Suara Kertas dan Politik Uang: Betapa Senangnya Dapat Duit 99K Lebih

by

Oleh: Taufik Hidayat

“Lumayan 100K”, “Dapat 150K nih”, “Oy, nitip dong”, dan pelbagai kata-kata lain yang mungkin pembaca pernah peroleh dari kawan/kerabat saat terima-bagi duit dalam acara berlabel kampanye. Selain bagi-bagi duit, ada pula dalam bentuk uang transpor bagi peserta, “bantuan” kepada kelompok tertentu, door prize ketika kampanye berjalan, bagi-bagi makanan, bagi-bagi sembako, bahkan aneka sandang bergambar partai dan calon.[[1]] Iya, uang dan segala macam turunannya “uh, menggiurkan”.

Beberapa hasil survei, menggambarkan bahwa uang masih berpengaruh bagi pemilih dalam menentukan pilihan.  Survei LSI Denny JA memperlihatkan 47,8% pemilih terpengaruh politik uang. Begitu pula, survei Indo-Barometer yang menunjukkan sebanyak 45,6% mengaku akan menerima politik uang dan memilih calon yang memberi uang/barang.[[2]] Tak ketinggalan, survei oleh LIPI juga menyatakan, bahwa 40% masyarakat menerima uang dari peserta pemilu serta 37% masyarakat mengaku menerima uang dan mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka.[[3]] Amazing-kan?

Seturut berlajunya waktu ke era serba digital, politik uang ikut bertransformasi, seperti dalam bentuk giveaway di media sosial atau transfer uang di dompet digital dengan pelaku yang lebih beragam. Walaupun begitu, praktik politik uang memang terkesan semakin dinormalisasi. Menurut Direktur PERLUDEM (Khairunnisa Nur Agustyati), bahwa kandidat dan masyarakat lebih permisif, karena politik uang dianggap wajar dalam sistem pemilu demokratis yang kompetitif.[[4]] Eits tapi, masih ada yang mau giveaway tiket konser … gratis kan? Syaratnya gampang, jangan lupa berfoto dengan atribut … di baliho … ya.

Yap, keterlibatan pemilih dalam memberikan suaranya sangat dibutuhkan oleh calon. Setiap kandidat berupaya mendekati pemilih dengan menggunakan beragam cara. Dari yang memulai dengan gagasan program kerja, berkampanye melalui media, hingga memberikan sumbangan dana. Sadar atau abai, sebetulnya pemberian “bantuan” yang dilakukan oleh calon termasuk dalam kategori money politic. Pun demikian, money politic tidak hanya merujuk kepada individu-indivdu, melainkan juga kepada kelompok atau organisasi.[[5]] Sudah menjadi realita, bahwa praktik ini bisa berlangsung dari proses nominasi kandidat hingga hari-H nyoblos bukan?

Halusnya, politik uang merupakan upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi pada proses pemilihan umum. Bagi Bumke, politik uang terbagi dalam tiga dimensi, yakni vote buying (apa yang dibeli), vote broker (siapa yang membeli), dan korupsi politik (gimana cara belinya).[[6]] Kalau dibuat dalam struktur kalimat bahasa Indonesia, maka vote buying itu objeknya, vote broker ialah subjeknya, dan korupsi politik adalah predikatnya. Dengan hal ini dipahami pula, bahwa politik uang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung atau melalui perantara.

Dalam pelaksanaan pemilu, suara-suara dari tiap pemilih memang tidak boleh dipandang remeh, seperti suara dari generasi muda-mudi kiwari yang secara hukum dapat menggunakan hak pilih suaranya. Namun, acapkali golongan ini dinilai apolitis, sehingga menjadi target sasar yang tepat dalam politik uang.[[7]] Disamping itu, berdasarkan penelitian oleh Busco bersama Wantchekon mewartakan, bahwa kelompok masyarakat dengan taraf ekonomi menengah bawah serta tingkat pendidikan yang rendah merupakan sasaran utama politik uang.[[8]] Dan tak lupa, pendukung fanatik calon juga tak luput pertaliannya dengan politik uang.

Di bawah politik uang, keputusan-keputusan yang muncul tidak lagi didasarkan pada moral dan etika (benar-salah dan baik-buruk), tetapi sepenuhnya atas kehendak untung-rugi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bagi Aspinal contohnya, politik uang akan menciptakan fenomena klientelisme dan patronase. Pun dengan fitur defaultnya (acara/sponsor/dll) yang biasa menyediakan akses dalam bentuk fasilitas tertentu, sehingga membentuk pola hubungan pertukaran yang oportunis antar pelaku.[[9]] Lalu, sampai kapan fenomena ini bakal terus terjadi?

Sekadar melawan lupa. Politik uang tak disangka-sangka telah berhasil melahirkan patronase-klientelisme dalam politik elektoral, konflik serta kemerosotan layanan politik, pergeseran karakter-orientasi etnisitas dalam demokrasi, penyimpangan dana aspirasi-politik yang menodai kesejahteraan, mendominasinya pandangan hidup materialisme, aneka-ragam teknik dan target jual-beli suara, pudarnya jaringan sosial-teritorial, munculnya anak baru yang dinamai vote trading, pembajakan kepercayaan sosial serta amanah publik, dan terus berlangsungnya jual-beli pemilih dan penyelenggara. Ah sudahlah, yang penting “uang, barang, dan keluarga”, katanya?

Referensi:

  • Sidin, A. Irmanputra. 2004. “Politik Uang dan Penggelembungan Suara”. Diakses melalui https://antikorupsi.org/id/article/politik-uang-dan-penggelembungan-suara-020704.
  • Irawan, Ade. 2018. “Politik Uang dan Makelar Suara”. Diakses melaui https://antikorupsi.org/id/article/politik-uang-dan-makelar-suara.
  • Pahlevi, Moch Edward Trias; Amrurobbi, Azka Abdi. 2020. “Pendidikan Politik dalam Pencegahan Politik Uang Melalui Gerakan Masyarakat Desa”. INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi Vol. 06 No. 01.
  • Theodora, Agnes. 2024. “Politik Uang dan Komoditas ‘Suara Rakyat’”. Diakses melalui https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/11/politik-uang-dan-pemilu-pasar-bebas.
  • Lestari, Siwi; Sunarso. 2021. “Praktik Politik Uang (Money Politic) pada pemilihan Tepala Tesa Tawangsari Kabupaten Karanganyar Tahun 2019”. E-Civics: Jurnal Kajian Mahasiswa PPKn Vol. 10 No. 05.
  • Fitriani, Lina Ulfa; Karyadi, L Wiresapta; Chaniago, Dwi Setiawan. 2019. “Fenomena Politik Uang (Money Politic) Pada Pemilihan Calon Anggota Legislatif di Desa Sandik Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat Lina”. Jurnal RESIPROKAL Vol. 1 No. 1.
  • Sacipto, Rian Sacipto. 2019. “Tinjauan Wawasan Kaum Milineal Menghadapi Pelaksanaan Pesta Demokrasi”. ADIL Indonesia Journal Vol. 1 No. 1.
  • 2021. “Dampak Fenomena Politik Uang dalam Pemilu dan Pemilihan”. Awasia: Jurnal Pemilu dan Demokrasi Vol. 1 No. 2.
  • Huda, Muhammad Wahyu Saiful. 2022. “The Role of the Millennial Generation in the Creativity of the Anti-Money Politics Movement”. Journal of Creativity Student Vol. 7 No. 2.

[1] Sidin, A. Irmanputra. 2004. “Politik Uang dan Penggelembungan Suara”. Diakses melalui https://antikorupsi.org/id/article/politik-uang-dan-penggelembungan-suara-020704.

[2] Irawan, Ade. 2018. “Politik Uang dan Makelar Suara”. Diakses melaui https://antikorupsi.org/id/article/politik-uang-dan-makelar-suara.

[3] Pahlevi, Moch Edward Trias; Amrurobbi, Azka Abdi. 2020. “Pendidikan Politik dalam Pencegahan Politik Uang

Melalui Gerakan Masyarakat Desa”. INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi Vol. 06 No. 01.

[4] Theodora, Agnes. 2024. “Politik Uang dan Komoditas ‘Suara Rakyat’”. Diakses melalui  https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/11/politik-uang-dan-pemilu-pasar-bebas.

[5] Lestari, Siwi; Sunarso. 2021. “Praktik Politik Uang (Money Politic) pada pemilihan Tepala Tesa Tawangsari

Kabupaten Karanganyar Tahun 2019”. E-Civics: Jurnal Kajian Mahasiswa PPKn Vol. 10 No. 05.

[6] Fitriani, Lina Ulfa; Karyadi, L Wiresapta; Chaniago, Dwi Setiawan. 2019. “Fenomena Politik Uang (Money Politic) Pada Pemilihan Calon Anggota Legislatif di Desa Sandik Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat Lina”. Jurnal RESIPROKAL Vol. 1 No. 1.

[7] Sacipto, Rian Sacipto. 2019. “Tinjauan Wawasan Kaum Milineal Menghadapi Pelaksanaan Pesta Demokrasi”. ADIL Indonesia Journal Vol. 1 No. 1.

[8] Abdurrohman. 2021. “Dampak Fenomena Politik Uang dalam Pemilu dan Pemilihan”. Awasia: Jurnal Pemilu dan Demokrasi Vol. 1 No. 2.

[9] Huda, Muhammad Wahyu Saiful. 2022. “The Role of the Millennial Generation in the Creativity of the Anti-Money Politics Movement”. Journal of Creativity Student Vol. 7 No. 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *