Hari Anak Nasional (HAN) diperingati setiap tanggal 23 Juli sesuai keputusan Presiden Soeharto, Mantan Presiden RI tercantum dalam Keppres nomor 44 tahun 1984, di tanggal 19 Juli 1984. Presiden Soeharto melihat, anak-anak merupakan aset kemajuan bangsa.
Wartapilihan.com, Jakarta -Di belahan dunia yang lain, Hari Anak Internasional diperingati setiap 1 Juni, dan Hari Anak Universal diperingati pada 20 November yang diumumkan oleh PBB.
Adapun pada masa Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono mengganti nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Penggantian nama ini diharapkan, masalah anak dapat tertangani dengan baik.
Prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yaitu (1) non diskriminasi; (2) kepentingan yang terbaik bagi anak; (3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak dan (3) penghargaan terhadap pendapat anak.
Persoalan Hak Anak juga diatur dalam Undang-Undang no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana anak memilik hak untuk dapat hidup, tumbuh serta berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Anak juga memilik hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan, hak untuk beribadah menurut agamanya (keyakinannya), berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orangtua, hak untuk mengetahui orang tuanya (orang tua kandung), dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, spiritual, mental, dan sosial, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya, hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilainilai kesusilaan dan kepatutan. hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebayanya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakatnya, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, dan juga hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi setiap anak penyandang cacat
Peringatan HAN (Hari Anak Nasional) mempunyai tujuan dalam rangka meningkatkan kesadaran si anak akan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya kepada orangtua, masyarakat, lingkungan serta kepada bangsa dan negara.
Peringatan ini juga merupakan kesempatan untuk terus mengajak seluruh komponen warga atau bangsa Indonesia, baik itu orangtua, keluarga, masyarakat termasuk dunia usaha, maupun pemerintah dan negara, untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu tentang Perlindungan Anak,
Permasalahan yang Masih Banyak Soal Anak
Kendati UU telah dirancang tentang perlindungan anak, demikian juga dengan pembentukan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan anak, secara realitas masih banyak anak-anak yang memiliki permasalahan. Mulai dari permasalahan bullying, hingga ke masalah paling serius tentang pelecehan seksual terhadap anak.
Data statistik menunjukkan, pada tahun 2011 hingga 2017, terdapat kurang lebih 27 ribu kasus bullying terhadap anak yang terlapor kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kasus ini pun hanya yang dipermukaan, belum lagi yang tidak terlapor.
Masih data yang dirilis KPAI, pelecehan seksual pun dialami oleh anak hingga 58 persen, meliputi sodomi, pemerkosaan, incest dan juga kekerasan fisik dan penelantaran. Sementara menurut laporan yang dirunut oleh tirto.id, 73,7 persen anak Indonesia mengalami kekerasan di rumahnya sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan, kasus yang menimpa anak-anak in menjadi tanggungjawab bersama, baik pemerintah, LSM, guru maupun orangtua dalam mendidik dan memberikan pemahaman soal bullying, edukasi seks yang mesti digencarkan, juga menghindarkan anak dari narkoba dan obat-obatan terlarang. Pasalnya, 40 hingga 50 tahun kemudian, merekalah yang akan jadi pemimpin bagi bangsa Indonesia.
Anak Belum Merdeka dari Makanan Berbahaya
Masih terjadinya peredaran dan konsumsi pangan yang berbahaya bagi anak menjadi tantangan peningkatan derajat kesehatan manusia Indonesia.
Jika anak-anak Indonesia tidak dilindungi dari makanan dan minuman terutama pangan olahan termasuk jajanan yang mengandung zat berbahaya, derajat kesehatan dan kualitas bangsa di masa depan akan semakin turun.
Menurut Ketua Komite III DPD RI yang membidangi persoalan perlindungan anak Fahira Idris, dari berbagai persoalan dan tantangan utama yang dihadapi anak-anak Indonesia mulai dari kekerasan, perundungan, pendidikan anak, hingga stunting, pangan berbahaya yang mengintai anak-anak juga menjadi salah satu persoalan serius yang patut mendapat perhatian semua pihak.
“Masih banyak tantangan perlindungan anak di negeri ini. Pangan berbahaya yang mengintai anak-anak kita, bagi saya menjadi persoalan serius yang harus segera diurai kerena kualitas pangan anak yang tidak baik akan menganggu tumbuh kembang anak baik fisik, kemajuan psikologis, serta pengenalan daya nalar.
Tentunya ini berbahaya bagi masa depan negeri ini. Kita harus lindungi anak-anak kita dari pangan yang mengandung zat-zat berbahaya,” ujar Fahira Idris.
Fahira mengungkapkan, saat ini begitu banyak produk makanan baik produksi pabrikan maupun jajanan anak sekolah yang menjadikan anak-anak sebagai target pasar, tetapi mengabaikan efek samping kesehatan yang akan dialami anak jika dikonsumsi apalagi dalam jumlah banyak dan waktu yang panjang.
Bahaya semakin mengintai anak, saat orang tua juga tidak mempunyai pengetahuan cukup dan kasadaran tinggi untuk memilih dan menyaring makanan apa saja yang boleh dikonsumsi anak.
“Kerap kita temui makanan dan minuman yang katanya boleh buat anak-anak tetapi mengandung bahan tambahan pangan yang sebenarnya tidak baik, mulai dari pemanis buatan, pewarna makanan, lemak trans dan minyak terhidrogenasi parsial, sodium benzoat, pengawet kimiawi, dan zat tambahan lainnya. Belum lagi masih ditemukan jajanan anak yang mengandung zat-zat berbahaya,” tukas Anggota DPD DKI Jakarta ini.
Misalnya saja, lanjut Fahira, produk makanan yang mengandung pengawet kimiawi yang menurut berbagai penelitian jika sering dikonsumsi akan memengaruhi sistem saraf, serta fungsi ginjal dan hati pada anak-anak.
Untuk itu, sambung Fahira, para pengambil kebijakan di bidang kesehatan di negeri ini harus lebih intensif mengedukasi dan mengkampanyekan terutama kepada orang tua agar melindungi anak-anak mereka dari makanan dan minuman yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya bagi kesehatan anak.
Selain itu, yang tidak kalah penting, Pemerintah harus menegaskan kepada semua produsen makanan yang menjadikan anak-anak sebagai terget pasarnya untuk berlaku jujur dan memberi peringatan kandungan zat dalam makanannya yang diproduksinya.
“Kasus SKM (susu kental manis) bisa jadi pelajaran bahwa pangan yang selama ini kita anggap sehat dan baik bagi anak ternyata peruntukannya bukan untuk diminum sehari-hari seperti yang selama ini jamak kita lakukan, karena SKM bukan susu,” pungkas Ketua Umum Gerakan Perlindungan Perempuan dan Anak ini.
Eveline Ramadhini