Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dunia pendidikan kedokteran di Indonesia sedang berduka. Kasus meninggalnya seorang mahasiswi Pendidikan Dokter Spesialis (PDS) di Semarang memicu terbongkarnya banyak kasus perlakuan tidak wajar terhadap mahasiswa kedokteran, khususnya peserta PDS. Bukan hanya kekerasan verbal dan fisik, tetapi juga tekanan finansial. Banyak mahasiswa PDS mengalami depresi dan beberapa diantaranya berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Tentu saja hal ini tidak bisa dianggap remeh. Para dokter yang mengalami pendidikan yang buruk di kemudian hari bisa menjadi pelaku baru terhadap para yuniornya. Lingkaran setan pendidikan yang salah ini akhirnya terus berjalan tanpa penyelesaian. Kini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan berusaha menangani kasus ini dengan pendekatan sanksi disiplin dan bahkan sanksi hukum.
Apakah usaha itu akan berhasil? Kita doakan saja. Jika serius, insyaAllah akan ada hasilnya, meskipun mungkin belum mengatasi permasalahan secara mendasar. Masalah pendidikan kedokteran ini sudah pernah diingatkan oleh Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud periode 1999-2007.
Tahun 2023, Prof. Satryo menulis artikel berjudul: “DEHUMANISASI PENDIDIKAN KEDOKTERAN”. Artikel ini dimuat di situs resmi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah 12 (Maluku dan Maluku Utara) (https://kopertis12.or.id).
Dengan tegas, Prof. Satryo menyatakan, “Tujuan pendidikan kedokteran telah menyimpang jauh dari yang seharusnya…”
Menurut Prof. Satryo, kalangan perguruan tinggi menganggap fakultas kedokteran merupakan mesin uang perguruan tinggi. Terjadi simbiosis mutualistis antara calon mahasiswa kedokteran dan fakultas kedokteran. “Gejala ini sangat tidak sehat karena mengorbankan mutu dan hakikat pendidikan kedokteran. Pada akhirnya mengorbankan masyarakat di mana kegiatan pelayanan dokter telah berubah jadi kegiatan transaksional berbiaya tinggi,” tulisnya.
Lalu, ia menyarankan, “Pendidikan kedokteran harus mampu menciptakan masyarakat yang sehat melalui dokter yang dihasilkannya, pendidikan kedokteran harus humanis supaya tidak menyimpang dari hakikatnya, yaitu menyelamatkan manusia. Apabila tidak dilakukan pendekatan humanis, pendidikan tidak akan bermakna untuk masyarakat.”
Tentu kita sangat setuju dengan saran Prof. Satryo tersebut. Bahwa, pendidikan kedokteran harus bersifat humanis. Dokter adalah profesi yang sangat mulia karena memberikan pelayanan dan penyelamatan terhadap manusia. Para dokter memiliki peluang besar menjadi manusia yang paling mulia, karena mereka – dengan ilmu dan keahliannya – memberikan manfaat besar kepada sesama insan.
Sebenarnya, proses dehumanisasi bukan hanya terjadi di pendidikan kedokteran. Tapi, terjadi juga dalam dunia pendidikan secara umum. Pendidikan harusnya ditujukan utamanya untuk melahirkan manusia-manusia yang baik, sebagaimana diamanahkan pasal 33 ayat 3, UUD 1945.
Tetapi, pendidikan kemudian direndahkan derajatnya dengan ditujukan terutama bagaimana bisa mencari makan dan menempati kedudukan bergengsi serta berlimpah harta benda. Dibuatlah ranking-ranking lembaga pendidikan yang mengutamakan aspek intelektualitas tetapi mengabaikan iman dan akhlak mulia.
Jadi, kita sangat bersepakat, pendidikan kedokteran dan juga pendidikan-pendidikan lainnya, benar-benar dilaksanakan dengan memanusiawikan manusia. Tempatkan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mendapat tugas mulia, sebagai khalifatullah fil-ardh. Manusia adalah wakil Allah di bumi, yang ditugaskan untuk memakmurkan bumi dan mewujudkan kehidupan yang damai dan bahagia.
Unsur terpenting dari manusia adalah hatinya atau jiwanya (qalb). Rasulullah saw jika qalb itu baik, maka akan baik semuanya. Sebaliknya, jika qalb itu rusak, maka rusaklah manusia itu. Pendidikan yang memanusiawikan manusia adalah pendidikan yang bertumpu kepada proses pembersihan jiwa (tazkiyyatun nafs).
Pendidikan harus berpangkal pada kurikulum utama “tazkiyyatun nafs”. Dari sinilah semuanya berpangkal. Jiwa yang sakit, jiwa yang rusak, harus diobati. Penyakit jiwa yang sangat merusak adalah penyakit cinta dunia. Orang yang cinta dunia berarti belum memahami hakikat dunia yang sangat menipu dan memperdaya (mata’ul ghurur).
Orang yang cinta dunia berarti belum memahami hakikat akhirat, sehingga masih mengutamakan dunia ketimbang akhirat. Ulama dan sastrawan besar, Raja Ali Haji, mengingatkan: “Barang siapa mengenal dunia, maka tahulah ia barang yang terperdaya! Barangsiapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia itu mudharat!”
Tapi, Islam tidak memerintahkan umatnya untuk lari dari dunia. Justru, umat Islam diperintahkan untuk: “Kejar akhirat, taklukkan dunia!” Para dokter silakan menjadi kaya tetapi itu bukan tujuan utama. Tujuan utama menjadi dokter adalah menjadi orang berguna bagi sesama. Soal rejeki, serahkanlah kepada Allah. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 9 September 2024).