Sebagaimana jamak kita ketahui, bahwa risalah Islam diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai rahmat bagi alam semesta. Para Nabi dan Rasul diberi amanah memperbaiki tatanan kehidupan agar sesuai dengan kehendak-Nya. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Mengapa akhlak? Karena dengan akhlak yang baik roda kehidupan manusia berjalan sesuai dengan petunjuk-Nya. Tanpa akhlak, kehidupan manusia tiada arah, satu sama lain akan saling berbenturan, dan berujung kepada perseteruan yang tiada henti. Akhlak adalah infrastruktur kehidupan agar terjadi kedamaian, kenyamanan, dan keamanan, baik untuk individu maupun kelompok atau komunitas.
Dalam tatanan kehidupan yang diatur dengan sistem Islami, selain akidah, syariah dan akhlak menjadi satu paket. Jika paket “Akidah-Syariah-Akhlak” itu berjalan sesuai dengan ketentuan, maka rahmat akan selalu menghiasi kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika paket tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, laknat dari Allah akan menimpa umat manusia. Penistaan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya tidak boleh terjadi. Karena itu akan merusak tatanan sosial-kemasyarakatan.
Di jaman Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam memimpin negara Madinah, pidana apa yang dijatuhkan kepada penista Allah, Rasul-Nya, dan Al-Quran? Ada seorang perempuan Yahudi yang setiap saat mencaci-maki Baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam; ada seorang perempuan yang menista beliau dengan syair-syair yang ditulisnya; ada lelaki Yahudi, Abu Rafi’, yang selalu memusuhi dan menghasut umat; ada Ka’ab bin Asyraf yang telah menista Allah dan Rasul-Nya. Tak ada pidana lain kecuali hukuman mati untuk mereka yang telah menista Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya, itu.
Lalu, bagaimana bila negara tidak dikelola secara Islami? Para penista agama tentu tidak mendapatkan hukuman sebagaimana hukum pidana Islam. Meskipun demikian, ajaran Islam punya kaidah untuk bersikap kepada para penistanya, sebagaimana tersurat dalam firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
Juga, perhatikan Sabda beliau,
من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يسطتع فبقلبه
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran diantara kalian maka ubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya.” (HR. Muslim)
Inilah kaidah syar’i. Karena itu, menentang orang yang melakukan penistaan dan memperolok-olok terhadap Allah, Nabi-Nya, dan Kitab-Nya, adalah fardhu ‘ain, sesuai dengan kesanggupannya. Amar makruf nahi munkar dikedepankan. Jika setelah diberi nasihat tetap saja melakukan hal yang sama, maka orang tersebut harus dijauhi. Pada waktu yang bersamaan, kita ingatkan orang-orang untuk tidak bergaul dan berkawan dengan Sang penista itu. Para penista tidak boleh dijadikan teman duduk atau mengajaknya ngobrol sambil ngopi atau makan bersama. Inilah bentuk pensikapan terhadap para penista agama. Jika itu dilakukan, dampaknya akan sangat luas, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Di dunia Sang penista sudah dikucilkan atau mengucilkan diri karena tidak ada orang yang mau bergaul dengan dirinya. Ia akan membayar kontan di dunia. Ini belum lagi hukuman Allah yang akan ditimpakan kepada para penista itu, di dunia. Kita tidak tahu dengan cara apa Allah akan menghukum Sang penista di dunia. Sedangkan di akhirat, tentu siksa Allah nan pedih sudah menanti.
Oleh sebab itu, jika jaksa menuntut Sang penista dengan hukuman percobaan, dan jika majelis hakim menjatuhkan hukuman tidak sesuai dengan rasa keadilan umat, tidak perlu disikapi dengan cara-cara yang justru keluar dari akhlak Islami. Tunjukkan bahwa umat Islam itu punya akhlak nan tinggi yang bersumber dari kitab Suci yang dinista itu. Selebihnya kita tawakkal sepenuh-penuhnya kepada Allah. Wallahu A’lam.
Herry M. Joesoef