Menyoal Fatwa Halal Natal
Ketika MUI memfatwakan haram ucapan selamat natal dan perayaan natal bersama, Qurais Shihab memberikan tanggapan yang membuka peluang kebolehannya. ‘’… jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al Qur’an?’’ tulis Qurais, yang di antaranya dikutip situs mudika.com.
Adian Husaini, dalam artikel opini dan kemudian bukunya berjudul ‘’Penyesatan Opini’’, mengkritik keras pendapat Qurais ini. Adian antara lain mengemukakan, ummat ini sudah dirundung banyak problem, maka para pemimpin atau ulama jangan menambahi problem baru termasuk fatwa Qurais Shihab yang membolehkan pengucapan ‘’Selamat Natal’’ dan perayaan Natal Bersama.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, telah menjadi ijma’ tentang keharaman mengucapkan Selamat Natal. Ibnu Taimiyah juga termasuk ulama yang mengharamkan. Buya Hamka –sebagai Ketua MUI — telah memelopori fatwa haramnya mengucapkan dan menghadiri misa natal pada tahun 1981. Bahkan demi mempertahankan prinsipnya ini dari tekanan pemerintah (Menteri Agama), Hamka memilih mundur dari jabatannya. Ia hingga akhir hayatnya teguh mengharamkan acara doa bersama dan menghadiri perayaan-perayaan ritual agama lain bagi seorang muslim.
Muhammadiyah juga turut mendukung fatwa MUI, demi kehati-hatian (Tanya-Jawab Muhammadiyah 2: 209-210). Begitu juga para ulama Timur Tengah yang lain, termasuk yang tergabung dalam Lajnah Dâimah Li al-Buhûst al-‘Ilmiyyah wal Iftâ’.
Dalam Haflah Seabad Buya Hamka di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tahun 2008, Adian menyatakan gembira karena banyak orang yang menulis tentang Hamka, namun dirinya berharap penulis itu jujur, dan cermat dalam menuliskan pemikiran dan kiprah perjuangan Buya Hamka yang sangat jauh berbeda dengan kaum pluralis agama yang menyatakan bahawa kaum Yahudi, Kristen dan sebagainya adalah saudara seiman mereka.
Karena, tambahnya, Buya Hamka merupakan ulama yang memegang prinsip, salah satunya menegaskan fatwa haram mengucapkan selamat Natal, dan mengikuti perayaannya. Meski demikian, Ulama kelahiran Sungai Batang, Sumatera Barat, berupaya menjaga hubungan baik dengan siapapun.
Dr Afrizal Nur dalam bukunya “Tafsir al-Mishbah dalam Sorotan, Kritik terhadap karya Tafsir M Quraish Shihab” (Pustaka Al Kautsar, 2019), juga mengkritisi uraian tentang wafatnya Nabi Isa as dan bolehnya mengucapkan salam kepada yang bukan Islam.
Nah, ketika menguraikan tafsir Surah al Ma’idah, terlihat ambiguitas Qurais Shihab, karena ia tegas menolak doktrin Trinitas. Mengutip pengakuan Pendeta Puter seperti dikutip Sayyid Quthub, Qurais menyatakan: ‘’Demikian terlihat bahwa bukan hanya orang awam yang tidak mampu memahami ide Trinitas dengan pemahaman yang shahih lagi logis, tetapi bahkan cerdik cendekiawannya pun, sehingga pada akhirnya ia menjadi satu ucapan yang tidak dapat dijelaskan maknanya tapi harus diterima sebagai dogma’’ (Vol III, hal 153).
Mereka yang menyembah selain Allah, lanjut Qurais, ‘’pada hakikatnya belum mencapai tingkat kecerdasan berpikir yang memadai…’’ (hal. 157).
Abu Abdil Muhsin Firanda (www.firanda.com) mengkritik ambiguitas tersebut. Dalam paparannya yang bertajuk Kerancuan Prof DR Quraisy Syihab dalam Membolehkan “Selamat Natalan”, ia menyatakan:
Kalau seandainya kita memahami sebagaimana yang dipahami oleh DR Qurasiy Syihab boleh mengucapkan “selamat Natal” yang Qur’ani (sesuai metode Qur’an), maka seharusnya seseorang tatkala mengucapkan natal berkata demikian “Selamat hari Natal, selamat kelahiran Nabi Isa yang hanya merupakan seorang hamba Allah yang diberi Al-Kitab dan dijadikan Nabi oleh Allah dan bukan anak Tuhan”.
Bukankah dalam surat Maryam, Nabi Isa setelah mengucapkan keselamatan atas kelahirannya beliau mengucapkan: “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.”
Ucapan beliau ini merupakan bentuk mukjizat beliau yang masih kecil dalam gendongan akan tetapi bisa berbicara, dan tidak hanya sekedar diyakini dalam hati.