Israel untuk melegalkan 4.000 unit rumah sebagai permukiman Yahudi di Tepi Barat.

PBB Dukung Solusi Dua Negara

Dalam kunjungannya ke Kairo, Sekjen PBB Antonio Guterrez memperingatkan bahwa solusi perdamaian Palestina-Israel adalah dengan dibentuknya dua negara.

“Tidak ada solusi alternatif untuk situasi antara Palestina dan Israel selain solusi mendirikan dua negara, dan kita harus melakukan semua yang dapat dilakukan untuk menjaga ini,” ungkap Guterrez, seperti dikutip Reuters.

Pernyataan tersebut dibuat sehari sebelum pertemuan antara Trump dengan Netanyahu di Gedung Putih.

Berbicara di hari selanjutnya, Rabu (15/2), di Universitas Kairo, Guterres menegaskan sekali lagi kebutuhan untuk mengejar solusi dua negara.

“Kita tidak boleh lupa ibu dari semua konflik adalah konflik Israel-Palestina,” katanya dalam pidato luas. “Sangat penting untuk menekankan bahwa, menurut pendapat saya … tidak ada rencana B selain solusi dua negara.”

Guterres awal bulan ini mengecam tindakan parlemen Israel untuk melegalkan ribuan rumah yang dijadikan permukim di Tepi Barat yang diduduki. Ia mengatakan itu bertentangan hukum internasional dan akan memiliki konsekuensi hukum bagi Israel.

Pada Kamis (16/2), Duta Besar Amerika untuk PBB Nikki Haley menyatakan bahwa Amerika masih mendukung solusi dua negara untuk Palestina-Israel. Sehari sebelumnya, Presiden Trump mengatakan, ia terbuka terhadap cara-cara baru untuk mencapai perdamaian.

“Pertama-tama, solusi dua-negara adalah sesuatu yang kami dukung. Siapa saja yang ingin mengatakan Amerika Serikat tidak mendukung solusi dua negara  maka itu akan adalah sebuah kesalahan,” kata Haley kepada wartawan di PBB, seperti dikutip Reuters.

“Kami benar-benar mendukung solusi dua negara, tetapi kami berpikir di luar kotak juga: mengusahakan apa yang dibutuhkan untuk membawa kedua belah pihak ke perundingan; apa yang dibutuhkan agar mereka bersepakat.”

Sikap Hamas

Yahya Sinwar yang pernah dipenjara oleh Israel pada 1988 dan pernah menghabiskan waktu selama 23 tahun di penjara terpilih sebagai pimpinan Hamas menggantikan Ismael Haniya.

Mengutip AlJazeera, Sinwar merupakan salah satu pendiri sayap militer Hamas, Izzedine al-Qassam.

Terpilihnya Sinwar diharapkan dapat menjadi jembatan antara kekuatan politik dan kekuatan militer yang dimiliki oleh Hamas.

“Kenaikan Sinwar untuk posisi kepemimpinan bukanlah sesuatu yang dramatis atau tidak terduga. Pemilihannya menunjukkan Hamas memiliki lembaga-lembaga yang demokratis dan kolam pemimpin yang dapat melangkah ke posisi kepemimpinan ketika mereka dipanggil,” kata pemimpin senior Hamas yang berbasis di Lebanon, Osama Hamdan, seperti dikutip Aljazeera (17/2).

Para pejabat mengatakan bahwa Hamas beroperasi pada konsensus dan suara dalam proses pengambilan keputusan yang mencegah para pemimpinnya berlaku diktator.

Namun, tantangan baru muncul selama pertemuan di Washington DC, Rabu (15/2), antara Benjamin Netanyahu dan Donald Trump ketika Amerika mendukung solusi dua negara.

Tidak seperti Fatah dan Otoritas Palestina yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas yang mempertaruhkan eksistensi mereka pada penerimaan Israel dan Amerika dari solusi dua negara, pejabat Hamas tidak melihat ancaman eksistensial untuk reputasi politik mereka.

Hamdan, kepala kebijakan luar negeri Hamas, mengatakan kelompoknya tidak akan terpengaruh oleh kebijakan baru Amerika Serikat dan akan bertahan dengan segala bentuk perlawanan terhadap pendudukan Israel sampai kenegaraan dicapai.

Ditanya apakah perlawanan berarti hanya terlibat dalam konfrontasi militer dengan Israel, Hamdan mengatakan: “Itu hanya bagian dari perlawanan, dan hanya jika kami diserang pertama.

“Perlawanan bagi kami bisa menjadi sesuatu yang damai, seperti memboikot produk konsumen Israel, menantang Israel secara hukum, dan membela diri secara militer yang harus Israel menyerang kami.”

Apakah Hamas bersedia untuk terlibat dalam pembicaraan damai dengan pemerintah Israel untuk mencapai kesepakatan damai, para pejabat mengatakan: “Berbicara perdamaian dengan Israel, di bawah kondisi saat ini, adalah sia-sia.”

Mereka mengatakan bahwa Hamas telah belajar dari pengalaman Organisasi Pembebasan Palestina dan Otoritas Palestina yang keduanya tidak menunjukkan hasil setelah 24 tahun perundingan dengan Israel.

Sumber:  AlJazeera, The Guardian, Reuters

Reporter: Moedja Adzim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *