Sekularisasi Institusional

by
Kota Istanbul

Oleh : Mohamad Latief, PhD (Dosen Politik Islam, Universitas Darussalam Ponorogo)

Wartapilihan.com – Dari satu pembacaan, upaya kriminalisasi Ulama dan pemimpin masyarakat Muslim oleh pihak kepolisian merupakan bagian dari sekularisasi politik. Dengan terasingnya keberadaan para ulama dari wilayah politik, maka peran mereka untuk membentuk dan mengawal kesadaran politik ummat Islam sedikit demi sedikit hilang. Ummat Islam akan kehilangan pemimpin dan panutan dalam berpolitik. Ketika panutan hilang, mereka akan terpecah belah dan terperangkap dalam permainan politik tanah air yang sekuler lagi pragmatis.

Belajar dari Turki

Keadaan seperti ini pernah terjadi di Turki. Di bawah Attaturk, pemerintah Republik Turki melancarkan serangkaian program strategis yang bertujuan untuk menghapus Islam sebagai agama negara. Harapannya, ketika Islam tidak lagi menjadi agama negara, maka sedikit demi sedikit peran dan pengaruh sosial-politiknya, kalau tidak hilang, akan tereduksi. Program-program tersebut dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu sekularisasi simbolik (symbolic secularization), sekularisasi institusional (institutional secularization) dan sekularisasi fungsional (functional secularization). (Talip Kucukcan 2003).

Secara sederhana, sekularisasi simbolik terkait dengan perubahan cara pandang atau persepsi dari suci (sacred) menjadi tidak suci (profane) terhadap simbol-simbol keislaman. Pada tahapan ini, proses terpisahnya politik dari Islam terjadi ketika, misalnya, alphabet Arab diganti dengan alphabet Latin, penggunaan kalender Gregorian, pakaian a la Barat, menjadikan hari Minggu sebagai hari libur nasional menggantikan hari Jumat dan sebagainya. Sementara itu, sekularisasi institusional terjadi ketika pemerintahan sekuler Attaturk berusaha mereduksi kekuatan dan pengaruh Islam dalam bidang politik. Umumnya hal ini ditandai dengan runtuhnya sistem khilafah pada 3 Maret 1924. Sedangkan sekularisasi fungsional terjadi pada dua wilayah yaitu Undang-Undang atau hukum dan pendidikan. Dalam bidang hukum, sekularisasi fungsional terjadi ketika, misalnya, hukum Shariah dihapus dan diganti dengan kitab undang-undang Barat yang diadopsi khususnya dari Swiss. Dalam bidang pendidikan, sekularisasi ini menjelma dalam penyatuan struktur pendidikan nasional. Untuk melaksanakan kebijakan ini, pemerintah sekuler Turki melalui Kementerian Pendidikan memaksakan suatu kurikulum sekuler yang harus diterapkan diseluruh lembaga pendidikan yang ada. Kementerian Pendidikan juga diberi kuasa penuh untuk melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.

Dalam konteks ini, penangkapan ulama dan pemimpin Muslim di Indonesia merupakan salah satu bentuk atau proses sekularisasi institusional. Dengan ditangkapnya para ulama dan pemimpin Muslim tersebut, maka pengaruh Islam dalam bidang politik menjadi berkurang. Dan dalam tahap yang lebih ekstrim, diharapkan pengaruh ini hilang sama sekali.

Padahal keberadaan para Ulama dalam konstelasi politik tanah air sangat penting dan memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Sepanjang lintasan sejarah tanah air, Ulama selalu menempati posisi yang istimewa dan mengambil peran sosial-politik dan keagamaan yang sangat terhormat. Pada masa pra-kolonial, cukup banyak Ulama yang diangkat sebagai penasihat Raja atau pejabat resmi istana. Dalam sejarah kerajaan Samudera Pasai, misalnya, disebutkan bahwa pada awal abad ke-13, Ulama dan Umara (Raja) memiliki hubungan yang sangat erat. Demikian juga dalam sejarah Kerajaan Melaka pada awal abad ke-15, para Umara dan elit kerajaan sering terlibat dalam diskusi dan pengajaran tentang Islam. (Jajat Burhanuddin, 2012). Demikian juga ketika kerajaan-kerajaan Islam lainnya mulai bermunculan di Nusantara, seperti Kerajaan Demak, Mataram, Banten, Cirebon dan sebagainya, pertautan yang harmonis antara Umara dan Ulama selalu terjaga. Pada ketika itu, cukup banyak Ulama yang terlibat langsung dengan politik seperti Muhammad Arshad al-Banjari, Shekh Yusuf al-Makassari, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Nuruddin al-Raniri, para Wali Sembilan dan sebagainya.

Lebih lanjut, dalam konteks perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia, peran dan kontribusi para Ulama sangatlah besar. Sejarah mencatat bahwa masa-masa sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia adalah periode yang paling banyak diwarnai oleh pergerakan-pergerakan dan perjuangan Islam dalam rangka melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Pada umumnya, para Ulama mendorong, menggerakkan dan menjiwai gerakan perjuangan melawan kolonialisme tersebut. Bahkan terkadang mereka terlibat langsung dalam revolusi fisik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Cukup banyak nama yang dapat disebutkan disini seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Raden Fatahillah, Bung Tomo, Panglima Jenderal Soedirman dan sebagainya. Demikian juga pada periode selanjutnya yaitu paska kemerdekaan. Kita akan disodorkan sederetan nama Ulama yang juga pejuang dan pelaku politik seperti Agus Salim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ash’arie, Ahmad Surkarti, Mohammad Natsir, Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan sebagainya.

Saat ini ummat Islam masih memiliki Ulama dan pemimpin dalam bidang politik. Terdapat sederet nama yang dapat disebutkan seperti Prof. Dr. M. Amin Rais, KH. Ahmad Hasyim Muzadi, Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Habib Riziq Shihab dan sebagainya. Tidak hanya terlibat langsung dengan politik praktis, para Ulama dan pemimpin Muslim ini tidak henti-hentinya memberikan kontribusi mereka berupa nasehat dan peringatan terhadap ummat Islam. Nasehat dan peringatan ini disampaikan dalam rangka amr ma’ruf nahy munkar. Tak heran terkadang mereka harus menghadapi penolakan dan perlawanan karena nasehat tersebut disampaikan dihadapan pemimpin yang menyimpang. Memang, perjuangan di bidang politik ini tidaklah mudah. Namun hal ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam. Maka tak heran, selain berjuang di jalur politik, para pemimpin Muslim ini juga menyibukkan diri untuk membina ummat Islam melalui jalur pendidikan, organisasi kemasyarakatan, birokrasi dan hukum. Maka menjadi sulit untuk dibayangkan bagaimana ummat Islam dapat menjalani kehidupan mereka tanpa kehadiran para Ulama dan pemimpin Muslim tersebut. Dengan demikian, eksistensi Ulama dan para pemimpin Muslim ditengah-tengah ummat Islam adalah sebuah keniscayaan.

Penutup

Upaya kriminalisasi Ulama dan pemimpin Muslim yang saat ini terjadi di Indonesia, merupakan sebuah kebijakan yang tidak bijaksana. Dengan melakukan langkah seperti ini, pemerintah telah melakukan kebijakan yang tidak populer dan dapat dicap tidak demokratis alias otoriter. Kebijakan represif ini juga tidak populer karena dapat mencetuskan perlawanan dari ummat Islam. Apatah lagi, timbul kecurigaan di kalangan masyarakat bahwa kebijakan tersebut dilakukan secara tebang pilih. Tentu permusuhan antara pemerintah dan masyarakat akan semakin meruncing dan tidak dapat dielakkan. Selain itu, dengan menjauhkan Ulama dari ummat Islam, maka secara institusional, pemerintah telah memisahkan antara Islam dan politik. Padahal kedua-duanya adalah dua entitas yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Inilah sekularisasi institusional. II

 

Referensi

Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekasaan; Pergumulan Elit Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia (Jakarta: Mizan, Juni 2012), 15-17.

Talip Kucukcan, State, Islam, and Religious Liberty in Modern Turkey: Reconfiguration of Religion in the Public Sphere, Brigham Young University Law Review; June 2003, Vol. 2003 Issue 2, 486-488.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *