Menjadi orangtua di era digital ini tidak mudah, pasalnya pada usia remaja umumnya orangtua dan anak tiba-tiba bisa diwarnai konflik. Mereka ‘ada’ namun seperti ‘tak ada’ karena asyik dengan dunianya sendiri. Mengapa?
Wartapilihan.com, Jakarta –-Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Transisi tersebut ditandai dengan perubahan fisik, emosi dan juga psikis yang biasanya terjadi antara usia 10 hingga 19 tahun.
Hal tersebut disampaikan Amelia Aziz Daeng Matadjo, psikolog anak dan keluarga. Ia mengatakan, pada masa ini pola pikir dan tingkah laku anak remaja sangat berbeda dengan ketika kanak-kanak. Ia menilai, remaja memiliki kecenderungan hubungan dengan sebaya justru akan lebih erat dibandingan hubungan dengan orang tua di fase remaja ini.
“Adanya perubahan besar baik fisik maupun psikis menyebabkan masa remaja relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya,” kata Amelia, dalam Grup Anak dan Keluarga, dalam acara Sharing Sesi Online, Kamis, (26/7/2018).
Lebih lanjut, Amelia mengungkapkan, remaja rentan mengalami krisis identitas karena seorang anak remaja memperoleh kebebasan yang lebih besar dan menurut Potter dan Perry (2010) krisis identitas ini dapat membuat remaja malu, takut dan gelisah yang menimbulkan gangguan fungsi di rumah dan di sekolah.
Dalam beberapa hal, remaja mengalami ketegangan, baik karena tekanan kelompok maupun perubahan psikososial. “Sehingga remaja cenderung melakukan tindakan yang dapat mengurangi ketegangan tersebut, misalnya merokok dan memakai obat-obatan,” tukas dia.
Adapun soal hubungan yang semakin renggang dengan orangtua ketika menginjak fase remaja, menurut Amelia, disebabkan oleh beberapa faktor, seperti (1) perubahan biologis pubertas, (2) perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealism dan penalaran logis, (3) perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan (5) harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak orang tua dan remaja.
“Bila ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan memberi lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang tua,” kata dia.
Maka dari itu, Amelia menyarankan agar orangtua melakukan pola asuh demokratis, yang menghargai individu anak, hangat dan supportif, berdiskusi dengan anak dan menentukan batasan sosial. “Nanti akan berdampak pada anak menjadi independen, terkontrol, kreatif dan ekporatoris,” tegas dia.
Kata dia, pola asuh demokratis lebih tepat digunakan untuk anak tetap dalam pengawasan orangtua agar remaja tidak merasa terkekang dan mampu menemukan jati dirinya. Tetapi pola asuh juga harus disesuaikan dengan kebutuhan. Ia menjelaskan, apabila berkaitan dengan masalah ibadah dan nilai moral, maka lebih baik pola asuh otoriter yang dipakai orangtua.
“Mungkin sesekali pola asuh permisif dibutuhkan saat remaja sudah mampu mengendalikan diri dengan baik dan mampu bertanggungjawab atas apa yang dilakukan agar remaja mampu hidup mandiri dan menentukan jalannya sendiri,” pungkas dia.
Amelia berpesan, dalam mengasuh remaja, orangtua hendaknya bersikap arif dan bijaksana, tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti mampu memberi pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan remaja dan apa harapan orangtua. Jadi orangtua dapat menerapkan pola asuh tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi.
Eveline Ramadhini