Belakangan sedang viral, foto kuda laut yang membawa cotton bud di ekornya yang gambarnya diabadikan di Instagram oleh Justin Hofman di laut Sumbawa. Ia merupakan aktivis Sea Legacy di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Wartapilihan.com, Jakarta — Laut Indonesia menjadi markas akhir bagi sampah-sampah. Setiap tahun, 1,2 juta ton sampah plastik dibuang kesana. Kini, Indonesia sudah jadi negara kedua penghasil sampah terbesar setelah Cina. Menurut Justin, hal ini sangat menyedihkan.
“Ini adalah foto yang saya harap tak pernah ada, tapi sekarang ada dan saya ingin semua orang melihatnya. Apa yang dimulai sebagai sebuah kesempatan memotert seekor kuda laut yang lucu berubah jadi sebuah rasa frustasi dan kesedihan,” ujar Justin, di akun Instagramnya, beberapa waktu lalu.
Hal senada diungkapkan oleh Rahma, ketua Ranting Hijau. Menurut dia, seluruh pihak harus terjun untuk berkonsentrasi pada masalah sampah ini. Selain itu, ia mengatakan, penting juga untuk membawa mindset tentang 3R sampah, minimal dapat mensosialisasikan budaya memilah sampah.
“Nah, proses ini butuh waktu dan kesabaran untuk terus di gaungkan di tengah masyarakat menurutku. Supaya sampah ga jadi sampah lagi, tapi sampahnya termanfaatkan kembali,” ujar alumni Program Studi Geografi Universitas Indonesia angkatan 2013 ini, kepada Warta Pilihan, Kamis, (21/9/2017).
Rahma melanjutkan, negeri Kanada dapat jadi inspirasi dan teladan. Pasalnya, sampah di negara tersebut justru diimpor untuk di jadikan bahan pembangkit listrik, sehingga sampahnya tidak bersisa.
Ia berharap, Indonesia dapat menyelesaikan masalah sampah ini, juga dapat menjadi pemuda dan solutif dan kontributif. “Semoga indonesia juga bisa menyelesaikan masalah sampah ini, ya. Kita menjadi bagian yg berperan dalam solusi tersebut,” pungkas dia.
Akar Masalah Sampah di Laut
Pakar Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia, Abdul Rahman, ada beberapa akar permasalahan yang sebabkan laut penuh dengan sampah. Hal ini, menurut dia berkaitan dengan (1) perilaku manusia yang gaya hidupnya meningkat, (2) produksi plastik masal, dan (3) ketidakadilan dalam konsumsi energi.
“Kalau saya lihat, pada dasarnya permasalahan sampah ini adalah karena peningkatan standar kualitas hidup manusia. Dulu, yang sebelumnya kita menghasilkan barang diproduksi satu per satu, sekarang jadi massal. Sehingga murah, standar hidupnya meningkat,” ungkap Rahman, kepada Warta Pilihan, Jumat, (22/9/2017).
Menurutnya, hal itu berefek pada eksploitasi alam yang semakin meningkat. “Contoh, dulu mencuci pakai tangan, sekarang pakai mesin cuci. Pakai mesin cuci harus pakai listrik, listrik dari batu bara. Batu bara pun juga ada limbahnya,” tandas dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.
Kedua, banyaknya diproduksi plastik; kemasan plastik telah menggantikan daun jati, dan juga daun pisang karena plastik digadang lebih murah dan bisa awet bertahun-tahun. “Kalau plastik bertahun-tahun bisa dipakai. Harganya murah, sebagai akibatnya tidak bisa lagi kembali ke alam. Daya beli masyarakat menjadi menurun, dulu orang bisa gunakan daun jati dan pisang, sekarang sudah tidak ada lagi komoditas di desa,” lanjutnya.
“Yang kita lihat hari ini hanya dampak saja. Kalau kita kembali lagi ke kebutuhan dasar, InsyaaAllah kita baik-baik saja. Yang jelas, menghancurkan plastik lebih mahal daripada membuatnya,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini