Perang melawan ‘radikalisme’ menjadi wacana yang tersebar luas ke sejumlah wilayah lain, seperti perguruan tinggi, sekolah, dan masjid yang dianggap telah terpapar ‘radikalisme’. Beberapa profesor, dosen, dan mahasiswa yang dianggap radikal kemudian diproses oleh perguruan tinggi masing-masing. BNPT juga mengeluarkan daftar berisi tujuh universitas negeri ternama di Indonesia yang dianggap terpapar ‘radikalisme’, yang kemudian diklarifikasi oleh Menristekdikti sebagai dugaan belaka. Siapakah yang radikal?
Wartapilihan.com, Jakarta –Heru Susetyo selaku pakar hukum mengatakan, dalam kamus politik Indonesia kontemporer, ‘radikalisme’ adalah satu dari sekian istilah yang paling sering disalahpahami dan disalahgunakan. Terminologi yang sebetulnya telah lama digunakan di Indonesia ini kembali marak setelah kasus terorisme di Surabaya, Sidoarjo, dan Riau pada Mei 2018 ini.
“Media-media, pejabat negara, dan berbagai kalangan mengalamatkan kekerasan yang dilakukan para pelaku teror kepada satu sebab: radikalisme. Bagaimana cara mengatasinya? Deradikalisasi. Tapi tepatkah kampus-kampus negeri dicap terpapar ‘radikalisme’? Kalau iya, radikalisme yang seperti apa?” kata Heru, Rabu, (25/7/2018).
Kamus Merriam Webster mengartikan “radikal” sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan/politik. Kamus Inggris lainnya, Oxford Dictionary, memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial yang menyeluruh, seorang anggota dari suatu partai politik atau bagian dari partai politik yang melakukan upaya tersebut.
“Awalnya berkembang di Inggris Raya, istilah radikalisme mengacu pada aktivitas-aktivitas yang menuntut perluasan hak pilih bagi seluruh warga negara. Di Perancis pada abad ke-19, kata radikal merujuk pada aktivis tiga partai—Partai Republikan, Partai Sosialis Radikal, dan Partai Radikal—yang anti-monarki. Sebelum digunakan untuk mengidentifikasi kaum komunis dan anarkis, istilah kiri-jauh (far-left) dilekatkan pada politik dan ideologi ketiga partai ini,” terang Heru.
Sepanjang abad ke-19, lanjut Heru, para aktivis anti-perbudakan (abolisionists) di Amerika Serikat pun kerap dijuluki radikal oleh lawan-lawan mereka. Bahkan, John Brown, seorang kulit putih yang mengangkat senjata untuk membebaskan budak-budak kulit hitam diyakini sebagai “teroris domestik pertama Amerika”.
“Singkatnya, radikalisme tak melulu berhubungan dengan agama. Center for Prevention of Radicalization Leading to Violence (2018) menyebutkan beberapa ekstremisme, antara lain: right-wing extremism, politico-religious extremism, left-wing extremism, dan single-issue extremism. Ekstremisme dan radikalisme dibedakan berdasarkan komitmen atas penggunaan kekerasan. Sebagai catatan, tak semua orang dan kelompok radikal akan jadi ekstremis. Namun benih-benih ekstremisme tertanam melalui fase radikalisasi bertahap,” tegasnya.
Di Eropa, yang biasanya identik dengan muslim adalah imigran asal Afrika dan Timur Tengah, khususnya setelah Perang Sipil Suriah. Tak heran jika di Perancis dan Belanda hari ini, sejumlah kalangan sekular radikal beraliansi dengan gerakan-gerakan sayap kanan anti-imigran.
Negara Bisa Radikal
Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, negara bisa radikal dan melakukan aksi terorisme mengambil bentuk kekuasaan tirani. Bahkan dari kasus-kasus yang ada, kekerasan negara menyumbangkan korban lebih banyak daripada bentuk kekerasan dan radikalisme yang lain. Rummel (1994 dalam Williams, 2012) menghitung antara tahun 1900 sampai dengan 1987, sekitar 168 juta orang di dunia melayang nyawanya akibat dibunuh pemerintahnya sendiri.
“Terorisme negara, menurut Jack Kitaeff (2017), bisa juga berupa tindakan-tindakan kelompok teroris yang dipekerjakan oleh pemerintahan (atau faksi pemerintah) dan bertindak melawan warga negara, faksi-faksi lawan di dalam pemerintahan, maupun menghantam pemerintahan/kelompok asing,” tegas dia.
Ia pun memberikan contoh Uni Soviet dan sekutu-sekutunya yang diduga terlibat mendukung kelompok-kelompok bersenjata di berbagai belahan dunia yang kerap menggunakan metode terorisme selama era Perang Dingin. Rezim Pol Pot di Kamboja (1976-1979) membunuh sekitar tiga juta rakyat Cambodia.
“Di kubu lain selama Perang Dingin, Diktator Chili Augusto Pinochet (1973-1990) dan diktator Argentina Jorge Rafael Videla (1976-1981)—keduanya disokong Amerika Serikat—juga membantai orang-orang kiri di masing-masing negara melalui tangan serdadu dan paramiliter,” imbuhnya.
Definisi Radikal
Center for the Prevention of Radicalization Leading to Violence (2018) menyebutkan, dalam proses radikalisasi, orang mengadopsi sistem kepercayaan yang ekstrem—termasuk keinginan untuk menggunakan, mendukung dan memfasilitasi kejahatan—dengan tujuan untuk mempromosikan ideologi, proyek politik, atau perubahan sosial.
“Sementara bagi Bartol & Bartol (2017), radikalisasi adalah proses indoktrinasi terhadap individu sehingga ia menerima ideologi dan misi kelompok radikal tertentu. Orang yang terindokrinasi secara bertahap akan memaklumi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok yang mengindoktrinasinya,” terang Heru.
Berdasarkan esai yang dihimpun oleh BEM UI, radikalisme didefinisikan Oxford English Dictionary 2015 edition sebagai tindakan atau proses untuk mencapai dasar atau akar dari sesuatu15. Haines dan Freeman juga menyatakan bahwa organisasi atau aktivis radikal tidak hanya memberikan dampak negatif melainkan turut pula memberikan dampak positif.
Sartono Kartodirdjo juga mengartikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa
Sedangkan menurut Moskalenko dan McCauley (2009), radikalisme merupakan suatu istilah yang tergabung bersama dengan aktivisme dan terorisme sebagai suatu bentuk aktivitas politik yang menjadi bagian dalam partisipasi politik.
Stigmatisasi Perguruan Tinggi ‘Radikal’ dapat Berdampak
Menurut Zaadit Taqwa sebagai Ketua BEM Universitas Indonesia, ia mengatakan, stigmatisasi radikal yang disematkan kepada Perguruan Tinggi, khususnya radikalisme agama yang menghasilkan perilaku teror akibat ajaran takfiri, paham jihadis, dan anti-thogutnya.
“Belakangan, aksi teror atas nama perjuangan agama marak terjadi di banyak wilayah di Indonesia dan terkesan menciptakan suasana krisis yang harus segera ditanggulangi oleh pemerintah. Maka, dalam menghadapi kesan kegentingan dan krisis yang terjadi inilah, pemerintah bergerak cepat untuk menemukan akar masalah, termasuk jaringan-jaringan kelompok teror, dan mempublikasikan ajaran-ajaran atau pemahaman yang terindikasi radikal kepada publik agar mereka teredukasi,” tutur Zaadit, Rabu, (25/7/2018).
Hingga akhirnya, lanjut Zaadit, muncul rilis tujuh perguruan tinggi yang dinilai terpapar ideologi radikal, meskipun data risetnya masih dipertanyakan, dan menimbulkan polemik di lingkungan internal tujuh kampus tersebut.
“Cap radikal yang bernuansa berbahaya ini berpotensi menimbulkan pre-terrorism atau pra-terorisme, ia mematenkan hubungan antara identifikasi obsesif ‘individu berbahaya’ dan imajinasi pemberontakan di masa depan yang diikuti tindakan represif. Sebagaimana dikutip dari Alberto Toscano,” terang dia
Narasi-narasi yang diciptakan semacam ini, lanjut Zaadit, kemudian berkembang menjadi politics of fear, yakni penciptaan suasana ketakutan secara kolektif di masyarakat. Pencantuman tujuh nama Perguruan Tinggi terpapar radikalisme, dan penyebutan beberapa organisasi mahasiswa sebagai gerakan Islam sayap kanan yang bertindak sebagai agen radikalisme merupakan sedikit bentuk dari politik ketakutan itu.
“Ketika ketakutan telah tersebar luas, maka stigma negatif masyarakat akan tertanam kepada kelompok, organisasi, atau lembaga yang dituduhkan radikal tersebut. Rilis tujuh nama kampus yang terindikasi radikal oleh BNPT, dalam kadar yang paling minimal, telah memberikan dampak bagi penggiringan opini publik bahwa memang benar ketujuh lembaga itu disusupi ide-ide,” imbuh Mahasiswa Fakultas Matematika dan IPA ini.
Kekhawatiran berlebihan dalam kaitannya dengan preterrorism ini, kata dia, berpotensi menimbulkan persekusi, yakni perlakuan buruk terhadap seseorang yang baru diduga atau disangka melakukan atau akan melakukan suatu tindak kejahatan, padahal belum ada bukti yang mendukung.
Zaadit menambahkan, Pemerintah sudah seharusnya dapat mempertanggungjawabkan setiap perkataannya, terlebih atas sebuah klaim yang berpotensi menimbulkan misinterpretasi berujung kekhawatiran di kalangan masyarakat.
“Pernyataan pemerintah terkait daftar 7 (tujuh) perguruan tinggi yang terpapar radikalisme haruslah disertai dengan keterangan dan penjelasan mengenai konteks maupun pengertian radikalisme yang dimaksud.
Tentunya setiap dasar dan bukti yang ditransparansikan pemerintah akan membuat pernyataannya bukan sekedar memicu keresahan masyarakat terhadap perguruan tinggi dimaksud, tetapi juga dapat menjadi evaluasi bersama,” pungkas Zaadit.
Eveline Ramadhini