Tarik Ulur RUU Terorisme

by
Anggota Komisi III Arsul Sani (kedua dari kanan) memaprkan perkembangan pembahasan RUU Terorisme di DPR RI. Foto: Zuhdi.

“Intinya, definisi (terorisme) itu harus mampu mencegah bahwa terorisme tidak berkaitan dengan kelompok agama tertentu,” ujar Arsul Sani.

Wartapilihan.com, Jakarta –Pembahasan RUU Terorisme di DPR masih belum menemukan titik temu. Pasalnya, ada dua pending issue yang menjadi perdebatan antara pemerintah dengan pihak DPR. Yaitu pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme dan definisi terorisme. Kendati demikian, tim perumus terus mempersiapkan RUU tersebut guna dibahas di Panja, Pansus dan disahkan pada Sidang Paripurna.

“Di DPR sendiri, ketika berbicara TNI, peran pemerintah seperti DPR. Banyak fraksi. Di DPR menajam karena anggota Pansus hampir semuanya anggota Komisi I dan III. Maka, secara personal kedekatannya berbeda. Komisi III dekat dengan Polri. Komisi I dekat dengan TNI,” kata Anggota Komisi III Arsul Sani dalam sebuah diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (29/3).

Lebih lanjut, terkait definisi terorisme, jelas Arsul merupakan tindak pidana yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan oleh agama apa saja. Sebab, selama ini istilah dan perilaku terorisme selaku dikaitkan dengan Islam dan umat Islam.

“Intinya, definisi itu harus mampu mencegah bahwa terorisme tidak berkaitan dengan kelompok agama tertentu,” ujar politisi PPP ini.

Senada dengannya, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan bahwa terorisme adalah tindak pidana yang merupakan suatu kejahatan dengan tujuan menimbulkan suasana teror, kekerasan dan adanya tujuan-tujuan politik.

“Nah, disini yang paling penting adalah terorisme merupakan kejahatan tindak pidana sebagai suatu kejahatan keamanan negara. Karena terorisme sejatinya adalah kejahatan trans nasional,” tuturnya.

Sementara itu, mantan Kepala BAIS Soleman B Ponto menerangkan, syarat pelibatan TNI dalam Undang-Undang memiliki dua syarat. Pertama, harus ada kebijakan dan keputusan politik negara berdasarkan ayat 3 Pasal 2 UU 34/2004. Kedua, perintah langsung dari Presiden berdasarkan Pasal 18 UU 34/2004 tentang TNI.

“Yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR,” paparnya seraya mencontohkan rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ia menjelaskan, melalui dua UU tersebut, posisi TNI menjadi dilematis. Jika TNI berpedoman pada UU TNI, dia akan disalahkan karena tidak menggunakan UU Terorisme. Namun, jika mengikuti UU Terorisme, dia tidak mengikuti UU TNI.

“Kalau TNI itu kepala baru dan keras dia bisa saja bilang, kita cuma mau tunduk dengan UU TNI. Sehingga, UU yang baru ini enggak ada manfaat. Jangan lupa, UU itu kan sama tinggi. Jadi daripada dia lakukan salah mending dia pakai UU TNI, selesai. Karena bagimana TNI yang di didik untuk kill to be kill harus tunduk kepada pidana,” jelas Soleman.

Menurutnya, saran pemerintah seperti itu tidak tepat. Sebab, pemerintah harus menghormati UU TNI yang ada. Pembangkangan TNI kepada UU Terorisme, lanjutnya, hanya akan menjadikan TNI bulan-bulanan. Ketika menjalankan UU TNI, dia melanggar UU teroris. Sedangkan jika menjalankan UU Terorisme, dia melanggar UU TNI.

“Contoh dia melaksanakan UU Terorisme, lalu ada yg melapor harusnya dia melakukan UU TNI. Laporan ini saat dia akan naik pangkat akan masuk. Orang enggak mau liat ada laporan tentang ini, tunda dulu. Terlewat kesempatan dia naik pangkat. Jadi, TNI akan terhukum karena ini. Paling rugi TNI,” keluhnya.

Ia menandaskan, jika TNI dipaksa menggunakan UU Terorisme, maka saja saja melanggar UU Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Hukum Humaniter.

“Undang-Undang TNI hanya dapat digunakan bila para teroris memenuhi persyaratan sebagai pasukan pembangkang,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *