Wartapilihan.com, Bekasi – Gereja Santa Clara (GSC) yang beralamat di Jalan Raya Kali Abang Tengah (lingkar luar utara) Bekasi Utara, depan perumahan Villa Indah Permai adalah Gereja Katolik paroki yang disinyalir merupakan gereja Santa Clara terbesar di Indonesia. Sudah tiga kali gagal dalam pengurusan izin, karena mendapat penolakan dari warga sekitar dan umat Islam kota Bekasi.
Hari ini, Kamis (6/4), Warta Pilihan melakukan investigasi terhadap polemik pembangunan Gereja Santa Clara yang beralamat di Jalan Lingkar Utara, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara itu.
Gereja ini, berdiri di lahan seluas 6.500 meter persegi. Dari total lahan itu, hanya 1.500 meter persegi yang akan dibangun sebagai Gereja, sedangkan sisanya digunakan untuk membangun balai pengobatan, parkiran, ruang terbuka hijau hingga rumah pastor.
Kronologis Permasalahan
Pada 6 Januari 2015, terjadi pertemuan antara warga sekitar GSC dengan pemerintah daerah yang diprakarsai para Kyai di pondok pesantren An-Nur, Bekasi. Semua yang hadir dalam pertemuan itu dengan tegas menolak pendirian rumah Ibadah Katolik tersebut.
Pada 6 April 2015, diadakan audiensi dengan pemerintahan kota Bekasi yang dipimpin langsung oleh wali kota Bekasi, Rahmat Efendi. Pada kesempatan itu, warga yang dipimpin para Kyai menyampaikan keberatannya dan menyebutkan ada kejanggalan-kejanggalan dalam proses perizinannya.
Namun, entah kenapa beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Kota Bekasi mengeluarkan surat izin pembangunan rumah tersebut, sehingga menimbulkan kemarahan warga sekitar GSC.
Pada 10 Agustus 2015, warga sekitar yang dibantu sejumlah ormas dan kelompok massa di kota Bekasi melakukan unjuk rasa besar-besaran, dihadiri ribuan masa dari berbagai wilayah kota Bekasi.
Untuk meredam kemarahan warga, pemerintah kota mengadakan pertemuan dengan para Kyai bersama aparat, diantaranya FKUB, Kepolisian, Kemenag, para pimpinan daerah seperti Camat dan Lurah yang ada di lingkungan Bekasi Utara. Hasilnya mereka menyetujui tiga kesepakatan utama.
Pertama, mulai tanggal 10 Agustus 2015, Santa Clara dinyatakan STATUS QUO (tidak boleh ada kegiatan apapun) dan ditandai dengan dipasangnya plang STATUS QUO oleh PEMKOT.
Kedua, dilakukan verifikasi ulang oleh Majelis Silaturrahim Ummat Islam Bekasi (MSUIB) dan,
Ketiga, menjaga kondusifitas kota Bekasi oleh semua pihak.
Setelah melakukan melakukan verifikasi ulang dari tanggal 11 Agustus 2015 hingga November 2015, MSUIB menemukan manipulasi data, terdapat penipuan saat meminta izin warga, terdapat intimidasi, terdapat perbedaan lokasi izin dan lokasi tempat pendirian bangunan. Dimana izin dimintakan ke RW 06, sementara lokasi bangunan berada di wilayah RW 11.
Berarti ada cacat administrasi, kemudian berada dilingkungan permukiman Muslim. Dengan data-data di atas, MSUIB menyimpulkan FKUB telah salah dalam memberikan izin. Oleh karena itu, MSUIB menuntut agar izin pembangunan GSC dicabut.
Alhasil, pembangunan terus berlangsung walau sudah disepakati pemberlakuan status quo, nyatanya pembangunan GSC terus berlangsung hingga hari ini. Maka pada 24 Maret 2017 kemarin warga yang dipimpin MSUIB dan sejumlah ormas dan kelompok masyarakat lainya kembali melakukan aksi massa di depan bangunan GSC.
Disayangkan pada aksi ini terjadi keributan dengan aparat yang bertindak represif terhadap para demonstran, hingga menimbulkan korban. Enam demonstran dilaporkan luka-luka ditembak gas air mata dan terkena pemukulan benda tumpul. Buntut dari aksi ini, empat koordinator aksi dipanggil polisi.
Dalam kaitan ini, ketua Forum Dewan Kemakmuran Masjid Bekasi Raya yang diketuai, Ust. Ahmad Syahidin yang juga ikut dalam aksi massa pada 24 Maret kemarin menyatakan keprihatinanya dan berupaya mencari solusi dalam kemelut ini.
Ia bersama sejumlah DKM di Bekasi Utara dan sekitarnya melakukan audiensi dengan sejumlah pemimpin dan tokoh masyarakat untuk mencari solusinya. Diantaranya dengan Wakil Wali Kota Bekasi, Ahmad Syaikhu, dengan DPRD Kota Bekasi, MUI kota Bekasi dan berbagai pihak terkait, bahkan hingga MUI Pusat yang berkantor di Jakarta.
Hasil pertemuan dengan MUI Kota Bekasi Ahmad Syahidin menuturkan hasilnya masih normatif, baru mengetahui ada pemalsuan data dan akan didiskusikan dengan FKUB secepatnya.
Salah satu pemalsuan data selain tanda tangan adalah lokasi rumah ibadah yang tidak sesuai dengan pengajuannya.
“Kami punya data, Sekolah Panjatek yang berdampingan dengan Gereja Santa Clara minta izinnya ke RW 11, dan itu dilakukan pada tahun 2012, masa GSC yang baru minta izin tahun 2014, minta izinya ke RW06. Kita berencana melaporkan FKUB dan Kemenag ke polisi atas pemberian izin tersebut,” ujar Ahmad Syahidin.
Penjelasan FKUB Bekasi
Ketua FKUB Bekasi, H. Manan menjelaskan, pihaknya dengan Kemenag memiliki peran yang sama dalam verifikasi data dan laporan terkait izin pembangunan rumah ibadah.
“Sebetulnya sama dengan Departemen Agama, intinya itu Pemerintah Daerah bisa melanjutkan perizinan rumah ibadah dalam PP No. 8 dan 9 tahun 2006 apabila ada rekomendasi dari Kemenag dan FKUB. Jadi kalau FKUB merekomendasi, Kemenag tidak, iya tidak bisa. Begitu juga Kemenag merekomendasi, FKUB tidak, tidak bisa juga,” ujarnya kepada Warta Pilihan.
Dalam Peraturan Bersama MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI
Nomor : 9 Tahun 2006 dan Nomor : 8 TAHUN 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat Pasal 19 dikatakan:
(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan -gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB
kabupaten/kota.
(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 20
(1) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat.
(2) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.
“Saya merasa risih, kenapa ke FKUB terus. Jadi FKUB itu jangan menjadi patokan segala-galanya. Patuhi undang-undangnya, karena kalau FKUB salah, Kemenag juga salah. Sebab sama-sama meneliti 60 orang itu juga,” terang Manan.
Terkait laporan indikasi manipulasi data wilayah, ia menyerahkan hal itu kepada Kelurahan dan Kecamatan yang faham dengan lokasi wilayah setempat.
“Kalau Kemenag dan FKUB mengenai lokasi tersebut berpegang pada data hasil verifikasi Lurah Harapan Baru dan Camat Bekasi Utara, bahwa lokasinya di RW 06. Jadi dasarnya ya dari Kelurahan dan Kecamatan bukan ngarang atau nyulap. Agar lebih jelas bisa ditanyakan ke Lurah. Kan gitu mas. Wah kita tidak berani ngarang-ngarang mas,” pungkasnya. I
Reporter: Ahmad Zuhdi