WARTAPILIHAN.COM, Jakarta – Menjelang hari kebangkitan nasional (HARKITNAS) yang jatuh pada 20 Mei, LSI Denny JA merilis hasil survey mengenai sistem kenegaraan yang bisa merekatkan kembali persatuan masyarakat. Pasalnya, pasca pilkada DKI Jakarta, 72,5% masyarakat tidak nyaman dengan adanya polarisasi masyarakat pro dan kontra Ahok.
“Kita melihat polarisasi yang terbentuk ini semakin menjadi-jadi (kristalisasi), antara massa yang anti Ahok dan pro Ahok. Kita melihat, kedepannya bukan hanya melampaui persoalan pilkada tetapi bisa melonggarkan persatuan yang sudah di rajut selama ini,” kata senior LSI Denny JA, Ardian Sopa kepada wartawan di Rawamangun, Jakarta Timur pada Jumat (19/5).
Selain itu, team LSI Denny JA ini menemukan angka sebesar 75% rakyat menginginkan pemerintah beserta penentu kecenderungan masyarakat menegaskan kembali komitmen menjadikan demokrasi Pancasila sebagai perekat.
“Polarisasi ini tentu tidak terjadi hanya di Jakarta, tetapi merambat daerah-daerah yang ada di seluruh Indonesia. 75% penduduk Indonesia mengetahui dan mengikuti kontroversi yang terjadi dalam pilkada DKI Jakarta,” sambungnya.
Melihat persatuan masyarakat yang semakin renggang, 74% mayoritas masyarakat menginginkan demokrasi Pancasila sebagai sistem negara dan perekat, bukan negara Islam atau demokrasi liberal. Sebab, apabila dibedah dua kutub ini (negara Islam dan demokrasi liberal) masih ada perdebatan kenegaraan.
“Kalau kita break down dari masing-masing segmen, ini melihat kecenderungan yang sama tidak hanya di segmen tertentu. Mulai dari segmen pendidikan, agama, pemilih partai, ekonomi, dan hal-hal lain termasuk juga disegmen intensitas agama -yang sering melakukan sholat- yaitu cukup besar di 76,4% tetap menginginkan demokrasi Pancasila bukan negara Islam atau demokrasi liberal,” katanya.
Lebih lanjut, Ardian Sopa menyampaikan, walaupun dari awal Indonesia memiliki beberapa pergantian sistem kenegaraan dan mayoritas sepakat bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi ketika berkaca pada demokrasi pancasila era orde baru masyarakat tidak menginginkan sistem tersebut dijalankan kembali.
“Dwifungsi militer, utusan golongan yang tidak dipilih di MPR, presiden sebagai mandataris MPR, dan terbatasnya kebebasan berserikat serta beropini, itu merupakan instrumen orde baru yang tidak disukai rakyat masa kini,” tegasnya.
Lima elemen demokrasi Pancasila yang diperbaharui seperti disusun Denny JA yaitu, pertama, demokrasi Pancasila mengadopsi mekanisme politik di negara maju, seperti hak asasi manusia yang dirumuskan PBB adalah persyaratan minimal sebuah sistem kenegaraan untuk sah disebut demokrasi modern.
“Kedua, kita tetap mengedepankan kekhasan negara Indonesia dengan adanya Kementerian Agama, karena Kementerian Agama ini di negara barat tidak dikenal dan terminologinya tidak ada. Ini penting karena 85% masyarakat kita perilakunya dipengaruhi oleh ajaran agama,” ucapnya.
Ketiga, hadirnya undang-undang yang melindungi kebebasan beragama dan kepercayaan. Sehingga tidak ada lagi ke depannya diskriminasi perbedaan agama dan keyakinan.
“Sekarang juga undang-undang ini tidak ada, dan baru mau disusun oleh pemerintah. Semoga ini cepat selesai, sehingga bisa menjamin dan keberagaman yang ada,” saran Ardian.
Keempat, Pancasila menjadi perekat bangsa. Keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai simbol kebersamaan.
“Saya yakin di semua agama, nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agamanya. Persatuan Indonesia, Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang beradab dan seterusnya itu tinggal dicari mutiaranya untuk memperdalam,” tandasnya.
Terakhir, peran pemerintah harus lebih mengedepankan keragaman persatuan dan kesatuan. Jangan sampai pemerintah diskriminasi terhadap satu pihak dan pihak lain, karena hal ini akan mengancam keberagaman.
“Kalau ini tidak segera diselesaikan oleh presiden tidak menutup kemungkinan ada beberapa kelompok yang ingin melakukan impeachment, point-point ini penting untuk dijaga semuanya,” tutupnya.
Reporter: Ahmad Zuhdi