Kehidupan di Indonesia bagi keluarga pengungsi Rohingya menjadi secercah harapan terang untuk dapat hidup layak sebagaimana warga negara manapun di dunia.
Wartapilihan.com, Jakarta — Myanmar bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi para Muslim Rohingya. Mereka dilucuti kewarganegaraannya dan tidak diakui sebagai bagian dari Myanmar. Tahun 2016 menjadi peristiwa besar yang menyedihkan bagi Muslim Rohingya.
Rakhine State, negara bagian dari Myanmar tempat mereka menetap dan menjalani hidup “dibersihkan” dari Muslim Rohingya. Sebagian besar mereka beralih ke Bangladesh. Sedang sebagian lagi pergi mengadu kehidupan yang lebih layak ke negara lain.
Mohammad Tahsin (18), seorang pemuda Muslim Rohingya dengan keberaian besar membawa Ibunda Khadijah (45) dan Adiknya Tasnova (10) ke Malaysia untuk dapat memiliki harapan kehidupan yang lebih layak. Ia memiliki tiga semangat besar dengan membawa keluarganya menuju kehidupan yang lebih baik.
Pertama, mendapatkan kartu identitas resmi dari PBB, sehingga memiliki tiket utama untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja. Kedua, mengenyam pendidikan yang lebih tinggi bagi ia dan adik perempuannya. Ketiga, menjalankan roda perekonomian keluarga dengan baik untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga, minimal kebutuhan dasar.
Tahun 2006 menjadi waktu terakhir bagi Tahsin dan keluarga menjalani kehidupan di Rakhine State, Mynmar. Ayahnya, Bapak Shahid yang bekerja sebagai petani padi dan sayuran, bersama dengan penduduk Rakhine lainnya dipekerjakan secara paksa untuk membantu membuat rumah atau bangunan lainnya yang dikehendaki oleh Militer Myanmar. Setiap bulannya, dua hingga tiga kali pekerjaan paksa ini harus dilakukan tanpa adanya pemberian upah.
Tahsin yang saat itu berumur lima tahun jatuh sakit saat ayahnya sedang dipekerjakan paksa oleh Militer Mynmar. Ibu Khadijah yang hanya sebagai ibu rumah tangga biasa merasa khawatir dengan kondisi kesehatan anak laki-laki pertama mereka. Oleh karena itu, ia mengirimkan pesan kepada seseorang untuk menyampaikannya kepada Ayah Tahsin untuk memberitahukan kondisi anaknya yang sakit.
Setelah mendengar berita tersebut, Ayah Tahsin ingin segera kembali kepada keluarganya di rumah. Akan tetapi, tidak mendapatkan izin pulang dari Militer Myanmar sebelum pekerjaannya selesai. Maka ayahnya mencoba untuk kabur secara diam diam. Sayangnya aksi itu diketahui oleh Militer Mynamar. Mereka menyiksa Ayah Tahsin dengan tragis, sehingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Keadaannya sangat buruk ketika sampai rumah. Dalam waktu singkat, Ayah Tashin memutuskan untuk keluarganya untuk meninggalkan kampung halaman Mynmar menuju Bangladesh.
Hari-hari berikutnya di Bangladesh ternyata lebih sulit dari yang dibayangkan oleh keluarga yang beranggotakan Ayah, Ibu, Tahsin, dan adiknya Tasnova. Sejak ayahnya disiksa secara tragis oleh Militer Mynmar, Ia tidak dapat lagi melakukan kerja berat di luar rumah. Ibunya yang memiliki keahlian menjahit, membuka usaha kecil jahit di rumah.
Namun, hanya memberikan penghasilan yang sedikit bagi keluarga. Keadaan tersebut ditambah dengan kelahiran anak perempuan di tengah keluarga mereka pada tahun 2008. Tasnova menjadi anggota keluarga pengungsi Muslim Rohingya Mynmar yang lahir di Bangladesh. Ayahnya menjadi sangat kecewa atas hal ini dengan ketidakmampuannya menghidupi keluarga.
Kekacauan dalam keluarga semakin hari semakin bertambah. Hingga pada pertengahan tahun 2010, ayahnya pergi untuk bekerja tetapi tidak pernah kembali lagi. Sampai saat ini, tidak ada satu pun dari pihak keluarga yang mengetahui keberadaan ayahnya dan kepastian mengenai apakah ayahnya masih hidup ataukah tidak. Setelah itu, keluarga yang beranggotakan Ibu dan ketiga anaknya mereka mengalami kesulitan yang terus menerus.
Puncak dari kesewenangan Militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya terjadi pada Oktober 2016. Isu perbedaan ras dan agama memancing Militer Myanmar untuk membakar rumah warga, mengambil harta kepemilikan secara rampas, memerkosa para perempuan, hingga membunuh sebagian warga Muslim Rohingya.
Akibat kejadian tersebut, 700 ribu Muslim Rohingya mengungsikan diri ke Bangladesh, para petugas keamanan Bangladesh memperketat pengamanan. Bagi setiap pengungsi Rohingya yang masuk ke dalam pengungsian, sulit untuk mendapatkan izin keluar lagi. Tahsin dan keluarga yang saat itu menyewa rumah kecil di Teknaf, Bangladesh, memiliki kesempatan untuk bergabung dengan saudara-saudara Muslim Rohingya lainnya di pengugsian.
Tetapi situasi di pengungsian sangat buruk. Terjadi berbagai krisis yang menimpa para pengungsi Muslim Rohingya di Myanmar; krisis kekurangan makanan, pakaian, tempat penginapan, kesehatan, dan obat obatan. Mereka merasa apabila pindah ke tempat pengungsian dan hidup di sana bukanlah solusi yang tetap.
Ia dan keluarganya akan terus tidak memiliki identitas diri resmi, disamping banyaknya krisis yang mengancam. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk pergi merantau ke Malaysia karena mendapatkan informasi banyak Muslim Rohingya yang pergi melarikan diri ke Malaysia.
Dengan jumlah uang terbatas, Tahsin, Ibu Khadijah, dan Tasnova berhasil mendapatkan kesempatan menaiki kapal untuk pergi ke Malaysia dari Bangladesh. Saat itu, Tahsin menceritakan seluruh kondisi keluarganya kepada pemilik kapal mengenai hal-hal yang mendorong ia untuk mencari tempat penghidupan yang lebih layak dan mungkin Malaysia adalah jawabannya.
Setelah menempuh perjalanan 14 hari, tiga pengungsi Muslim Rohingya ini tiba di Malaysia. Perjalanan begitu sulit dengan jumlah makanan yang tidak mencukupi untuk seluruh penumpang selama 14 hari perjalan dan tidak adanya fasilitas kesehatan, sehingga ada satu anak kecil yang mengalami sakit hingga akhirnya meninggal dunia dan ditenggelamkan di laut.
Setelah sampai di Kuala Lumpur, Malaysia, mereka mendapatkan informasi bahwa kantor PBB di Malaysia tidak dapat mengeluarkan kartu identitas resmi bagi para pengungsi Rohingya. Tahsin menjelaskan bahwa ia dan keluarganya mencari tempat yang aman untuk tinggal, tempat dimana setidaknya mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Kemudian, salah satu saudara Rohingya di Malaysia merekomendasikan mereka untuk ke Indonesia. Ia menjelaskan kepada Tahsin dan keluarga, bahwa mereka bisa mendapatkan izin tinggal di Indonesia dengan kartu dari PBB dan mungkin ia dan adik perempuannya dapat melanjutkan studi di Indonesia.
“Kami benar-benar merasa pasrah. Kami tidak memiliki apupun, kecuali Allah.” ungkap Tahsin kepada Tim LAZNAS Dewan Da’wah saat mengutarakan fikirannya sewaktu menuju Indonesia dari Malaysia. Mereka menyerahkan diri sepenuhnya dan berharap pada pertolongan Allah untuk memberikan kehidupan yang layak di Indonesia sebagaimana yang mereka harapkan. Akhirnya mereka pun tiba di Medan, Sumatera Utara.
Setelah tiba di Medan, mereka tinggal selama dua hari bersama saudara Muslim Rohingya. Tahsin dan keluarganya mendapat rekomendasi dari pamannya di Amerika dan Australia untuk menghubungi sebuah lembaga yang dapat membantu ia dan keluarganya ke kantor PBB di Jakarta.
Lembaga tersebut adalah LAZNAS Dewan Da’wah. Ternyata bagi Tahsin dan keluarga, lembaga ini lebih dari memberikan bantuan mengantarkan mereka ke kantor PBB, sehingga mendapatkan kartu identitas diri yang resmi.
“Alhamdulillah, mereka membantu kami lebih dari sekedar bantuan. Mereka memberikan perhatian yang besar kepada kami. Mereka menolong kami untuk mendapatkan kartu identitas diri resmi dari PBB. Mereka membantu kami secara finansial. Mereka menyediakan dan mencarikan tempat tinggal untuk kami. Kami tidak dapat membayar semua ini kepada mereka. Mereka membantu segalanya yang bisa dilakukan untuk kami,” kata Tahsin saat mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada LAZNAS Dewan Da’wah yang membantunya untuk mendapatkan hidup lebih layak di Indonesia.
Kini, Tahsin dan keluarganya ingin mandiri hidup di Indonesia. Tanpa tekanan seperti di Myanmar maupun tanpa krisis seperti di Bangladesh. Dengan kartu identitas diri resmi dari PBB, ia dan keluarga berharap dapat melanjutkan kehidupan yang jauh lebih baik daripada di kedua negara yang pernah mereka tinggal. Memiliki pekerjaan untuk dirinya, membuka usaha bagi ibunya, dan melanjutkan studi bagi adik perempuannya adalah hal yang ia harapkan kedepannya dengan memilih tinggal dan membuka lembaran hidup baru di Indonesia.
Jumat (6/7), Ibu Khadijah memasak beberapa menu makanan Myanmar untuk diujicobakan kepada staf LAZNAS Dewan Da’wah. Menu makanan tersebut meliputi, kari daging, sup udang, salad (acar) dan udang goreng. Semuanya dimasak sesuai dengan khas Mynamar. Selain itu, nasi yang disajikan ditambah dengan jeruk nipis seperti kebiasaan sehari-hari orang Myanmar.
Hal ini dilakukan oleh Ibu Khadijah dan keluarganya untuk berusaha untuk membuka usaha dan tidak bergantung dengan pihak manapun. Kehidupan di Indonesia bagi keluarga pengungsi Rohingya ini berharap menjadi secercah harapan terang untuk dapat hidup layak sebagaimana warga negara manapun di dunia.
Melati | Zuhdi