Wartapilihan.com, Muslim Amerika mengalami tantangan untuk kali kedua setelah sebelumnya mendapatkan diskriminasi akibat perisitiwa 11 September 2001.
Kini di bawah presiden terpilih Donald Trump, Muslim Amerika harus bisa bertahan di tengah kondisi islamophobia yang meningkat setelah Donald Trump mengeluarkan larangan masuk kepada tujuh negara mayoritas Muslim pada Jumat (27/1).
Sehari setelah Trump menandatangani perintah eksekutif yang melarang masuknya imigran dan warga dari tujuh negara tersebut, masjid di Islamic Center of Victoria dibakar oleh orang tak dikenal.
Shamsi Ali, Imam Islamic Center of New York, yang juga orang Indonesia menegaskan bahwa pembakaran masjid tersebut merupakan luapan kebencian.
Pada kampanyenya, Trump menyatakan akan menjaga warga Amerika dari serangan teroris. Trump menuduh bahwa imigran Muslim merupakan ancaman. Pada 2015, dalam kampanyenya, Trump mengatakan akan membatasi Muslim yang masuk ke Amerika dan akan mengawasi setiap masjid untuk mencegah terorisme.
Langkah yang diambil Trump dianggap sebagai langkah islamophobia oleh banyak pihak. Sebab, tindakan kekerasan ekstremisme yang dilakukan oleh warga Muslim Amerika tidak sebanyak jumlah penembakan dan pembunuhan yang terjadi.
Penelitian yang ditunjukkan oleh sosiolog Charles Cruzman dari University of North Carolina-Chapel Hill menegaskan hal tersebut.
Studi tersebut menemukan bahwa hanya 46 Muslim Amerika (didefinisikan sebagai “Muslim yang tinggal di Amerika Serikat dalam waktu yang lama”) dikaitkan dengan kekerasan ekstremisme di dalam atau di luar negeri pada tahun 2016. Jumlah penduduk Muslim Amerika adalah 3,3 juta.
“Ini dengan tegas menunjukkan kesalahan bahwa Amerika sangat terancam oleh kekerasan ekstremisme Muslim-Amerika,” kata David Schanzer, Direktur Triangle Center on Terrorism and Homeland Security, mengatakan dalam sebuah pernyataan yang menyertai rilis studi. “Serangan oleh Muslim hanya menyumbang sepertiga dari satu persen dari semua pembunuhan di Amerika tahun lalu.”
Fobia terhadap Islam terpolarisasi sejak kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat. Donald Trump diusung oleh Partai Republik, sedangkan Hillary Clinton diusung oleh Partai Demokrat. Sejak awal, Trump selalu mengampanyekan islamophobia.
Puncaknya, Trump mengeluarkan perintah eksekutif untuk melarang imigran Muslim memasuki Amerika termasuk larangan masuknya warga dari tujuh negara.
Ketertarikan Mempelajari Islam dan Simpati
Besarnya tekanan dan fobia terhadap Muslim Amerika, berbanding lurus dengan keingintahuan warga Amerika terhadap Islam.
Sejak peristiwa 11 September, pertumbuhan Muslim Amerika berkembang pesat. Pesatnya pertumbuhan bukan hanya karena masuknya imigram Muslim, melainkan juga banyaknya warga Amerika yang memutuskan untuk menjadi Muslim.
“Saya melihat justru di situ titik baliknya. Walaupun diekspose secara negatif, ternyata dengan karakter ingin tahunya, orang-orang Amerika justru mencari tahu apa itu Islam. Mereka kemudian menemukan Islam yang sesungguhnya,” Kata Shamsi Ali pada 2015 seperti dikutip Antara (9/11/2015).
“Setelah 11 September 2001, banyak kalangan intelektual serta profesional muda Amerika yang kemudian memutuskan untuk memeluk Islam. Artinya, jumlahnya bertambah, kualitasnya juga semakin kokoh dan semakin kuat,” imbuh imam kelahiran Sulawesi Selatan ini.
Ketertarikan warga non-Muslim Amerika muncul kembali sejak mencuatnya perkataan-perkataan Trump yang kontoversial pada saat kampanye yang menyerang Muslim Amerika.
Pada 20 November 2016, seorang pria Muslim Amerika asal Pakistan, Mozzam Khan, mencuit gambar pada akun twitternya. Gambar tersebut menunjukkan antusiasme warga Chicago untuk mempelajari dan memahami Islam di Masjid Al Huda, Chicago, Amerika Serikat.
Sejak Trump menandatangani perintah eksekutif yang merugikan Muslim Amerika, simpati mengalir dari berbagai kalangan di Amerika.
Pada Sabtu (28/1), warga Amerika berdemonstrasi di berbagai bandara di Amerika menentang larangan imigran Trump. Bahkan, Hakim Federal Amerika Serikat menangguhkan kebijakan anti-imigran Trump.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutertes, seperti dilansir Reuters, mengatakan pada Rabu (1/2) bahwa pembatasan perjalanan terhadap warga dari tujuh negara oleh Presiden Donald Trump “bukan cara terbaik untuk melindungi Amerika Serikat”.
Bahkan, perusahaan besar, seperti Google dan Apple, menolak kebijakan tersebut. Mereka beranggapan, Amerika merupakan negara imigran sehingga tidak sepatutnya Amerika menolak imigran.
Simpati terhadap Muslim Amerika tidak lepas dari polarisasi yang terjadi akbiat pemilu Amerika Serikat. Partai Demokrat yang mengusung Hillary Clinton lebih bersimpati pada Islam dan selalu bertentangan dengan program Trump.
Kini, warga Muslim Amerika harus bisa menjawab tantangan yang terjadi. Terpilihnya Trump yang mengeluarkan kebijakan diskriminatif terhadap Muslim harus bisa menjadi titik balik seperti pada tahun 2001 lalu.
Dengan pertumbuhan jumlah Muslim yang terus meningkat, Muslim Amerika harus dapat membuktikan diri bahwa Islam adalah agama damai dan rahmat bagi seluruh alam.
Reporter: Moedja Adzim