Menyelinap ke Kamp Pengungsi
Pada awal Juni Ramadhan 2018, Laznas Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (LAZNAS Dewan Dakwah) bersama Baznas, PKPU Human Initiative, Daarut Tauhiid Peduli, Rumah Zakat, dan Laznas LMI yang tergabung dalam Indonesia Humanitarian Alliance (IHA), menyalurkan bantuan ke pengungsi di Kamp IDP dan desa-desa miskin sekitarnya.
Bantuan kolektif diberikan berupa paket bahan pangan sebanyak 1.470 paket untuk 1.470 keluarga atau 8.592 jiwa. Para penerima tersebar di sejumlah pinggiran Sittwe, yakni Kamp Ohn Daw Gyi dan Ba Sara, serta Desa Ohn Daw Chai, Ohn Daw Gyi, Uyin Thar, Se Tha Dal, Thay Chaung, dan Zaw Buja.
Bantuan yang dikemas oleh Tim MAUK (Muslim Aid United Kingdom) Myanmar, itu terdiri: beras, minyak doreng, kacang, cabe, bawang putih, bawang merah, mie instan, gula, dan susu.
Untuk memasuki dan menyalurkan bantuan ke tempat-tempat itu, IHA harus mendapat ijin dari penguasa darurat militer setempat. Ijin ini tidak mudah, tergantung situasi terakhir di lokasi, juga kemauan pejabat berwenang.
Kafilah IHA angkatan awal Ramadhan ini misalnya, baru mendapat exit-permit memasuki kamp setelah menunggu hampir sepekan di Myanmar. Ijin diberikan hanya untuk beberapa hari tertentu dan jam tertentu pula (Dhuhur-Ashar).
Dalam masa penantian itu, LAZNAS Dewan Dakwah mengunjungi Kamp Than Taw Li secara mandiri. Person kamp yang dikontak tidak begitu saja percaya pada saya. Setelah dua hari dia melakukan ‘’scanning’’ tentang diri saya, barulah memberi lampu hijau untuk bersua.
Screening dilakukan dengan mengonfirmasi nama saya ke sejumlah aktivis kemanusiaan di Myanmar, Bangladesh, maupun Indonesia. Ia juga meng-kepo–in FB saya.
Untuk menemuinya, pria itu memberi foto kertas bertuliskan nama sebuah tempat, dalam Bahasa Burma. Artinya, pusat padang golf. Dari hotel, saya harus menuju ke pick up point itu. Saya diminta menunjukkan foto via WA (whatsapp) ke sopir taksi yang saya tumpangi. ‘’Ongkosnya 7000 Kyats atau paling mahal 10.000,’’ pesannya. Waktu itu, 1 Myanmar Kyats (MMK) setara sekitar Rp 10.
Walau agak heran dengan titik jemput tersebut (kok di lokasi yang biasanya jadi tempat berkumpul pejabat?), saya diam saja. Tapi, tetap waspada. Selain mengantongi tanda pengenal komplit (paspor, Id Card, tiket pesawat Sitwee-Yangon), saya juga mengenakan longji alias kain sarung tradisional Myanmar. Kalimat-kalimat pokok jika ditanyai, juga siap.
Pemandangan di awal perjalanan, seperti panorama sebuah kecamatan di Tanah Air. Lama-lama mencekam, saat mulai terlihat banyak Monk (pendeta Buddha) dan tentara. Terlebih ketika melewati sebuah pos jaga yang ditongkrongi serdadu. Wah, ternyata taksi memasuki komplek militer.
Belum habis kekagetan saya, taksi menepi dan berhenti di tempat wingit. Persis di seberang sebuah gerbang asrama militer yang dijaga dua tentara.
‘’Sudah sampai kita,’’ ujar sopir taksi.
‘’Di sini?’’ saya meyakinkan.
‘’Ya,’’ sahutnya sambil menunjuk plang nama di sebuah taman kecil.
Saya membayar 8 ribu MMK. Lalu dengan perlahan, beringsut keluar taksi.
Tidak menatap ke arah gerbang asrama dan penjaganya, adalah langkah antisipasi saya agar tidak menarik perhatian. Kemudian mencari tempat yang agak terlindung batang pohon. Lalu ambil sikap seperti seorang calon penumpang yang menunggu lewatnya angkutan kota.
Angkot di sini terdiri tuktuk pick up, bemo, atau motor dengan bak beroda dua (seperti Viar atau Satria di Tanah Air).
Setelah hampir satu jam mematung di situ, datanglah sebuah colt pick up putih dari dalam kompleks golf. Tuktuk ini berputar arah di depan saya, lalu agak lambat menepi.
‘’Come on,’’ kata pria bersarung yang duduk di bak mobil.
Saya buru-buru menaiki bak mobil yang terus berjalan lambat itu.
Kami bersalaman, memastikan nama masing-masing, lalu diam. Sesuai instruksi sebelumnya, selama bersama di tempat umum jangan ngobrol dan ambil foto.
Ketegangan semakin terasa, saat seorang Monk mencegat mobil kita. Rupanya ia bermaksud menumpang untuk pulang. Kamp Than Taw Li memang dikelilingi desa-desa Buddhist.
Setelah bermobil sekitar setengah jam, kita sampai ke tepian persawahan dan rawa. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri pematang sawah. Setengah jam kemudian, dilanjutkan menyeberangi sebuah sungai. Lalu berjalan kaki lagi menembus rawa sampai ke kamp.
Than Taw Li dihuni 500 keluarga, atau lebih 1.500 jiwa. Mereka terdiri warga desa asli dan pengungsi pendatang. Nyaris tidak ada bedanya mereka, karena sama-sama miskin. Rumah mereka sempit, dibuat dari bambu atau kayu dan atap rumbia. Lingkungan kotor, minim air bersih. Warga jarang mandi. Anak-anak bertelanjang dada, walau cuaca berangin cukup kencang mendekati musim hujan.
Saya dibawa ke rumah sesepuh warga. Sebuah pondok panggung kayu beratap rendah dan pengap. Kami duduk di sebuah dipan sederhana. Dua remaja mengipasi saya dari belakang.
‘’Maaf tidak menyuguhi, karena kita sedang puasa,’’ kata sesepuh dalam bahasa daerah Rohingya. Melalui kontak saya, ia sebelumnya bertanya apakah saya juga berpuasa.
Setelah berkenalan lebih intim, kami mendiskusikan kebutuhan vital warga setempat. Sebenarnya, penduduk membutuhkan dai pembimbing spiritual dan lifeskill. Mereka miskin iman dan materi serta ketrampilan hidup sekaligus.
‘’Kami tidak boleh keluar melewati check point pengungsian. Makanya, mohon maaf saya tidak bisa menjemput Anda,’’ terang kontak saya dalam Bahasa Inggris.
Jangankan untuk bekerja, buat belanja pun warga tetap dilarang menerobos pos jaga. Belanja dilakukan melalui order via ponsel ke juragan pasar tertentu. Juragan akan mengantar belanjaan sampai ke mulut kamp, setelah diperiksa dan dipalaki penjaga pos. Tak ayal, harga belanjaan jadi lebih mahal. (bersambung)