TERUS BERDOA, PILIH PRESIDEN TERBAIK, DAN JANGAN LUPA TUJUAN

by

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Rumus klasik Imam al-Ghazali ini perlu terus kita cermati dan renungkan: “rakyat rusak, karena rusaknya penguasa; penguasa rusak karena rusaknya ulama; dan ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan.”

Wartapilihan.com, Depok— Pilihan Presiden 2024 masih jauh. Tetapi, situasi di tengah masyarakat dan berita-berita di media massa sudah didominasi dengan kabar seputar Pilpres 2024. Setiap gerak dan ucap pimpinan partai politik menjadi sorotan media. Begitu banyak rakyat berharap, bahwa presiden dan wakil presiden 2024-2029 nanti akan mampu membawa Indonesia menjadi negara yang lebih baik.

Bagi kaum muslim, memilih pemimpin itu bagian dari aktivitas ibadah dan memiliki dampak besar dalam kehidupan masyarakat. Ada tuntunan agama dalam soal ini. Karena itu, pertimbangan-pertimbangan agama menjadi acuan terpenting. Rasulullah saw sudah memberikan panduan, bahwa memilih pemimpin itu harus berdasarkan kemaslahatan umat. Pilih yang terbaik dan yang paling mampu menjalankan amanah. Kitab Siyasah Syar’iyyah Ibn Taimiyah menjelaskan cukup panjang tentang masalah ini.

Bersama ikhtiyar yang optimal secara inderawi dan aqli, maka doa pun jangan dilupakan. Untuk itu, syarat-syarat dikabulkannya doa pun perlu diperhatikan. Jangan melakukan praktik-praktik doa yang mencampuradukkan antara iman dan kemusyrikan. Sebab, Allah tidak ridha kepada semua bentuk kemusyrikan.

Jika kemudian pemimpin yang kita jagokan itu meraih kemenangan, maka jangan merasa perjuangan sudah selesai. Jangan melakukan pesta pora sampai lupa daratan. Apalagi dilakukan sambil melecehkan para pendukung di pihak kontestan lawan. Ini sangat tidak patut dilakukan, karena bertentangan dengan akhlak Islam.

Tujuan perjuangan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara adalah mewujudkan masyarakat beriman dan bertaqwa, sebagaimana disebutkan dalam

QS al-A’raf:96. Bahwa, Allah SWT pasti akan mengucurkan berkah-Nya  dari langit dan bumi, jika masyarakat Indonesia mau beriman dan bertaqwa.  Kalimah bijak menyatakan, bahwa “annaas ‘alaa diini muluukihim”. Masyarakat itu pada umumnya mengikuti agama penguasa mereka.

Di sinilah pentingnya rakyat memiliki penguasa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, yang bisa menjadi teladan kehidupan mereka.  Yakni, pemimpin yang jujur, adil, zuhud, dan amanah;  pemimpin yang “SATU” antara kata dan perbuatan; pemimpin yang mencintai rakyatnya.

Pemimpin dan rakyat yang beriman dan bertaqwa adalah yang senantiasa menempatkan diri mereka sebagai hamba Allah dan khalifah Allah  di muka bumi. Mereka selalu bersikap ikhlas dan siap diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT), dalam pemikiran, sikap, dan kebijakan yang mereka buat.

Mereka tidak bersifat sombong dan membangkang terhadap ketentuan Allah SWT.  Setelah meraih kekuasaan, sang penguasa tidak merasa dirinya lebih hebat dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga enggan diatur oleh Allah SWT, dengan berbagai alasan.  Mereka sadar betul, sikap sombong dan membangkang kepada Allah itu adalah sikap Iblis yang dilaknat oleh Allah.  Mereka pun tidak bersikap sekuler, dengan menyingkirkan dimensi Ketuhanan dan ke-akhiratan dari seluruh aspek pemikiran, tindakan, dan kebijakan mereka.

Akan tetapi, perjuangan meraih kemuliaan dan kebahagiaan dalam iman itu bukan hal gampang.  Saat ini, diakui, sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat Indonesia pun tak lepas dari tantangan globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan.  Arus globalisasi (baca: westernisasi) menawarkan corak kehidupan hedonis, materialis, dan sekuleris, yang bertumpu pada pemujaan pemenuhan  aneka “syahwat”. Tak ayal lagi,  “Gerakan Syahwat Merdeka” menjadi arus yang begitu kuat menarik hasrat untuk berbuat apa saja semaunya, tanpa mempedulikan ajaran-ajaran agama.

Pragmatisme, sekulerisme, dan materialisme dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik, pun kian kencang digaungkan, oleh berbagai kalangan. Mereka melarang untuk membawa-bawa agama dalam berbagai bidang kehidupan. Politik, misalnya, sekedar dimaknai sebagai seni untuk meraih kuasa, dengan segala acara, terlepas dari pertimbangan agama. Seolah-olah membawa pertimbangan agama dalam berpolitik adalah tindakan tercela. Itulah politik sekuler, yang menafikan tuntutan Tuhan dan akhlak mulia.

Sementara itu, umat Islam diajarkan sejak usia dini, bahwa Islam mengatur seluruh masalah kehidupan. Umat Islam sadar benar akan kewajiban mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam segala aspek kehidupan; mulai urusan masuk kamar mandi dan cara pakai baju, sampai masalah ekonomi dan politik kenegaraan.  Urusan politik merupakan bagian dari ajaran Islam yang sangat penting, karena menyangkut pengelolaan kekuasaan untuk kemaslahatan rakyat – dunia dan akhirat.

Meskipun bertujuan untuk meraih kekuasaan, aktivitas politik adalah ibadah kepada Allah SWT. Kebenaran adalah di atas segala-galanya; termasuk di atas kekuasaan. Jika demi kebenaran harus kalah dalam politik, maka kata seorang ulama: “Biar kalah, asal tidak salah!”

Pemimpin dalam pandangan Islam adalah pribadi yang bisa menjadi contoh, teladan, dan pelindung bagi rakyatnya.  Pada intinya, negara dan agama, adalah laksana dua sisi mata uang yang harus berjalan seiring, saling menguatkan. Ulama dan umara haruslah sama-sama baik, sebagai dua pilar penting bagi tegaknya sebuah negara.

Karena itu, umat Islam berpolitik sebagai perintah agama Islam, bukan karena menuruti syahwat kekuasaan.  Berpolitik adalah bagian dari bentuk amal ibadah, sehingga umat Islam tidak pernah terpikir untuk memisahkan aspek politik dan agama. Meskipun tentu saja, umat Islam dilarang menggunakan agama untuk kepentingan politik yang bathil. Politik yang bernilai ibadah adalah yang politik yang dilandasi dengan niat ikhlas untuk ibadah dan dilakukan dengan cara-cara yang benar pula.

Terkait dengan itu, umat Islam berkewajiban untuk menyiapkan dan memilih pemimpin-pemimpin yang memiliki visi-misi pembangunan Islami dan berkepribadian mulia. Selain cerdas, sholeh, amanah, dan professional, para pemimpin yang ideal adalah yang mampu mewujudkan keadilan ekonomi, kemakmuran, dan kebahagiaan pada masyarakat. Mereka harus paham dan berani melakukan terobosan mewujudkan konsep kepemimpinan Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khulafaur-rasyidun, serta para pemimpin Islam yang hebat lainnya.

Para pemimpin yang mulia itu harus menerapkan pola hidup “zuhud”, jauh dari gebyar hidup mewah dan boros; senantiasa berbuat berdasar ilmu; merujuk kepada keputusan para ulama dan ilmuwan yang shaleh dalam memecahkan berbagai persoalan masyarakat. Mereka pun harus punya tekad yang kuat untuk melanjutkan perjuangan para ulama; menjadikan Indonesia sebagai negeri baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur; menjadi negeri muslim terbaik dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga Indonesia menjadi contoh negara di dunia yang layak diteladani.

Inilah tujuan perjuangan umat Islam Indonesia. Ini adalah misi dan amanah yang sangat mulia, sehingga harus dilaksanakan oleh manusia-manusia yang mulia pula, yang memiliki iman yang kokoh dan akhlak yang mulia.  Tidak ada manusia yang sempurna, memang. Karena itu, semuanya harus diperjuangkan secara bertahap, berproses, menuju kesempurnaan. Semoga Allah meridhoi kita semua. (Semarang, 23 Juni 2022).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *