PKI dan Romantisme Utopis

by

Ketika negara-negara berpaham Komunis mulai meninggalkan idiologi tanpa Tuhan ini, di Indonesia mencoba bangkit kembali. Perjalanan sejarah yang a-historis

Wartapilihan.com, Jakarta —Eropa Barat di abad 18 M. Ketika terjadi Revolusi Perancis dan Revolusi Industri, untuk pertama kalinya istilah romantisisme diperkenalkan. Romantisisme menekankan emosi sebagai sumber dari pengalaman estetika. Dipengaruhi oleh gagasan-gagasan pencerahan dan mengedepankan unsur-unsur seni dan narasi yang dianggap berasal dari periode Pertengahan. Romantis, romantisisme, berasal dari istilah “romans”. Yakni, sebuah narasi heroik prosa atau puisi yang berasal dari sastra Abad Pertengahan.

Gerakan romantisisme menomorsatukan keberhasilan dari apa yang dianggapnya sebagai seniman-seniman yang dipersepsikan salah dipahami, meskipun telah berhasil mengubah tatanan masyarakat. Imajinasi individu sebagai panglima yang memungkinkan kebebasan dari pemahaman klasik tentang bentuk dalam seni. Dalam penyampaian gagasan-gagasannya gerakan ini cenderung kembali kepada apa yang dianggapnya sebagai keniscayaan sejarah dan alam.

Konsep itu berlaku universal, juga di Indonesia. Itu sebabnya, dalam karya sastra kita mengenal “Roman” yang mengisahkan hubungan percintaan dua lawan jenis yang biasanya bermuara pada tragedi. Di era moderen, kita mengenal “Roman Picisan” yang plot ceritanya tidak sedalam “Roman” pada umumnya.

Di ranah politis, Romantisisme, yang di Indonesia lebih dikenal dengan romantisme, adalah sebuah gerakan nostalgia atas masa lalu. Masa lalu yang ingin dihidupkan kembali. Ini bisa positif, bisa pula negatif. Tengoklah negara Turki, yang kini sedang romantis dengan kembali pada Islam, setelah sejak 1923, ketika Mustofa Kemal Attartuk berhasil menguasai Turki, sekulerisme diberlakukan. Azan dibahasa Turki-kan, perempuan berjilbab tidak boleh mengikuti acara-acara kenegaraan, meskipun ia istri seorang pejabat.

Turki perlahan-lahan kembali ke Islam. Masjid-masjid yang sebelumnya hanya dipadati oleh orang-orang tua, kini mulai dipenuhi oleh anak-anak muda. Tentara dan polisi sudah bisa melaksanakan shalat berjamaah di kantor-kantor dan barak-barak mereka. Anak-anak muda melakukan romantisme idiologis dan kembali ke Islam.

Sementara di belahan bumi yang lain, Tembok Berlin runtuh sejak 9 November 1989. Berlin Timur dan Berlin Barat yang sejak 1961 dipisahkan dengan Tembok Berlin, kembali bersatu. Anak-anak mudanya melakukan romantisme idiologis dengan mengusung konsep kebebasan dan meninggalkan idiologi komunisme (untuk Berlin Timur).

Pada 26 Desember 1991, Uni Sovyet bubar. Selama sepuluh tahun sejak bubarnya Uni Sovyet, negeri Beruang Merah ini selalu dalam keadaan kacau. Kacau politik, kacau ekonominya. Keadaan relatif stabil ketika pada tahun 2001, Vladimir Putin, seorang yang berlatar intelijen, mendirikan Partai Rusia Bersatu. Partai Putin ikut pemilu, dan menang dengan perolehan suara 65 persen. Partai Komunis hanya dapat 15 persen. Sisanya, yang 15 persen lagi dipulung oleh beberapa partai kecil.

Apa arti dari keruntuhan Uni Sovyet? Komunis tak diperlukan lagi. Dan faktanya, mereka hanya menguasai 15 persen suara. Aktifitas keagamaan mulai bangkit, romantisme pada kebersamaan lebih mengemuka. Coba tengok apa yang dilakukan oleh anak-anak muda Moskow hari-hari ini? Mereka tak ada beda dengan anak-anak muda dari Eropa Barat, baik tampilan baju, rambut, maupun pilihan idiologinya.

Inilah yang membedakan idiologi agama dan kebersamaan dengan idiologi komunisme. Romantisme keagamaan dan kebersamaan melanda di berbagai belahan dunia. Sementara, romantisme komunisme tidak terjadi.

Juga tengok RRC. Anak-anak muda tak lagi tertarik dengan idiologi komunisme, mereka lebih tertarik kepada kajian globalisasi dan ekonomi kapitalisme. Ekonomi RRC tumbuh meraksasa justru ketika ia mengadopsi ekonomi kapitalisme. Dan RRC bisa bersaing di pasar global.

Ini beda dengan, misalnya, Korea Utara, yang masih komunis murni. Secara ekonomi dan pergaulan internasional, Korea Utara jauh tertinggal dibanding Republik Korea yang tidak komunis.

Jadi terasa aneh, ketika di belahan dunia lain sudah meninggalkan Komunisme, sementara di Indonesia, sebagian kecil anak bangsa mulai keranjingan romantisme pada palu arit. Ini jelas utopis, karena tidak sesuai dengan hukum sejarah.

Apalagi, Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan Paham Komunisme tetap berlaku. Dan UU No 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Keamanan Negara, dapat menjerat mereka yang memakai atribut komunis, seperti pemakaian kaos bergambar palu dan arit lambang partai komunis Indonesia(PKI).

Itu sebabnya, romantisme anak-anak muda –juga sebagian orang-orang tua– yang kesengsem dengan palu arit itu hanyalah utopia dan kontra produktif. Celakanya, mereka sekarang mengubah strategi, dengan berlindung di balik agama dan memanfaatkan rumah-rumah ibadah untuk aktifitas mereka.

Paham komunisme tidak bisa sejalan dengan paham agama. Kehadiran komunisme adalah untuk memberangus agama-agama. Jika para aktivis PKI kini mendekati pemeluk agama tertentu, itu adalah stategi yang a-historis.

Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *